Mohon tunggu...
SedotanBekas
SedotanBekas Mohon Tunggu... Administrasi - ponakannya DonaldTrump

Saya adalah RENKARNASI dari Power Ranger Pink

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini Bersepeda

15 Desember 2020   13:44 Diperbarui: 15 Desember 2020   21:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Malaikat Nun tak punya kata, dia hikmat mendengarkan cerita Kartini semasa hidupnya.

            "Nun, kau lihat lapangan di ujung sana" kata Kartini sambal menunjuk ke arah barat "itu tempatku disiksa. Preman sialan itu membawaku kesana. Dalam keadaan yang sudah payah aku cuma bisa pasrah, aku didudukan di sebuah kursi, tanganku diikat kencang dan pakaianku dilucuti sampai telanjang. Kepala desa berdiri dihadapanku, memakiku seolah aku haram jadah, kunyuk memang. Mereka laknat yang tidak punya hati. Aku tak tahu Nun kenapa mereka sampai hati separah itu menyiksaku. Rasa-rasanya aku hanya bermain kata. Apa iya kata-kata harus dibalas dengan siksaan yang begitu kejam? Apa iya kata-kata bisa merugikan mereka sedemikian rupa? Jika memang benar begitu, lebih baik aku terlahir tanpa mulut saja.

            Kartini kembali menggenjot sepedanya, "ayok Nun kita pergi dari sini"

            "kalau bangunan besar ini namanya pabrik semen Nun" jelas Kartini "bangunan ini yang membuat rugi warga desa, gara-gara ini sawah kami kering, ikan-ikan tidak bisa hidup karena sungainya kotor. Karena bangunan ini pula lah aku mati Nun, aku tidak menyangka Nun, kukira nyawa itu adalah hal yang paling berharga tapi nyatanya nyawaku tak semahal bangunan ini. Sebenarnya salahku apa ya Nun? aku kan hanya protes karena adanya pabrik semen aku dan warga lainnya jadi tak bisa makan. Apakah aku salah Nun menyuarakan apa yang aku rasakan? Apa aku salah mengajak orang-orang untuk ikut bersamaku menyuarakan kebenaran? Aku bingung Nun. kata guru ngajiku kebenaran akan selalu menang tapi di desaku kebenaran malah kalah. Nun, kalau Gusti Allah memintaku untuk hidup lagi, aku lebih memilih untuk menjadi burung saja, sepertinya menyenangkan bisa terbang bebas dan pergi kemana saja. Menjadi burung itu enak Nun, musuhnya sudah jelas, kalau bukan binatang pemangsa ya pemburu liar tapi kalau menjadi manusia aku bingung. Terkadang musuhku berpura-pura menjadi teman sebelum membunuhku dari belakang.

            Malaikat Nun tak bisa bicara, hatinya luruh mendengar keluh. Ingin membalaskan kematian Kartini tapi  tak punya kehendak. Malaikat Nun diam tanpa kata, hanya berdoa dalam hati semoga Gusti Allah menguatkan Kartini dan Kartini lainnya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun