“AC nya memang sudah lama mati pak”, jawab petugas satpam di loket pemesanan tiket Stasiun Pasar Senen itu singkat. Pendingin udara yang berjumlah empat buah itu sepertinya memang sedang tidak berfungsi.
****
Saya sudah lama mendengar dan mengikuti transformasi yang dilakukan PT. KAI. Dibawah sang komandan Ignatius Jonan, KAI memang benar-benar menuju kearah perubahan. Telah banyak prestasi dan pujian yang dialamatkan kepada perusahaan yang dulunya bernama PJKA ini. Bahkan Menneg BUMN Dahlan Iskan, adalah orang yang selalu membanggakan Jonan. Meminjam istilah Dahlan, Jonan adalah manusia yang “menyebalkan dilihat dan perlu”.
Dan saya pun akhirnya merasakan sentuhan tangan dingin Jonan saat naik KA Menoreh menuju Semarang. Saat itu sekitar bulan April 2014. Suasana peron yang terasa lapang dan lebih bersih, KA yang terawat, dan jadwal keberangkatan dan kedatangan yang lebih teratur. Setelah lebih dari lima tahun tidak pernah menjejakkan kaki di Stasiun Pasar Senen, saya cukup terkaget-kaget dengan suasananya yang serba baru. Parkir kendaraan yang luas, jalan khusus pejalan kaki yang berkanopi, mini market dll. Benar-benar perubahan yang drastis, apabila dibandingkan keadaan beberapa tahun yang lalu. Sayangnya saat itu saya tidak sempat berkeliling lebih jauh di area stasiun, karena mepetnya waktu keberangkatan kereta.
Sebenarnya saya pun naik KAI atas saran teman yang sudah sering pulang ke Solo menggunakan KAI. Saat itu saya membeli tiket di Alfamart dekat tempat tinggal. Sangat mudah dan praktis.
Maka, betapa kecewanya saya saat membeli tiket pesanan, langsung di loket stasiun Pasar Senen. Rabu (30/9) itu saya memang berniat memesan tiket tujuan Semarang Tawang. Karena posisi kantor di daerah Jakarta Pusat, saya memutuskan untuk membeli langsung di loket stasiun.
Saya pun menuju ruang pembelian pemesanan tiket, disamping ruang tunggu penumpang. Kekecewaan saya yang pertama adalah tidak adanya pulpen untuk mengisi formulir pemesanan. Saya berpikir mungkin hilang diambil calon penumpang yang lain. Dan yang paling terasa dari suasana ruang loket itu adalah panasnya loket.
Memang terlihat ada empat buah penyejuk udara yang menempel di tembok. Tapi keempat AC itu tak lebih dari penghias dinding, karena tidak berfungsi. Selain AC, sebenarnya terdapat pula lima buah kipas angin besar, yang pada bagian bawah kipas terdapat tabung air. Bila kipas berputar, seharusnya juga memercikkan air lembut dari tabung untuk mendinginkan suasana. Sayangnya, yang berfungsi hanyalah baling-baling kipas tersebut. Air lembut yang diharapkan itupun tidak memancar. Ternyata tabungnya kosong. Dan ini yang membuat saya agak miris, saya melihat kipas-kipas tersebut sangat kotor dan berdebu. Entah sudah berapa generasi tidak dibersihkan. Padahal, saya melihat banyak sekali staf dan satpam di ruangan tersebut. Kalo istilah dalam bukunya Jonan, mata boleh sama dua biji, tapi cara pandang yang berbeda.
Kami pun mengantri dalam suasana panasnya sauna. Tanpa AC dan tanpa air kipas yang lembut itu. Sebuah penghargaan yang tidak tepat kepada konsumen yang katanya pemberi gaji para karyawan KAI.
Kami baru merasakan sejuknya AC saat sudah berada didepan loket. Karena semua AC dalam ruangan reservasi tiket berfungsi dengan baik. Sebuah ironi, karena mereka adalah pelayan konsumen, tapi justru konsumen yang mereka layani malah kepanasan. Hanya dapat mengandalkan formulir pemesanan sebagai kipas dadakan, sekedar untuk menghalau hawa panas.
Akhirnya, setelah menunggu selama 40 menit untuk antrean yang hanya tujuh orang, saya pun mendapat tiket yang saya inginkan –sebuah pemborosan waktu kerja-. Badan basah berpeluh keringat, segera saya beli minuman dingin untuk mengurangi panasnya sauna loket tiket.
Kekagetan saya yang terbesar adalah ketika menuju parkir motor. Di bagian luar ruang tunggu, terdapat pohon Trembesi. Pohon yang rindang itu memang dijadikan tempat kongkow para calon penumpang dan karyawan KAI. Yang jadi masalah bukan kongkownya, tapi banyaknya puntung rokok di bawah Trembesi itu. Melihat banyaknya puntung rokok, saya bisa membayangkan betapa serunya aktivitas para perokok disana. Ternyata, puntung rokok juga banyak berserakan persis di depan mini market di samping pohon rindang tersebut. Pemandangan yang sangat tidak elok untuk stasiun sekelas ibu kota negara.
Pohon rindang dan halaman mini market yang seharusnya bersih itu, telah berubah merubah menjadi asbak raksasa. Lebih miris lagi bila membaca tulisan dilarang merokok di dinding ruang tunggu. Tulisan itu benar-benar tidak ada gunanya.
Semoga manajemen KAI Stasiun Senen dapat mengatasi hal ini. Jangan sampai semua perubahan hebat yang telah dilakukan jadi tampak sia-sia. Jangan gara-gara “nila AC setitik, rusak KAI sebelanga”…!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H