Kota Kepluk, 20 desember 2020.
Sukanti melamun lirih di rumah gubuk tengah hutan yang katanya masuk dalam wilayah kota Kepluk. Meratapi nasib miskin bersama tiga orang anaknya yang masih kecil. Suaminya mati dipukul penjaga perkebunan cokelat karena di tuduh mencuri.
Aduh, menjadi orang miskin itu tidak enak, suamiku cuma memungut buah cokelat yang jatuh dari mobil malah dikira maling. Kata Sukanti sekali waktu, jadi orang miskin itu selalu digunjing, punya anak saja jadi bahan omongan. Katanya sudah miskin beranak mulu, tidak sadar diri.
“aku nyerah mas” keluh Sukanti dalam hati “anak kita mau makan daging, duh Gusti, jangankan daging nasi saja susah. Hari ini kami cuma bisa makan singkong. Itu pun singkong liar yang tumbuh di tengah hutan”.
Langit mulai gelap, Sukanti masih melamun. Anak-anaknya masih merengek meminta daging, Sukanti bingung.
“kemana ya aku harus cari daging?” pikir Sukanti “mau minta ke tetangga juga tidak mungkin, lagi pula disini mana ada tetangga yang mau menolong. Malah gara-gara mereka sekarang aku hidup ditengah hutan, mulut tetanggaku lebih tajam dari pisau jagal.
Sukanti beranjak dari tempatnya, dia menyuruh anak-anaknya masuk ke rumah dan meminta anak yang paling tua untuk menjaga adik-adiknya.
“tunggu!” kata Sukanti “emak akan mencari daging” anak-anak Sukanti melompat-lompat kegirangan.
Berbekal tongkat dari dahan pohon kering dia mencari daging. Sukanti tak punya duit tapi dia tahu anak-anak itu tak pernah tahu kalau dia punya duit atau tidak, mereka hanya melihat orang tua sebagai orang yang memberi apapun yang mereka ingikan. Bukan salah mereka hanya kehidupan saja yang tidak memihak, sebenernya dia ingin menyalahkan Gusti Allah karena sudah memberi kemelaratan tapi dia tak berani. Takut kalau Gusti Allah marah. Ya sudah pasrah saja.
Di tepi sungai Sukanti membersihkan lima ekor tikus tanah yang didapatnya dengan susah payah. Dia potong kepala tikus, menguliti kulitnya, memotong ekornya dan membuang jeroannya hingga sekilas terlihat seperti daging anak kelinci. Di atas batu tepi sungai dia gepuk daging tikus tanah hingga lembut setelah itu dia bungkus dengan daun jati. Sukanti girang, daging sudah didapat.
Anak-anak sukanti duduk rapi di depan api. Mereka tak sabar ingin makan daging. “harum ya mak” kata yang paling besar. Sukanti tersenyum, melihat anak-anaknya gembira sudah membuat dia gembira juga. “Ternyata tak perlu duit aku sudah bisa bikin mereka senang” katanya dalam hati, merasa bangga.