Mendukung seseorang tentu sah-sah saja. Pun begitu mendukung ideologi suatu partai. Tidak ada salahnya menjadi pendukung setia seorang tokoh ataupun kader militan suatu partai. Asal semua itu masih sesuai dengan koridor-koridor tata nilai dan etika yang berlaku di wilayah atau daerah tersebut.
Kenyataannya tidak demikian. Koridor tata nilai dan etika itu sering diterobos begitu saja oleh ekstrimis-ekstrimis yang mendukung tokoh atau ideologi suatu partai secara membabi buta. Tidak pandang bulu. Asal ada indikasi perbedaan, langsung diserang Terlihat menantang, dihantam. Tampak kritis dibantai habis. Hingga terjadilah perang mulut hingga adu jotos.
Keberagaman pemahaman, informasi, pendidikan, dan pengetahuan seringkali menjadi akar dari permasalahan tersebut. Bahkan! Konflik antar ideologi dan antar pendukung tokoh ini melebar, masuk kedalam internal pemerintahan. Misalnya terjadinya perseteruan antara kubu Polri dan KPK, antara KPK dan DPR, dan lain sebagainya. Konflik-konflik itu sering kali ditunggangi kepentingan-kepentingan partai yang dimotori oleh oknum yang memiliki beragam level pengetahuan, informasi, pendidikan, dan pengetahuan.
Kita coba telisik lebih jauh ke masa-masa Ahok dilantikmenjadi gubernur menggantikan Jokowi, banyak isu sara' dihembuskan, isu rasis, dan lain sebagainya juga berhamburan di jagat media massa seperti awan cirrus yang diterjang badai. Sulit membedakan mana yang benar-benar bisa dipercaya dan mana yang lempar sebagai senjata black campaign.
Belum lama setelah pak Ahok dilantik, sudah digodok lagi isu-isu yang bertujuan untuk menjatuhkan beliau. Isu agama diramu, isu rasis disiapkan, bahkan! hal-hal remeh temeh pun diikutsertakan untuk berkompetisi untuk menjatuhkan pak Ahok bersanding isu-isu yang lain. Seniman ahli meme yang sekaligus merangkap sebagai seniman penghujat laris manis. Jagat sosial media terguncang dengan isu-isu tersebut. Strategi black hat yang hebat! Namun sayangnya tak membuahkan hasil. Pak Ahok tetap duduk manis di kursi gubernur. Mereka pun sempat jadi jamaah gigit jari.
[caption caption="Fahri Hamzah Adu Mulut dengan Penyidik KPK diambil dari Kompas"][/caption]
Seniman penghujat kembali bangkit ketika melihat ada peluang untuk mengkompori masyarakat melalui kebiasaan pak Ahok yang dianggap tidak sesuai dengan budaya bangsa. Beliau dinilai suka berbicara kasar dan ceplas-ceplos. Hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat menurut versi mereka. Kartun Meme yang berusaha menjelekkan citra pak Ahok kembali laris. Banyak diantaranya yang mengutip kata-kata dari tokoh lain yang sehati dengan mereka untuk menyalahkan sang gubernur. Tak sedikit pula seniman-seniman penghujat itu berasal dari luar daerah kepemimpinan pak Ahok alias bukan warganya pak Ahok secara administratif, namun merasa bisa dan berhak mendikte pak Ahok. Sungguh lucu.
Beberapa minggu yang lalu, media dibuat gempar ketika ada kejadian adu mulut antara pak Fahri Hamzah dengan seorang penyidik KPK, Christian. Lucunya, seniman-seniman penghujat pak Ahok itu malah memuji keberanian pak Fahri Hamzah karena melakukannya untuk menegakkan aturan. Lucunya lagi, meskipun orang yang diidolakan sama-sama berkata kasar dengan mebentak-bentak penyidik, itu tidak dianggap hal yang buruk sebagaimana penilaian mereka terhadap pak Ahok.
Begitulah memang yang akan terjadi jika kita mengukur orang lain dengan standar ukuran kita sendiri. Jika orang sekubu melakukan kesalahan kemudian diperkarakan akan dibela sebagai orang yang terdzolimi, jika orang lain yang terkena kasus dianggap azab. Jika orang sekubu mendapat pujian dianggap sebagai kader pilihan, namun jika berasal dari kubu seberang dianggap sebagai pencitraan. Dunia memang begitu, kah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H