Jakarta Lawyer Club, acara yang digagas dan dipandu oleh Karni Ilyas tadi malam (25/10) tak ubahnya menjadi ajang penggiringan opini publik. Dari segi narasumber yang dihadirkan pun tidak berimbang, dukungan narasumber yang hadir terhadap kepemimpinan ketua umum Djohar Arifin hanya datang dari Timbul Thomas Lubis, sedangkan wartawan senior Budiarto Shambazy meski juga mendukung Djohar Arifin namun komentar-komentar yang dilemparkannya bersifat objektif, ciri khas wartawan berpengalaman. Lalu siapa narasumber dan undangan yang kontra Djohar Arifin? Ya hampir semua yang hadir. Kita bisa lihat nama-nama seperti La Nyalla Matalitti, Harbiansyah, Hinca Panjaitan, lalu ada 2 anggota exco yg pro Nyalla (waduh siapa gk jelas, tv0ne disini sinyal jelek) dan masih banyak lagi nama-nama pendukung. Jadi jelas, tadi malam tak ubahnya penggiringan opini publik untuk menentang Djohar Arifin, karena hanya Timbul Thomas Lubis saja yang menyuarakan pembelaan kepada Djohar Arifin, itupun dengan sedikit kesempatan dan sudah di-cut untuk dilemparkan ke audiens lain.
Tak ada independensi dari Karni Ilyas sang moderator, pertanyaan yang dilontarkan pun tak jauh dari "setuju gak 24 klub?", atau "setuju gak dengan 6 klub tambahan gratis ini?", tanpa mau menggali mengenai yang terjadi dibalik layar. Berhubung hanya Timbul yang pro DA, sudah pasti semua narasumber yang hadir akan mengiyakan semua pertanyaan "retoris" yang sudah dipersiapkan Karni Ilyas.
Sebenarnya dalam perbincangan tadi malam ada beberapa poin yang mungkin bisa menohok kubu yang bersebrangan dengan Djohar Arifin, tapi sayang beberap poin yang digulirkan Timbul ini hilang begitu saja dengan 'kepintaran' Karni Ilyas menentukan jeda iklan dan mengalihkan tema pembicaraan.
Poin 1 :
Exco adalah kependekan dari Executive Comitte, atau pelaksana (ujung tombak) dari PSSI, jadi apa yang disampaikan ke media haruslah atas nama komite. Tapi apa yang terjadi? La Nyalla Matalitti adalah orang yang paling vokal koar-koar ke media dan menentang kepemimpinan Djohar Arifin. Padahal saat di rapat exco, si Nyalla ini tidak pernah protes sampai dengan teriak-teriak dengan kengototannya seperti yang selama ini kita lihat di media.
Poin 2 :
Selain standart statuta FIFA, sebenarnya masih ada peraturan pelaksana statuta dan kode etik kongres. Dan moderator, beliau bapak Karni Ilyas sepertinya tidak mau pembicaraan berkembang pada bahasan Kongres Bali yang sebenarnya banyak menyalahi aturan main. Dengan sedikit penjelasan mengenai peraturan pendukung statuta dan kode etik kongres saja dapat ditarik kesimpulan bahwa Kongres Bali adalah menyalahi aturan, maka dari itu kesempatan pun stop disini untuk memberi kesempatan narasumber lain bicara. Padahal dari semua yang sekarang ribut-ribut ini hampir semuanya mengacu pada keputusan Kongres Bali.
Selaku moderator, sangat aneh juga ketika Karni Ilyas beberapa kali langsung menyebut nama seseorang untuk diberi kesempatan bicara, sedangkan disaat yang bersamaan ada beberapa orang persis di depannya yang menunjukkan tangan tanda ingin diberi kesempatan bicara. Namun dari sekian banyak narasumber yang tak berimbang ini, setidaknya ada dua orang yang terkesan solutif dan objektif menyikapi kisruh persepakbolaan saat ini.
Ian Situmorang
Wartawan yang sudah malang melintang di dunia jurnalis olahraga ini menyoroti tentang kinerja exco. Seharusnya bila ada perdebatan panjang, itu adalah urusan exco yang memang dituntut jadi ujung tombak PSSI. Kalau ada ribut, pasti wartawan suka karena akan jadi komoditas berita. Tapi Situmorang menyarankan agar semua ribut-ribut itu diselesaikan di rapat exco karena itulah tugasnya (kalo perlu ampe bunuh2an di rapat exco, begitu ane nangkep gaya bicara bung Situmorang), tinggal nanti dijelaskan ke media secara terperinci mengenai hasil dan beberapa pertimbangannya. Di akhir kesempatan, bung Situmorang dengan tegas mengatakan bahwa kompetisi dengan 24 tim dan harus melewati 46 pertandingan dari Sabang sampai Merauke, sungguh berat.
Arswendo Atmowiloto
Kesimpulan dari apa yang diberikan oleh Arswendo adalah harus menghargai satu sama lain. Sebenarnya akar permasalahan dari semua ini adalah tidak pernah bertemunya pihak-pihak yang berseteru (termasuk di JLC kali ini ya bang). Di akhir kesempatan beliau mengatakan, Bakrie (nirwan) itu gila bola dan punya duit, Panigoro juga gila bola dan punya duit, yasudah temuin aja dua orang itu untuk memajukan sepakbola, tak perlu saling ribut.
Sebenarnya saya menunggu komentar nyeleneh tapi tepat sasaran dari Sujiwo Tejo, tapi sayang beliau tidak hadir. Tapi menjelang berakhirnya acara ini, ada satu komentar aneh sekaligus komentar bodoh dari Anwar Fuady. Anwar yang menjabat sebagai ketua Parfi (gk tau masih menjabat atau gk) ini berkomentar :
"Urusan bola, serahkan pada orang yang ahli bola, yaitu Nurdin Halid"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H