Mohon tunggu...
Buda Patrayasa
Buda Patrayasa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kajian Sosiologi Desain Meme Politik Jelang Pemilu 2019

5 Desember 2018   20:46 Diperbarui: 9 Desember 2018   13:10 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diunggah di Facebook oleh pengguna bernama 'Nenk Dewi Fortunna'

(Tulisan ini adalah hasil revisi dari tulisan sebelumnya berdasarkan masukan dari Dosen Pengampu)

LATAR BELAKANG

Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sebuah proses yang biasa dilakukan di negara-negara yang menganut asas demokrasi sebagai ajang bagi rakyat untuk memilih calon-calon presiden dan anggota legislatif untuk beberapa kurun waktu periode ke depan. Pemilu dilakukan secara berkala pada beberapa kurun waktu tertentu dan prinsipnya diatur oleh konstitusi-konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Jadi bisa dibilang walaupun prosesnya hampir mirip di setiap negara demokrasi, namun aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut bisa saja berbeda dari satu negara dengan negara lainnya.

Proses pemilu sendiri cukup sederhana. Pertama-tama para calon-calon kandidat presiden atau anggota legislatif mendaftarkan diri mereka. Setelah terdaftar para rakyat akan memilih salah satu dari mereka sesuai dengan kehendak masing-masing pada saat pemilu. 

Setelah selesai, jumlah suara yang mereka dapat dari rakyat pun akan dihitung dan siapa pun dengan perolehan suara terbanyak menang dan berhak memperoleh kursi kedudukan yang sedang diperebutkan. Tentunya untuk memperoleh suara dari rakyat, seorang calon presiden atau anggota legislatif harus melakukan suatu tindakan atau usaha demi memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya dari rakyat. 

Tindakan atau usaha inilah yang biasa kita sebut dengan kampanye. Kegiatan kampanye ini pun bermacam-macam. Mulai dari memasang poster, baliho, dan banner di jalan raya sampai gang-gang kecil pemukiman penduduk, mengadakan acara atau program bakti sosial, menggelar acara hiburan untuk para rakyat, hingga mungkin bagi-bagi suap.

Di tengah era terbuka seperti saat ini, para pendukung setia mereka juga ikut andil dalam mengampanyekan calon-calon presiden atau wakil rakyat mereka. Tentu saja cara mereka dalam ikut serta mengampanyekan calon-calon. 

Presiden tidak semegah dan semewah bagaimana calon-calon Presiden mengampanyekan diri mereka sendiri. Meskipun begitu, pengaruh dari kampanye mereka tidak bisa dianggap remeh. 

Biasanya para pendukung para Pasangan Calon tersebut menyuarakan kampanye dan dukungan lewat media sosial mereka masing-masing. Tidak hanya lewat status, namun banyak juga yang menyuarakan lewat foto, video, sampai meme. Berbagai macam hal yang mereka pos di dunia maya tersebut tidak hanya menyuarakan soal dukungan terhadap calon-calon mereka, namun juga ejekan atau sindiran terhadap "kubu sebelah" dari calon yang mereka dukung.

Meme adalah bentuk transmisi budaya melalui replikasi ide, gagasan, yang merasuk ke dalam kognisi manusia. Meme menjadi fenomena baru di dunia maya seiring dengan meningkatnya pengguna media sosial di Indonesia. Meme kemudian muncul sebagai wahana hiburan bagi para netizen (masyarakat dunia maya) karena sifatnya yang mengandung parodi dan sindiran yang lucu terhadap sebuah peristiwa. Meme diciptakan melalui proses replikasi dan modifikasi dari foto/gambar atau video yang dilengkapi teks berisi berbagai macam pesan tertentu yang ditujukan bagi pihak-pihak tertentu atau masyarakat luas.

Ditambah belakangan ini, dimana situasi politik sedang panas-panasnya menjelang Pemilu Presiden 2019, dunia maya diwarnai dengan berbagai kemunculan meme, video kampanye hingga tulisan-tulisan bertagar antar pendukung masing masing calon. Seperti salah satunya meme "politikus sontoloyo" yang awalnya merupakan ungkapan rasa jengkel yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo terhadap ulah politikus politikus yang mengadu domba, fitnah, dan memecah belah untuk meraih kekuasaan. Pernyataan tersebut ia suarakan saat acara pembagian 5.000 sertifikat lahan di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. 

Hal ini pada akhirnya menjadi sebuah "blunder" yang menyebabkan munculnya kritik oleh beberapa pengamat serta lawan politiknya sebagai hal yang tak seharusnya keluar dari lisan seorang Presiden. 

Tak hanya sampai disitu, kata "sontoloyo" juga menjalar ke media meme sebagai bentuk respon dari masyarakat luas atas diksi kontroversial tersebut, bentuknya berupa gambar parodi yang berisi sindiran, satire, atau hal-hal lucu mudah dipahami oleh pengguna sosial. Meme sontoloyo ini muncul dari kedua kubu, baik dari pendukung Jokowi yang menujukan meme ini sebagai bentuk mengkritisi lawan politik Jokowi maupun kubu oposisi yang membalikan kata "sontoloyo" untuk mengkritisi Jokowi.

Kemunculan meme sendiri sering menimbulkan pro dan kontra tersendiri di kalangan masyarakat luas. Apalagi jika hal tersebut sudah menyangkut dengan Pemilu Presiden, yang notabenenya merupakan pemilu terbesar yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia selama 5 tahun ke depan. 

Fenomena meme pada Pemilu Presiden menjadi contoh bahwa media sosial membawa dampak perubahan interaksi tidak hanya di level individu melainkan juga di level yang lebih besar. Visi misi hingga sejarah perjalanan karir masing-masing calon tidak lagi dipaparkan secara konvensional. Para pendukung masing-masing calon membangun kekuatan massanya melalui media sosial dan saling mempromosikan calonnya.

PEMBAHASAN

Akhir-akhir ini fenomena meme sudah marak tersebar di dunia maya dengan berbagai tujuan dalam penggunaannya. Pertama kali yang mempopulerkan kata meme adalah Richard Dawkins pada tahun 1976 dalam bukunya yang berjudul "The Selfish Gene" (1989: h. 368)  Kata meme berasal dari bahasa Yunani yaitu "mimeme" yang berarti satuan kecil dari sebuah budaya yang mirip seperti gen. Gen dapat berkembang biak dengan cara memperbanyak dirinya dari satu tubuh ke tubuh yang lain melalui sperma atau sel telur, sama seperti meme yang bisa berkembang biak dari satu pikiran ke pikiran yang lain melalui proses imitasi (peniruan). Meme dapat berkembang biak dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan melalui satu populasi pada satu masa generasi. Inti dari meme sendiri mempunyai kegunaan untuk menyebarkan suatu gagasan tentang budaya  yang berkembang, dalam hal ini internet menjadi suatu budaya dalam sarana berkomunikasi. Internet sangat popular di semua kalangan usia bahkan sudah menjadi prioritas utama dalam setiap kegiatan manusia, terutama sarana hiburan, pendidikan, dan pekerjaan. Dalam hal ini, manusia terutama pengguna internet adalah orang yang menggandakan meme itu sendiri menjadi berkembang sampai saat ini.

Di Indonesia, meme sangat dekat dengan pengguna jejaring sosial dengan isi tentang keadaan atau kejadian di sekitar masyarakat dan dibuat menjadi sesuatu yang sifatnya hiburan. Jenis-jenis meme yang sedang popular yaitu : meme sindiran, meme percintaan, meme motivasi, meme, joke, dan meme politik. Meme dapat berisi kritik , ungkapan, dan sindiran terhadap sesuatu dan divisualkan melalui foto atau komik dengan tambahan teks di dalamnya sebagai penguat akan tujuan meme itu sendiri. Orang Indonesia lebih suka melakukan cara itu karena lebih menghibur dan lucu. Fenomena meme itu juga tak jarang menuai protes dari berbagai pihak yang dirugikan atau sekelompok orang yang peduli terhadap seseorang yang dijadikan bahan pembuatan meme.

Dampak dari penggunaan meme dalam media sosial sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menyikapi keadaan sekitar. Semua orang dapat melihat meme dengan mengakses smartphone atau komputer yang terhubung dengan internet. Gambar yang dihasilkan dari meme dapat membuat seseorang tertawa karena lucu atau malah marah ketika melihat meme yang  berupa sindiran dan kritikan terhadap dirinya atau seseorang yang diidolakannya. Ketika seseorang tertarik melihat meme tersebut maka ia akan berupaya membagikan atau me-repost ulang ,sehingga akan mudah tersebar.

Untuk mengkaji meme politik sebagai bagian dari media massa, maka perlu diketahui juga adanya beberapa karakteristik penting dari komunikasi massa seperti yang disebutkan oleh John Thompson (1995: h. 26-28), diantaranya ; (1) "Terdiri dari metode teknis dan institusional produksi dan distribusi" - Ini terbukti sepanjang sejarah media massa, dari cetak hingga internet, yang mana masing-masing cocok untuk utilitas komersial. (2) Melibatkan "komodifikasi bentuk simbolik" - karena produksi bahan bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi dan menjual sejumlah besar karya; karena stasiun radio bergantung pada waktu mereka dijual ke iklan, begitu juga surat kabar bergantung pada ruang mereka untuk alasan yang sama (3) "Konteks terpisah antara produksi dan penerimaan informasi". (4) Ini "mencapai mereka yang jauh 'dalam waktu dan ruang, dibandingkan dengan produsen". (5) "Distribusi informasi" - bentuk komunikasi "satu ke banyak", di mana produk diproduksi secara massal dan disebarkan ke sejumlah besar khalayak.

Lebih lanjut, Rosengren (1994) mengemukakan bahwa dampak dari media massa dapat dilihat dari dua faktor, yaitu skala target sasarannya (individu atau masyarakat luas) dan kecepatannya (cepat atau lambatnya, dalam hitungan jam atau melalui periode-periode sekian lamanya). Dikemukakan juga oleh Laswell (1948) sebuah model komunikasi sederhana yang lumrah digunakan dalam mengevaluasi suatu proses komunikasi, yang didalamnya terdapat lima elemen esensial sebagai berikut: (1) Who, merujuk pada komunikator atau sumber yang mengirimkan pesan. (2)  (Says) What, merujuk pada isi pesan. (3) (In Which) Channel, merujuk pada media atau saluran yang digunakan untuk mengirimkan pesan. (4) (To) Whom, merujuk pada penerima pesan. (5) (With What) Effects, merujuk pada efek media yang ditimbulkan.

Setelah itu, komponen visual dari sampel-sampel meme politik tersebut dapat dikaji makna konotatif dan denotatif yang terkandung di dalamnya. Piliang (1998: 17) menyebutkan bahwa makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan unsur psikis (emosi dan perasaan) serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. lebih lanjut lagi disebutkan bahwa makna denotatif mengenai hubungan yang gamblang antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif.

  • Sampel meme pertama

tenor.com oleh Ahmad Ramli
tenor.com oleh Ahmad Ramli
Sampel meme pertama, diunggah pada tanggal 17 November 2018 di tenor.com oleh Ahmad Ramli

Pada sampel meme pertama di atas, dapat terlihat sesosok rupa Jokowi sedang mengenakan pakaian adat Solo dalam rangka menghadiri festival Keraton dan Masyarakat Adat 2018. Dikaji dengan teori Triadik Sosiologi Desain, aspek manusianya adalah audiens dari meme politik di atas yang menyaksikan meme tersebut di sosial media internet, aspek benda desainnya adalah meme politik tersebut, dan aspek sistem nilainya adalah kebutuhan berkampanye oleh kelompok atau individu pada sosial media.  Meme politik ini menjadi salah satu meme yang tersebar luas di salah satu situs internet yaitu tenor.com, situs yang menjadi platform berbagi gambar digital dengan format .GIF.  Target sasaran meme ini tidak begitu jelas, berhubung meme ini diunggah bersamaan dengan meme-meme lainnya dan tersebar secara acak di situs tenor.com, serta kecepatan penyebarannya tergolong tinggi karena tenor.com merupakan situs yang cukup sering diakses oleh pengguna internet Indonesia.

Meme politik ini diunggah oleh Ahmad Ramli, yang dalam meme tersebut menunjukkan sosok Jokowi dalam pakaian raja dengan kedua teks "RAJA GENDERUWO" dan "SONTOLOYO". Efek yang ditimbulkan dari adanya meme politik ini terhadap pengguna internet yang mencermatinya adalah timbulnya pemahaman dalam benak audiens bahwa Jokowi adalah seseorang yang dianggap berparas seperti Raja Genderuwo dan bersifat Sontoloyo. Menariknya dari meme politik ini adalah antara unsur visual dengan verbal tidak memiliki kesinambungan dari latar belakangnya masing-masing. Unsur verbal "RAJA GENDERUWO" memiliki makna konotasi sesosok raja dari para jin besar yaitu genderuwo dan makna denotasi yaitu raja yang bersifat besar, bengis dan jahat bagai genderuwo, sementara "SONTOLOYO" memiliki makna konotasi orang yang bodoh dan dungu dan makna denotasinya adalah seorang penggembala itik. Hal tersebut tidak ada korelasinya dengan unsur visualnya yang menunjukkan Jokowi yang menggunakan pakaian bak raja hanya untuk mengikuti festival adat tertentu. Belum lagi kedua unsur verbal tersebut menciptakan persepsi bahwa Jokowi adalah seorang raja yang buruk dan bodoh terhadap audiens, meskipun bila ditelisik akan ditemukan bahwa awalnya kedua istilah tersebut dilontarkan Jokowi pada saat menghadiri pembagian 5000 sertifikat tanah di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2018) yang merujuk kepada cara-cara politik yang tidak beretika, yang tidak bertata krama Indonesia seperti memfitnah dan mengadu domba hanya untuk memperebutkan kekuasaan, sebagai bentuk kejengkelan atas komentar-komentar tidak berdasar dari beberapa oknum masyarakat yang menyebutkan Jokowi sebagai salah satu anggota PKI dan sebagainya.

  • Sampel meme kedua

diunggah di Facebook oleh pengguna bernama 'Nenk Dewi Fortunna'
diunggah di Facebook oleh pengguna bernama 'Nenk Dewi Fortunna'
Sampel meme kedua diunggah di Facebook oleh pengguna bernama 'Nenk Dewi Fortunna' pada tanggal 11 November 2018

Sampel meme kedua, diunggah di Facebook oleh pengguna sosial media bernama Nenk Dewi Fortunna pada tanggal 11 November 2018. Sampel meme kedua menunjukkan sosok Jokowi bersama Surya Paloh saat acara Harlah PKB ke-16 di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Rabu (23/7/2014). Seperti halnya sampel meme sebelumnya, sampel meme kedua ini memiliki aspek-aspek triadik sosiologi yang sama dengan sampel meme sebelumnya. Meme ini memiliki unsur visual dan verbal. Unsur verbalnya diwakili dengan teks "Apakah ini yg dimaksud pak Jokowi "Sontoloyo dan Genderuwo". 

Sontoloyo dan Genderuwo!" sementara unsur visualnya diwakili oleh foto Jokowi dan Surya Paloh tersebut. Berbeda dengan meme sebelumnya, meme politik ini disebarluaskan melalui media sosial Facebook, yang mana memiliki pengguna akun dari Indonesia sebesar 6% dari total keseluruhan pengguna Facebook global (Rizky Chandra Septania, Kompas: 2018) sehingga sasaran meme politik ini dapat terbilang luas. 

Makna konotasi dari unsur verbal meme ini menunjukkan bahwa kedua sosok pada foto meme tersebut memiliki sifat sebagai seorang yang dungu dan seorang yang bengis. 

Meme ini memberikan dampak perseptif terhadap audiensnya di media sosial, yaitu timbulnya pemahaman bahwa kedua sosok itu merupakan sosok yang berparas dan bersifat buruk sehingga audiens terpersuasikan untuk menatap ke bawah kedua sosok tersebut. Sekali lagi terdapat adanya ketidakterkaitan antara konotasi unsur visual dan verbal dalam meme politik ini, yang mana membuatnya dapat tergolong sebagai kampanye hitam.

  • Sampel meme ketiga

diunggah di Instagram oleh pengguna bernama @mac_tab
diunggah di Instagram oleh pengguna bernama @mac_tab
Sampel meme ketiga, diunggah di Instagram oleh pengguna bernama @mac_tab pada 26 Oktober 2018

Sampel meme ketiga menunjukkan paras Fadli Zon dengan watermark Liputan 6 terlihat di pojok kiri bawah meme tersebut, menunjukkan foto berasal dari dokumentasi Liputan 6. Meme politik ini juga memiliki aspek triadik sosiologi yang sama dengan kedua sampel lainnya. Meme ini memiliki unsur verbal dan visual; unsur visualnya adalah foto Fadli Zon dan unsur verbalnya adalah teks "Mereka Fitnah Jokowi Adalah PKI, Kafir, Antek Aseng/Asing. 

Dengan Satu Kata Saja Sontoloyo Mereka Kelojotan". Meme ini diunggah di Instagram yang menjadi salah satu media sosial dengan pengguna terbanyak di dunia, dengan 57 juta pengguna dari Indonesia (WeAreSocial.net: 2018), menjadikan Instagram sebagai target penyebaran meme yang luas dan efektif. Makna konotasi dari unsur verbal meme tersebut, merujuk kepada sekelompok orang-orang yang memfitnah Jokowi berkali-kali yang lebih mudah terpengaruh emosinya oleh satu pernyataan dari Jokowi saja. 

Makna konotasi pada unsur visual meme ini memiliki hubungan dengan konotasi unsur verbalnya. Pada unsur visualnya, Fadli Zon ditunjukkan sebagai salah seorang yang menjadi bagian dari kelompok pemfitnah Jokowi, seperti konotasi unsur verbal. 

Meskipun secara denotatif korelasi antar kedua unsur tersebut masih rancu. Bila diperhatikan dengan sesaat, teks tersebut akan terlihat sebagai kutipan dari seorang Fadli Zon, sehingga persepsi audiens mengatakan bahwa pernyataan pada meme tersebut diutarakan oleh Fadli Zon. Hal ini menjadi kelemahan utama sampel meme ketiga ini.

KESIMPULAN

Meme telah menjadi alat yang penting untuk menyampaikan ekspresi atau sikap politik dalam penggunaan platform media baru yang saat ini marak digunakan masyarakat kita, seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, juga Whatsapp. 

Fenomena penggunaan meme di media sosial dalam penyebaran informasi politik sangat menarik perhatian, karena meme yang berupa gambar parodi yang berisi sindiran, satire, atau hal-hal lucu. Meme dalam wujud  gambar dan  teks  kini menjadi gaya  baru  dalam   berkomunikasi   dan   berdemokrasi  secara  digital.  Pakar  media  baru  bahkan menyebutnya  sebagai "genre" dalam  kultur media   baru.

Bardasarkan hasil analisis pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa banyak dari meme politik yang menimbulkan kesalahpahaman terhadap pengguna media sosial , karena kurangnya pemahaman yang diterima kepada rakyat. 

Salah satunya yaitu  "politik sontoloyo" yang dikemukakan presiden Jokowi merupakan kalimat yang ditujukan kepada para politisi , tetapi masyarakat salah mengartikan perkataan itu, dan menimbulkan persepsi yang rancu oleh masyarakat terhadap presiden Jokowi. Hal ini menandakan bahwa meme bersifat   kontekstual,   artinya sangat  bergantung  pada  konteks tempat, situasi dan latar belakang subjek yang merespon meme tersebut.

SARAN

Fenomena meme politik yang tersebar pada media sosial menuai berbagai respon dari masyarakat. Secara sengaja atau tidak, hal ini dapat mengubah mindset publik sebagai media komunikasi yang terdapat di dunia maya. Himbauan yang dapat kami sampaikan untuk fenoma ini antara lain:

  • Memahami informasi sebelum mengkritis / mengomentari.
  • Lebih bijak dalam penggunaan / menikmati meme.
  •  Tingkatkan budaya literasi.

Bagaimanapun, berbagai meme terutama meme sindiran adalah hal yang bisa dikatakan sebagai hal yang negatif, meskipun juga bisa menjadi hal yang positif. Sisanya adalah tentang bagaimana pemahaman kita untuk menyikapinya dan lebih berhati-hati saat berselancar di internet dan sosial media dalam menghadapi arus informasi di era terbuka ini.

DAFTAR PUSTAKA

- Akuntono, Indra. 25 Agustus 2018. "Paloh Masih Berharap Partai di Koalisi Merah Putih Mendukung Jokowi". Kompas.com. Diakses tanggal 3 Desember 2018.

- Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ikrar Mandidrabadi. Jakarta. ISBN 9796860244

- Cobabelajardikit. 10 September 2015. "Meme Ramaikan Dunia Media Sosial". Diakses tanggal 3 Desember 2018.

- Dawkins, Richard. 1989. The Selfish Gene, ed. 2. Oxford University Press. USA. ISBN 978-0-19-217773-5

- Fiske, John. 2014. Pengantar Ilmu KomunikasiEdisi Ketiga. PT. Rajagrafindo Persada, Depok. ISBN 978-979-769-422-7

- Ihsanuddin. 24 Oktober 2018. "Sebut Banyak Politisi Sontoloyo: Ini Penjelasan Jokowi". Kompas.com. Diakses tanggal 3 Desember 2018.

- Ihsanuddin. 23 Oktober 2018. Jokowi: "Hati-hati, Banyak Politikus Sontoloyo!" Kompas.com. Diakses tanggal 4 Desember 2018.

- Katadata.co.id. 2018. "Berapa Pengguna Instagram dari Indonesia?" diakses tanggal 3 Desember 2018.

- Lasswell, Harold D. 1948. Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?

- Nugroho, Bagus Prihantoro. 23 November 2018. "Diksi Jokowi Saat Bagi Sertifikat Tanah: Sontoloyo-Genderuwo-Tabok". detikNews. Diakses tanggal 3 Desember 2018. 

- Pilliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Penerbit Mizan. Bandung. ISBN 9794331570

- Prasetia, Andhika. 12 November 2018. "PDIP Geram Poster 'Raja Jokowi' Beredar di Jateng". detikNews. Diakses tanggal 4 Desember 2018. https://news.detik.com/berita/4298208/pdip-geram-poster-raja-jokowi-beredar-di-jateng

- Rosengren, Karl Erik. 1994. Media Effects And Beyond: Culture, Socialization, and Lifestyles. Routledge. NY. ISBN 0-415-09141-1

- Thompson, John. 1995. The Media and Modernity: A Social Theory of The Media. Stanford University Press. ISBN 978-0-7456-1004-7

- Tinarbuko, Sumbo. 2018. "Kuliah Teori Triadik Sosiologi Desain".  Materi dipresentasikan dalam perkuliahan mata kuliah Sosiologi Desain. 21 November. Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bantul, Yogyakarta. tidak dipublikasikan.

- Tinarbuko, Sumbo. 2012. Semiotika Komunikasi Visual. Jalasutra. Yogyakarta. ISBN 978-602-8252-75-1

Oleh:

I Kadek Buda Patrayasa 1712462024
Annisa Dini Romadhoni 1712452024
Angga Edi Saputra 1712455024
Laras Kendrayana 1712437024
Pramudya Wardani 1712467024
Candra Krida Mustika 1712456024
M. Aldiansyah Fahreza 1712440024
Samuel Videy Sukarno 1712449024
M. Yusuf H. Hasibuan 1712468024

dsc00885-5c07d15aaeebe17a4e36bcc3.jpg
dsc00885-5c07d15aaeebe17a4e36bcc3.jpg
Dari kami Kelompok 3
DKV Reguler Angkatan 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun