Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bulan di Atas Singapura

7 September 2011   16:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyusuri angkasa biru dari Jakarta menuju Singapura. Menikmati dari ketinggian, gumpalan-gumpalan awan laksana kapas dan liuk-liuk sungai yang menyerupai Anaconda melata. Atau indahnya laut biru kehijauan, dihiasi kepalan-kepalan pulau kecil di sekujur Selat Karimata. Ah, betapa mempesona negeri kita.

Ketika Garuda yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional Changi, saya disuguhi oleh sebuah kecantikan yang lain. Keindahan dengan sentuhan spektakuler modern, dipadu keteraturan dan ketertiban, serta kebersihan dan keasrian kota. Singapura yang tak lebih besar dari Provinsi DKI Jakarta ini memang menjulang secara teknologi dan peradaban dibanding negara-negara Asean lainnya. [caption id="attachment_133437" align="alignleft" width="300" caption="Changi Airport"][/caption] Meskipun dipenuhi belantara beton dengan gedung-gedung yang mencakar langit, tampaknya Singapura masih mencoba mempertahankan hijaunya pepohonan. Tak heran di kiri kanan jalan masih ditemui pohon-pohon rindang peneduh yang tampaknya sengaja dipertahankan untuk bersanding dengan arsitektur modern. Bahkan terlihat sekelompok burung gagak yang hidup damai di salah satu ruas jalan Orchard di jantung kota Singapura. Kebetulan kemarau sedang memanggang kota yang didirikan oleh Thomas Stamford Rafles. Inilah saatnya bunga-bunga bougenville pink menghiasi sekujur kota. Saya sungguh takjub dengan warna bunga ini, karena di tanah air saya belum pernah menemukan kembang kertas species ini. Barangkali bunga ini hasil silangan baru. Seorang teman secara berseloroh berkata, "Tahu nggak, bougenville itu indah karena memakai pupuk Pusri (Pupuk Sriwijaya)." "O ya?" sahut saya. "Iyalah," jawabnya cepat. "Makanya jangan heran Pupuk di Indonesia langka, karena para spekulan memborong dan menjualnya di sini dengan harga mahal." "Ah, yang benar," ujar saya tak percaya. Dia hanya tersenyum sambil angkat bahu. Sayapun ikut tersenyum kecut. Tak peduli apakah ceritanya benar atau tidak, yang jelas petani Indonesia senantiasa kesulitan mendapatkan pupuk saat musim tanam tiba. Bicara tentang negeri mini yang dulunya bagian dari Malaysia, tentulah tak lepas membincangkan kebersihan, ketertiban, dan keteraturan. Saking tertibnya, saya sempat ditegur lantaran berjalan kaki di pinggir jalan raya, bukan di trotoar. Ah, barangkali saya masih terbawa suasana Jakarta, yang nyaris tak pernah menyisakan jalur pejalan kaki. Demikian semrawutnya ibukota kita, trotoar pun diserobot motor yang bak raja jalanan atau tempat mangkal pedagang kaki lima. Namun, lihatlah jalan-jalan di Singapura, pejalan kaki adalah kaum yang sangat dimanja. Trotoar yang lebar, dilengkapi kursi tempat duduk-duduk, sekedar melepas lelah, atau demi menikmati secangkir kopi dan kudapan ringan. [caption id="attachment_133438" align="alignright" width="300" caption="Orchard Road di Pagi Hari"][/caption] Hari memang masih pagi, ketika saya benar-benar memanfaatkan kursi di sepanjang jalur pedestrian Orchard Road, sembari mengunyah dua potong risoles dan meneguk sebotol air mineral. Hmm, nikmat juga menikmati sarapan murah meriah di negeri orang, Keteraturan juga tercermin dari fasilitas publik yang betul-betul terintegrasi satu sama lain. Alat transportasi umum dari MRT (mass rapid transport), bis kota, dan taksi terhubung satu sama lain. Lagi-lagi, jangan harap kita bisa berhenti di sembarang tempat layaknya Kopaja atau Metromini. Tarif yang dikenakan juga jelas. Makanya saya tenang-tenang saja naik taksi meskipun saya belum pernah ke tempat yang dituju. Percayakan saja ke sopir taksi. Tak perlu cemas karena tak ada pengemudi nakal yang main borongan atau dibawa berputar-putar supaya argo meternya bertambah. "Where will you go, Sir?" tanya sopir taksi waktu saya menaiki mobilnya di depan Hotel. "I don't know, Pak." jawab saya. Sopir taksi itu mengernyitkan kening, menatapku aneh melalui kaca di atas kemudinya. Barangkali jawaban saya terlalu nyleneh atau aksen Inggris saya yang terbilang asing. Maklum saja karena saya menggunakan English berlogat Jawa. "Could you show me the interesting place?" lanjut saya. "This is the first time for me visiting Singapore." [caption id="attachment_133439" align="alignleft" width="300" caption="Marina Sands"][/caption] Dia mengangguk, "How about Marina Sands?" "What's that?" "You can play Casino over there." Wah, emang tampang saya, kayak penjudi kelas kakap? "Why do you offer me to go to there?" sahutku. "Do you from Indo?" Saya mengangguk. "Most Indonesian tourist will go to casino," ujar sopir taksi itu mencoba menjelaskan. "Oya?" "Yes, Sir." Wow, barangkali ini alasan kenapa beberapa orang di tanah air mempunyai ide untuk membangun kasino seperti jaman Gubernur Ali Sadikin dulu. Jangan-jangan kalau saya ke sana bakal ketemu dengan anggota dewan yang sering diisukan main judi ke luar negeri. "No. I don't interested to go there," jawabku akhirnya. Bukan apa-apa, saya jadi ingat cerita temen-temen di tanah air yang kalah main judi. Mereka pulang dengan muka kucel dan baju compang-camping. Kan nggak lucu kalau saya pulang ke tanah air cuma modal singlet dan kolor doang. :)

***

[caption id="attachment_133435" align="alignright" width="300" caption="Merlion Park"][/caption] Saya masih terkagum-kagum dan menikmati keelokan negeri tetangga ini ketika seorang teman lama tiba-tiba mengirimiku message melalui Yahoo Mesangger.

Apa kabar Singapore? Jakarta malam ini terang bulan lho.

Aku terkesiap. Buru-buru saya menuju jendela di kamar hotel berbintang lima tempat saya menginap. Mengintip sejenak dari balik gorden, menyaksikan bulan yang mempesona. Bentuknya bulat kuning cerah berpendar indah, melayang-layang di langit malam yang jernih.

Di sini juga bulan purnama, friend. Cerah sekali. Nggak seperti yang pernah saya lihat di Jakarta.

Beberapa saat kemudian temanku membalas.

Iya, Bud, Di sini bulannya pucat tersaput mendung.

Aku ingat sekali bulan pucat yang senantiasa menanungi Jakarta. Mungkin lantaran langit ibukota yang banyak terpolusi bensin ber-oktan rendah. Bahan bakar yang konon hanya ditujukan kepada golongan tidak mampu, namun tetap saja dimakan rakus oleh kaum elit dan berduit. Atau warna bulan di tanah air mencerminkan situasi negeriku yang carut marut. Bukankah sekarang kemiskinan terjadi di mana-mana? Korupsi merajalela. Pengangguran semakin menggila. Angka kriminalitas meningkat. Tapi pemerintah nyaris tak peduli. Sementara elit politik hanya bisa bersilat lidah dan angkat bahu. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari negeriku tercinta? Saya terpaku menatap bulan indah di atas Kota Singapura yang bertabur cahaya. Inilah pendar-pendar yang melenakan banyak manusia. Begitu banyak orang terbuai dengan jutaan kesempatan dan masa depan yang ditawarkan negeri Singa ini. Memang bulan yang menggantung di negeriku tak secerah di sini. Kadang sang dewi malam itu berwarna pucat menyaksikan kemiskinan dan penderitaan mayoritas rakyatnya. Sebentar bersemu kelabu karena mewakili kecongkakan dan kemunafikan pejabatnya. Atau merah membara laksana amarah dan darah yang tercurah akibat kekejaman dan kebengisan warganya. Namun, baik atau buruk, saya tetap bangga dengan negeriku. Right or wrong is my country.

Halo, Bud, kamu belum tidur kan?

Sejenak kubaca message dari teman saya itu. Lalu kubalas lagi.

Teman, apakah warna bulan di Jakarta?

Saya menunggu beberapa saat dan teman saya membalas dengan segera.

Maksudmu?

Sejenak saya menelan ludah. Kesunyian terasa mengambang sebelum akhirnya kutulis sebuah pesan di Yahoo Messanger.

Aku rindu bulan merah jambu di Jakarta...

Saya tersenyum sambil kumatikan Ipad. Malam ini saya harus segera tidur karena besok pagi harus terbang ke tanah air. Ya. Masih banyak yang harus kulakukan untuk Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun