Mohon tunggu...
MBudiawan
MBudiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Indahnya Alam Papua

Spesialist dibidang Survey dan Perencanaan kehutanan. Sewaktu muda aktif sebagai seorang kartunis dan penulis di beberapa media di kota Bandung Pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta nasional, PT. ASTRA, PT. Sinar Mas Forestry, PT. Kiani Lestari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tidak Boleh Punya Istri Kedua !

19 Mei 2015   08:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:50 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar itu tersiar dilingkungan RT 02, sebuah peraturan baru itu diterapkan oleh Pak Ketua RT. Tentu saja kabar yang santer tersebut dengan cepat menyebar dikalangan ibu-ibu. Banyak yang senang mendengarnya, terutama para istri.

Baru kali ini Pak RT punya ide kreatif, itu kata para istri. Lha biasanya, paling kerjaan Pak RT hanya ngobrol sana-sini. Yang diobrolkanpun tidak pernah serius, hobynya hanya bersenda gurau terutama dengan ibu-ibu. Beberapa hari ini Pak RT menjadi pesohor dadakan dikalangan para istri. Pak RT jadi trading topik.

“Kita pilih saja Pak RT dalam pemilihan Kepala Kampung bulan depan”  ajakan dari mulut kemulut para istri, mereka siap mendukung Pak RT.

Sementara Pak Renggo yang tinggal di wilayah RT 02 merasa menjadi terpojokan dengan aturan baru yang didengarnya.

“Buat apa sih Pak RT bikin peraturan yang aneh-aneh kayak gitu?” pertanyaan yang muncul dari benak Pak Renggo, pertanyaan penuh kekesalan mewakili hati pria-pria yang memiliki istri lebih dari satu.

“Agama saja tidak melarangnya? Sekarang tahu-tahu dia buat peraturan seenaknya seperti itu” Pak Renggo sudah menghubungi Pak Jumari dan Pak Indra, sesama suami yang berpoligami. Akhirnya diputuskan, malam nanti semua bersama-sama menemui Pak RT. Rencananya malam nanti mereka pergi diam-diam, tidak perlu terlalu menyolok, malu sama orang. Itu kesepakatannya.

Malam sudah menunjukan pukul 8 malam, selepas sholat isya tampak dikeremangan cahaya bulan, empat orang berjalan beriringan dipematang sawah. Suara kodok terdengar saling bersahutan mencari pasangannnya. Langkah keempatnya tampak sedikit perlahan, jalanan yang dilewati agak licin maklum tadi sore habis diguyur oleh hujan lebat. Rumah dari anyaman bambu milik  Pak RT terletak ditengah sawah itu adalah tujuannnya.

“Wah, sepertinya Pak RT tidak ada di rumah, nih” Pak Kiwil bergumam pelan. Teras depan rumah gelap, namun didalam dari sela-sela bilik bambu terlihat ada cahaya temaram, “Atau sudah pada tidur orangnya?”

“Coba saja ketuk pintunya, siapa tahu ada” tambah Pak Jumari sambil mengisap rokok dalam-dalam untuk mengusir hawa yang cukup dingin. Asap putih terlihat jelas mengepul dari mulutnya, kontras dengan suasana malam yang hitam kelam.

“Ada orang kayaknya, tuh... seperti ada suara perempuan menangis...”bisik Pak Indra sambil meletakan jari telunjuk dibibir.

Sebelum naik keteras rumah, Pak Kiwil mencuci kakinya yang kotor terlebih dahulu dangan air kolam yang ada didepan rumah Pak RT. Diketuknya pintu rumah perlahan.

Setelah diketuk beberapa kali, terdengar suara Pak RT menyahut dari dalam rumah. Tak lama kemudian ada secercah cahaya, didiringi langkah kaki menghampiri pintu. Suara derit engsel pintu yang saat dibuka dari dalam. Pak RT berdiri dibalik pintu, sambil memegang damar menyambut para tamu yang baru datang.

“Ada kabar penting apa malam-malam begini ? Silahkan masuk, atau mau duduk diteras saja?” senyuman menghiasai wajah Pak Widji.

Pak Renggo tanpa menjawab langsung duduk di teras rumah. Tanpa perintah, akhirnya semua mengikuti duduk disana.

“Bapak kalau membuat aturan itu harusnya jangan sewenang-wenang. Kalau membuat peraturan mengenai kehidupan rakyat banyak sebaiknya dirembugkan dulu...” ucapan sekaligus teguran langsung keluar dari bibir Pak Renggo.

“Sabar, duduk dulu”ujar Pak RT,”Jangan terburu-buru menuduh seperti itu....”

“Bukan menuduh, semua orang dikampung sudah mendengar peraturan yang bapak buat”

“Oh, mengenai itu” Pak Widji  baru mengerti maksud kedatangan warganya, ”Justru saya punya tujuan agar kehidupan dilingkungan kita menjadi lebih baik lagi.”

“Apa hubungannya? Memang kalau punya istri lebih dari satu membuat lingkungan menjadi buruk, Pak?” sungut Pak Indra dengan pandangan menyorot tajam.

“Ha...ha....Pantesan kompak datangnya kesini” Pak RT tertawa terbahak-bahak, sambil kemudian melirik kearah Pak Kiwil,”Bapak kenapa ikut juga kesini? Ada niat punya yang baru, ya?”

Pak Kiwil hanya mesem saja, malu. Ucapan Pak RT tepat mengena di hati, keikutsertaannya ke rumah Pak RT tidak lain karena ingin kejelasan saja, sebab telah terbersit ada rencana untuk menikah lagi.

“Perlu diketahui, maksud saya ‘TIDAK BOLEH PUNYA ISTRI KEDUA’, itu saya tujukan sebenarnya untuk pemuda-pemuda lajang yang ada dilingkungan kita. Merekalah yang tidak boleh punya istri kedua atau tidak boleh mencari madu, sebab ISTRI PERTAMA SAJA mereka belum punya, jadi jelas tidak boleh mencari istri kedua. Wong yang satu saja belum ada...” Pak RT kembali tertawa lebar.

Semua pada tercengang, melongo. Ternyata tetap saja Pak RT kita itu tidak pernah bisa diajak serius.

“Harapan saya yang datang itu bukan seperti bapak-bapak. Saya ingin yang datang bertanya itu para anak muda pengangguran yang kerjanya luntang-lantung dikampung kita. Kalau mereka cepat-cepat menikah, paling tidak mereka akan menyadari betapa berharganya waktu, hidup mereka akan lebih punya tujuan. Mereka akan berusaha mencari penghasilan  tetap untuk menafkahi keluarganya” Pak RT berbicara panjang lebar,”Itu maksud saya, he...he...”

“Saya juga tahu kok, laki-laki dibolehkan mempunyai istri sampai 4 orang. Tidak mungkin saya melarangnya”tambah Pak RT menutup ucapannya, sebelum keempat sekawan tadi pamit meninggalkan teras rumahnya, “ Sepanjang mampu dan bisa berbuat adil, bapak-bapak.....”

Tak lama kemudian terdengar lagi suara isakan dari dalam rumah, tangisan istri Pak RT kembali terdengar semakin keras dikeheningan malam.

“Sudah jangan menangis terus, malu kalau ada yang mendengar....”suara Pak RT menenangkan istrinya yang sedang gundah, sedih akibat mendengar dirinya mau menikah lagi dengan seorang janda di kampung sebelah.  Keinginan yang baru sebatas rencana saja, Itupun kalau dirinya jadi terpilih menjadi Kepala Kampung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun