Mohon tunggu...
Weren Talia
Weren Talia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang Indonesia asli yang selalu bertanya-tanya...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Introspeksi Rakyat: Sebuah Prasyarat Demokrasi

14 Juni 2015   10:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendidikan politik adalah prasyarat utama dalam sebuah masyarakat demokrasi. Karena dengan masyarakat yang melek politik-lah, proses demokrasi bisa berjalan dengan utuh. Artinya, masyarakat yang adalah pemegang kedaulatan benar-benar berdaulat atas hak-hak politiknya. Mereka tidak diikat oleh emosi sesaat dan atau kepentingan parsial. Mereka adalah orang-orang bijak yang dengan matang mampu menganalisa dan mengambil keputusan terbaik. Keputusan terbaik itu tidak selalu berarti harus segera berdampak langsung kepada masyarakat saat itu juga. Tetapi terbaik dalam arti yang menyeluruh, yaitu menyangkut kepastian pemenuhan hak-hak politik masyarakat. Dengan adanya kepastian, demokrasi tidak saja mewujud sekarang tetapi juga mendapat jaminan keberlanjutannya.

Demokrasi sendiri adalah sebuah sistem politik dimana peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sangatlah dominan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah slogan demokrasi yang sering sekali kita dengar akhir-akhir ini. Seperti sebuah siklus, demokrasi memainkan hukum tabur tuai dengan masyarakat sebagai pemeran utamanya. Dari rakyat berarti segala-galanya bersumber dari rakyat. Oleh rakyat berarti segala-galanya ditentukan oleh rakyat. Dan untuk rakyat berarti rakyatlah yang akan menerima konsekwensi dari kedua pilihan sebelumnya. Dalam lingkup Indonesia, hal ini sering diwujudnyatakan dalam pemilihan anggota DPR dan pemilihan Presiden atau Bupati dan Walikota.

Konsekwensi yang muncul ketika sistem demokrasi dilaksanakan dengan pemilihan umum, orang-orang yang terpilih dalam pemilu itu secara langsung maupun tidak langsung telah dilegitimasi oleh rakyat. Maka dengan demikian, mereka pun secara legal berhak mewakili rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat pun secara sah telah diserahkan kepada orang-orang terpilih itu. Persoalan yang sering muncul adalah ketika di suatu masa tertentu, rakyat merasa bahwa orang-orang yang dipilihnya itu tidak lagi bekerja demi kepentingan rakyat. Sementara mereka telah terlanjur memandatkan kekuasaannya melalui tata aturan demokrasi yang sah dalam peraturan negara.

Rakyat telah memilih orang-orang sebagai pelaksana dan perwakilan kepentingannya, tetapi sebaliknya rakyat kemudian dibatasi oleh peraturan ketika mereka hendak mengambil kembali kedaulatannya. Sekalipun niat itu sesungguhnya didasarkan pada pemenuhan kepentingannya. Hal ini berarti bahwa selain menyerahkan kewenangannya kepada orang-orang terpilih dalam pemilu, rakyat telah memasrahkan pula kepentingannya kepada mereka. Di sini, demokrasi tak bisa sepenuhnya dikatakan kedaulatan rakyat. Karena kenyataannya, dalam kosep demokrasi pun, kedaulatan rakyat justeru dibatasi oleh belas kasihan dan atau rasionalisasi perwakilannya.

Persoalannya adalah apakah peraturan yang dibuat dan disetujui untuk mengebiri kedaulatan rakyat itu adalah peraturan yang dibuat berdasarkan konsep dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat atau bukan. Atau paling tidak apakah ada peraturan yang kemudian dapat mengembalikan kedaulatan rakyat yang dalam pemilu untuk sementara telah dimandatkannya pada orang-orang terpilih itu. Jika tidak demikian, memang sudah sepantasnya di titik ini, masyarakat hanya menjadi penonton padahal mereka sedang tinggal dalam sebuah negara demokrasi dengan jargon utamanya adalah kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat.

Pendapat yang sering dinyatakan bahwa apapun yang terjadi dalam sebuah sistem demokrasi adalah cerminan bagaimana kesiapan masyarakat penganut sistem itu. Pendapat ini tidak ada salahnya ketika kita mengakui bahwa demokrasi adalah memeng benar-benar dibangun berdasar kedaulatan rakyat. Sehingga, berbagai akrobat dan perilaku orang-orang terpilih dalam pemilu tidak bisa dianggap sebagai persoalan yang lahir dari mereka sendiri. Persoalan itu harus juga dilihat sebagai persoalan masyarakat sebagai pelaku utama demokrasi. Di sinilah seharusnya yang menjadi titik refleksi masyarakat ketika diperhadapkan pada persoalan akuntabilitas orang-orang pilihan mereka yang sering berkhianat.

Akhirnya rakyat yang berdaulat memang tak hanya sekedar rakyat yang memiliki hak-hak untuk memutskan. Karena setiap keputusan yang diambil memiliki konsekwensi. Sementara demokrasi bukanlah kedaulatan yang sebebas-bebasnya. Ia tetap terikat oleh aturan. Dan peraturan itu bisa saja tidak didasarkan pada asas demokrasi. Sungguhpun demikian, persoalan utamanya adalah sejauh mana kedaulatan itu mampu dimainkan oleh rakyat untuk kepentingannya. Sehingga, prasyarat demokrasi sebenarnya adalah keterdidikan rakyat akan politik.

Dengan keterdidikan politik, masyarakat bisa lebih pasti menentukan orang-orang yang pantas dipilih karena akuntabilitasnya. Dengan keterdidikan politik, masyarakat bisa lebih berdaya memperjuangakan bahkan merebut kedaulatannya melalui mekanisme peraturan perundang-undangan yang sah tanpa harus bergantung pada keterwakilannya. Dan dengan keterdidikan politik, demokrasi yang sesungguhnya bisa benar-benar mewujud secara utuh dalam peran masyarakat yang aktif berpolitik.

Jogja, 1 November 2014

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun