Seharusnya, Prabowo dan Partai Pengusungnya, memainkan peran "penyeimbang" ini, bukan malah meratapi "kekalahan" angka statistik semata. Naif sekali.
Karena logika politiknya, setelah JOKOWI-JK, maka orang kedua yg akan berpengaruh direpublik ini 5 tahun mendatang adalah PRABOWO-HATTA.
Dengan attitude politik ala JOKOWI, peran posisi tawar-menawar Prabowo-Hatta terhadap pemerintahan mendatang akan jauh lebih kuat dan efektif, ketimbang "koalisi permanen" yg sifatnya pragmatisme dan beraroma praktis-transaksional yang dibentuk setelah trend kekalahan terlihat. Motif "dominasi politik kekuasaan"nya terlalu prematur.
Kenapa PRABOWO tidak memainkan peran "penyeimbang" ini saja dengan efektif? Bukankah sudah memiliki 46,85% suara rakyat sah. Secara kuantitatif jumlah tersebut sangat besar untuk bargaining position. Namun secara kualitatif bergantung pada sikap dan gaya kepemimpinan Prabowo-Hatta. Apakah memiliki kualitas kenegarawan seperti yang diharapkan semua pihak?
Karena, apapun yg dilakukannya, Pilpres tak'kan terulang lagi dan KPU hari ini akan menetapkan Presiden-Wapres Indonesia 2014-2019 adalah JOKOWI dan JUSUF KALLA.
Sebab, "Nilai" dan "Harapan" itu tak boleh dihalangi hanya oleh kepentingan pribadi; ambisi berkuasa sekelompok orang tertentu, tanpa peduli dengan hak-hak setiap warga negara dan tanpa peduli dengan Undang-Undang yg berlaku.
Andai mau legowo, seharusnya, hari ini Prabowo-Hatta bisa buka puasa bersama Jokowi-JK. Lalu besok pagi, hingga pagi hari berikutnya selama 5 tahun mendatang, Prabowo-Hatta, dengan indahnya bisa menelpon Presidennya atau Wapresnya, setiap hari, untuk menyampaikan setiap ada masalah A atau masalah B hingga masalah Z di Indonesia, yang butuh perhatian Presiden-Wapres.
Bayangkan, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, memiliki 2 orang hebat yg selalu mengingatkan dan mengkritisinya dng indah setiap saat, yakni; Prabowo dan Hatta.
Tidakkah itu lebih indah, harmonis dan efektif dalam mencapai tujuan. Bukankah dinegara maju dan modern, budaya politik sdh beranjak kearah sana, kearah "politik keseimbangan".
Saya berharap langkah Mahfud MD dan Hatta Rajasa menjadi inspirasi politik Prabowo untuk legowo dengan cara nan elegan.
Dengan begitu mulut besar Ahmad Dhani utk memotong "kemaluannya", jalan kakinya Amin Rais dr Monas ke Yogya, hijrahnya keluarga Rhoma Irama keluar-negeri, tak perlu ditepati. Anggap saja ucapan janji mereka sbg gigauan politik belaka.
Dan tudingan hitam dr Fadly Zon yg meng-Komunis-asikan Jokowi serta kicauan Fahri Hamzah yg menuduh "sinting" para santri dan Jokowi, dianggap saja sbg ocehan anak kecil yg sedang panik dan kalap.