...In Orchard Road, you've got my heart I left it in your doorway. In Orchard Road, a welcome back Is waiting there just for me...* (Leo Sayer) Matahari masih mengintip malu-malu ketika saya sudah berdiri di salah sudut ruas Orchard Road. Saya menyadari terlalu pagi untuk menjelajah seruas jalan yang begitu melegenda sebagai surga belanja di negeri Singa.
"Jangan pernah mengaku ke Singapura jika belum menyambangi Orchard Road." Begitu teman saya senantiasa mewanti-wanti.
Sejenak saya melirik arloji, pukul 07.30.Terlalu dini bagi tempat perbelanjaan modern itu untuk menunjukkan denyut aktivitasnya. Sebagian besar gedung-gedung masih tutup, namun beberapa orang sudah menjejaki trotoar dengan langkah-langkah tergesa. Mungkin mereka diburu waktu lantaran kerja pagi yang tak mengenal toleransi keterlambatan. Sementara di ujung sana sebagian manusia masih terlihat duduk-duduk santai menyeruput kopi hangat di kursi-kursi sepanjang jalur pedestrian.
Hari ini adalah hari kerja, tak lama lagi trotoar akan dipadati para pekerja kantoran. Tak ubahnya protokol ibukota, pastilah jalan yang tak lebar ini bakal pula disesaki mobil pribadi dan angkutan umum. Tak usah khawatir karena tak ada three in one layaknya Jakarta. Juga tak perlu takut dengan polusi kendaraan karena bahan bakar mereka yang sangat rendah polutan.
Saya mencoba mencari satu kursi kosong di depan Lucky Plaza, Di bawah rerindang pohon peneduh,  membuka bekal yang saya beli di Seven Eleven, dan seperti yang lainnya, kunikmati sarapan ringan. Sesekali kulihat serombongan orang melintas yang saya yakin betul pasti dari Indonesia, tentunya dari bahasa dan logatnya yang khas. Mereka pastilah golongan menengah atas dari negeri kita yang sedang menikmati liburannya. Mudah-mudahan mereka bukanlah para buronan koruptor Indonesia yang tinggal di sini demi sebuah perlindungan dan menikmati hartanya.
Pagi yang demikian cerah. Saya membayangkan belantara beton di Orchard tak beda dengan seruas jalan di protokol Jakarta seperti Thamrin dan Sudirman. Namun Pemerintah Kota Singapura sanggup menyulapnya dengan menambahkan jalur pejalan kaki yang nyaman, tempat duduk buat bersantai dan melepas lelah, dan dinaungi pohon-pohon rindang serta beberapa taman yang menyejukkan.
Saya menghirup nafas panjang, begitu segarnya udara pagi ini. [caption id="attachment_133438" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Pagi di Orchard Road (foto : Budhi K. Wardhana)"][/caption]
... In Orchard Road, the sun will shine Again I know, I know In Orchard Road, you keep my love Just waiting there for me...*
Sejenak saya berdiri dari kursi, menengok ke kiri dan ke kanan, sekedar mencari apakah ada sesosok wajah yang saya kenal. Mendadak saya sadar, ini adalah ruas jalan yang baru pertama kali saya sambangi. Pastilah hanya wajah-wajah asing yang akan saya temui di sini.
Tentunya Orchard Road bukanlah seruas Jalan Kebon Sirih di mana setiap pagi selalu saya susuri ketika berangkat kantor. Dan pasti juga berbeda dengan sepanjang Jalan Dago yang sarat kenangan saat saya menghabiskan senja semasa kuliah di Bandung.
Nyaris dua ratus tahun lampau Orchard hanyalah sepenggal jalan di daerah perkebunan pala, lada, dan buah-buahan. Karenanya jalan itu dinamai Orchard Road (orchard = perkebunan). Barangkali tak ada yang membayangkan kalau perkebunan ini nantinya menjadi ikon bisnis dari sebuah negara yang berpengaruh secara ekonomi di kawasan Asia. Sebab pembangunan secara komersial barulah dimulai di abad keduapuluh selepas tahun 1970.
Matahari pagi menerobos dedaunan peneduh Jalan Orchard dengan sinarnya yang lembut dan  jatuh tepat di wajahku. Sesaat saya tengadah meresapi kehangatan awal hari. Inikah kehangatan khas Orchard yang beraroma modern? Perasaan saya sungguh asing ditemani wajah-wajah yang diam. Juga bangunan-bangunan mencakar langit yang terlihat angkuh dan sombong.
Adakah yang akan menyapa saya di sini?
[caption id="attachment_134101" align="aligncenter" width="300" caption="Orchard Road Tempo Dulu tahun 1900 (foto : Dok. Wikipedia)"][/caption]
...It's eight o'clock and the dawn's arrived Orchard Road it's breakfast time I climb in my car and I turn the key and I'm gone I'm coming home to Orchard Road I'm coming home...*
Sendiri saya menyusuri Orchard. Tak kutemukan kebisingan dari knalpot mobil yang memekakkan telinga, atau teriakan kenek bis kota, metro mini, mikrolet, dan angkot yang berebut penumpang. Juga tak ada teriakan sumpah serapah pengemudi mobil yang diserobot jalannya oleh Kopaja. Tiada pula bising klakson yang  ditekan terus menerus lantaran angkot yang ngetem sembarangan.
Di sini segalanya hidup dalam keteraturan yang nyaman.
Seorang teman pernah bertanya ke saya, "Bagaimana membedakan orang Indonesia di luar negeri?"
Saat itu saya hanya menggelengkan kepala.
"Gampang," jawabnya. "Lihat saja di antrian, jika ada yang nyerobot antrian, pastilah itu orang Indonesia."
Saya mengangguk-angguk.
"Terus kalau tiba-tiba dari antrian itu ada yang teriak, 'Woi... antri... woi..', itu pasti juga orang Indonesia," lanjutnya yang membuat saya terkekeh.
Barangkali pada ruas jalan ini orang Indonesia bisa belajar tertib. Mereka rela antri menanti taksi, sabar menunggu lampu hijau untuk menyeberang jalan, juga sadar membuang sampah pada tempatnya.
Saya berpikir kenapa orang Indonesia mendadak bisa tertib apabila berada di Singapura? Pastilah karena di sini punya aturan yang keras dan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu.
Lalu bagaimana dengan negeri kita?
Silakan, Anda pasti bisa menjawabnya.
...I'm coming home to Orchard Road I'm coming home...*
Â
[caption id="attachment_134105" align="aligncenter" width="300" caption="Burung Gagak di Belantara Orchard Road (foto : Budhi K. Wardhana)"][/caption] Â Catatan : * diambil dari lirik lagu Orchard Road yang ditulis oleh Leo Sayer dan A. Tarney
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H