Mohon tunggu...
SedotanBekas
SedotanBekas Mohon Tunggu... Administrasi - ponakannya DonaldTrump

Saya adalah RENKARNASI dari Power Ranger Pink

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini Bersepeda

15 Desember 2020   13:44 Diperbarui: 15 Desember 2020   21:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malaikat tak bisa membantah, di dunia hantu Kartini itu masuk dalam katagori hantu suci, hantu yang diberikan kebebasan melakukan apa yang dikehendakinya, makanya malaikat cuma manut-manut saja saat Kartini minta disediakan sepeda. Katanya "aku mau napak tilas, aku kepingin mengenang perjalananku semasa hidup, aku bosan di dunia hantu".

            Malaikat tak berani menolak, Kartini itu hantu suci. disediakannya sepeda model terbaru yang nyaman dan aman. Lalu untuk pelayanan maksimal malaikat menawarkan diri mendampingi, katanya "kami takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada Puan". Kartini meng-iya-kan dengan syarat cukup satu malaikat saja yang ikut dengannya.

            Pagi hari, Kartini dan malaikat bernama "Nun" bersepeda bersama. Tujuannya tentu saja ke dunia manusia.

            Rumah di pinggir sungai, tempat pertama yang mereka datangi. Mata Kartini berkaca-kaca, wajahnya sesekali tersenyum tapi sesekali terlihat muram. Malaikat Nun tak berani bertanya, tugasnya hanya mendampingi bukan mencari tahu.

            "kau tahu Nun?" kata Kartini "dulu aku dilahirkan di rumah ini, aku tumbuh besar juga di rumah ini. Dulu cicitku mewariskan ini pada kakekku, lalu kakekku mewariskan lagi ke bapakku dan harusnya bapakku mewariskannya kepadaku. Tapi aku keburu mati, jadi sekarang rumah ini hanya rumah kosong yang  terlantar. Aku masih ingat Nun, setiap pulang sekolah ibu selalu menyuruhku rebah di pangkuannya, katanya "sini nak, biar ibu bersihkan kutu dari rambutmu". Ketahuilah Nun, tak ada yang lebih mahir dari ibuku dalam hal mencari kutu. dia juara dunia untuk itu".

            Malaikat Nun masih tak bicara, dia tahu Kartini sedang jatuh pada kenangan-kenangannya.

            "kalau malam disini banyak kunang-kunang" lanjut Kartini "biasanya aku dan bapak selalu berlomba menangkap kunang-kunang, kau tahu kunang-kunang Nun? bapak bilang kalau kunang-kunang itu adalah kuku orang yang mati, dia keluar dari kuburan untuk memberitahu kepada keluarga yang ditinggalkan tentang apa yang di alaminya di alam kubur. Katanya kalau nyalanya kuning agak kehijau-hijauan berarti pertanda baik tapi kalau nyalanya merah terang tandanya orang yang mati sedang mendapat siksa. Dulu aku percaya Nun, tapi setelah mati aku  tahu kunang-kunang cuma serangga biasa.

            Malaikat Nun tak ingin bicara, dia cukup menikmati cerita-cerita Kartini tanpa harus memberi tanggapan.

            "tapi Nun" Kartini lanjut bercerita "dirumah ini juga aku dikasari preman-preman suruhan bapak kepala desa. Malam itu hujan deras, rambutku dijambak, aku diseret keluar, kepalaku dihantam-hantamkan ke teras lantai. Andai aku sekuat Wonder women atau Ratu pantai selatan, sudah pasti ku hajar balik mereka. tapi nyatanya aku cuma perempuan lemah. Mereka semua banci Nun, masa beraninya sama perempuan dan main keroyokan pula. Duh Gusti waktu itu rasa sakitnya teramat sangat melinukan. Mereka melemparkanku keluar rumah, membiarkan tubuhku kuyup kena hujan lalu bersama-sama mengencingiku sebelum membawaku ke Balaidesa. Oh iya Balaidesa, bagaimana keadaanya sekarang? Aku ingin tahu.

            Kartini dan malaikat Nun kembali mengayuh sepeda, meningalkan rumah menuju Balaidesa.

            "ini Nun tempatnya" kata Kartini. malaikat Nun masih diam, dia hanya mendampingi tak mau berkata. "sewaktu aku kecil disini sering diadakan lomba perayaan kemerdekaan. Aku sering ikutan Nun, aku juaranya kalau lomba makan krupuk apalagi lomba cerdas cermat. Setiap tahun disini juga selalu diadakan hajat bumi, semua orang berkumpul membawa hasil panen mereka. ada yang bawa ikan, beras, singkong, sayur, buah dan banyak lagi. Saat hajat bumi semua orang harus makan disini, kata bapak untuk menunjukan rasa syukur kami kepada Gusti Allah dan juga agar semua orang didesa kami saling mengenal dan berbagi. Tapi itu dulu Nun, karena setelah pabrik semen dibangun semua tak ada lagi. Sawah kami kering, sungai kami kotor, jangankan padi, rumput saja tak tumbuh. Ikan-ikan juga tidak hidup karena airnya kotor.

            Malaikat Nun tak punya kata, dia hikmat mendengarkan cerita Kartini semasa hidupnya.

            "Nun, kau lihat lapangan di ujung sana" kata Kartini sambal menunjuk ke arah barat "itu tempatku disiksa. Preman sialan itu membawaku kesana. Dalam keadaan yang sudah payah aku cuma bisa pasrah, aku didudukan di sebuah kursi, tanganku diikat kencang dan pakaianku dilucuti sampai telanjang. Kepala desa berdiri dihadapanku, memakiku seolah aku haram jadah, kunyuk memang. Mereka laknat yang tidak punya hati. Aku tak tahu Nun kenapa mereka sampai hati separah itu menyiksaku. Rasa-rasanya aku hanya bermain kata. Apa iya kata-kata harus dibalas dengan siksaan yang begitu kejam? Apa iya kata-kata bisa merugikan mereka sedemikian rupa? Jika memang benar begitu, lebih baik aku terlahir tanpa mulut saja.

            Kartini kembali menggenjot sepedanya, "ayok Nun kita pergi dari sini"

            "kalau bangunan besar ini namanya pabrik semen Nun" jelas Kartini "bangunan ini yang membuat rugi warga desa, gara-gara ini sawah kami kering, ikan-ikan tidak bisa hidup karena sungainya kotor. Karena bangunan ini pula lah aku mati Nun, aku tidak menyangka Nun, kukira nyawa itu adalah hal yang paling berharga tapi nyatanya nyawaku tak semahal bangunan ini. Sebenarnya salahku apa ya Nun? aku kan hanya protes karena adanya pabrik semen aku dan warga lainnya jadi tak bisa makan. Apakah aku salah Nun menyuarakan apa yang aku rasakan? Apa aku salah mengajak orang-orang untuk ikut bersamaku menyuarakan kebenaran? Aku bingung Nun. kata guru ngajiku kebenaran akan selalu menang tapi di desaku kebenaran malah kalah. Nun, kalau Gusti Allah memintaku untuk hidup lagi, aku lebih memilih untuk menjadi burung saja, sepertinya menyenangkan bisa terbang bebas dan pergi kemana saja. Menjadi burung itu enak Nun, musuhnya sudah jelas, kalau bukan binatang pemangsa ya pemburu liar tapi kalau menjadi manusia aku bingung. Terkadang musuhku berpura-pura menjadi teman sebelum membunuhku dari belakang.

            Malaikat Nun tak bisa bicara, hatinya luruh mendengar keluh. Ingin membalaskan kematian Kartini tapi  tak punya kehendak. Malaikat Nun diam tanpa kata, hanya berdoa dalam hati semoga Gusti Allah menguatkan Kartini dan Kartini lainnya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun