Meski nampak senyum terkembang tipis dari bibir dr Fadli, tapi dari sorot mata dan tatapannya yang tajam, Sari dapat menyimpulkan bahwa dr Fadli tengah serius. Entah serius untuk merangkai kata yang akan disampaikan kepada dirinya, entah serius untuk menenangkan diri agar tidak terlihat gugup. "Bagaimana dok ?" tanya Sari harap harap cemas. "Seperti yang kita lihat bersama bu, lingkar kepala bayi ibu Sari sudah terlihat besar untuk seukuran usia kandungan 17 minggu seperti ibu" sambil menunjuk ke arah layar monitor, dr Fadli mencoba membuka penjelasannya kepada Sari. "Meski pada bagian kemaluan masih tertutup, tapi kalo dilihat dari tanda kehitaman yang jelas terlihat diantara kedua mata janin, itu menandakan . . ." dokter Fadli menghentikan sejenak penjelasannya. "Menandakan apa dok ?" Sari buru-buru melontarkan pertanyaan sebelum sempat dokter Fadli melanjutkan. Sari gelisah dan mulai menerka-nerka apa yang akan dikatakan oleh dokter Fadli. Keringat membasahi parasnya yang terlihat kecapean di siang hari kota Jakarta yg terik. Bulir-bulir keringat dia lap dengan tisue persediaan yang dia bawa dan tinggal beberapa lembar saja. Terasa lagi, tendangan tendangan halus dari janin mungil yang dikandungnya. Intuisinya sebagai seorang ibu, spontan mengelus dengan segenap perasaan sayang kepada si buah hati. Jejakan halus seakan ia rasakan sebagai terapi bagi jiwanya yang lelah, merasakan gerakan lembut yang bersumber dari buah hatinya seolah membangkitkan gairahnya untuk dapat bertahan dalam kondisi apapun di kehidupan kesehariannya. Dokter Fadli menarik nafas panjang, "Sebenarnya kondisi janin dalam keadaan normal dalam artian medis bu. Tapi dilihat dari perkembangannya, sungguh diluar ukuran perkembangan normal. Ibu kan baru pertama kali periksa kesini, sudah pernah periksa sebelumnya kah ?" Sari mencoba mengingat-ingat saat kunjungan periksa kandungannya tempo hari. "Sudah pernah sekali periksa sich dok, cuma periksa biasa, karena dulu saat usia kehamilan saya menginjak 9 minggu, saya sudah bisa merasakan jejakan halus pada perut saya. Dan kini, gerakannya saya rasakan semakin aktif saja" jawab Sari, masih sambil mengelus-elus manja di perutnya yang memerah. "Dari ciri-ciri yang bisa saya lihat, kemungkinan terbesarnya adalah mengarah bahwa calon bayi ibu adalah indigo" terang dokter Fadli blak-blakan kepada Sari. Tercekat Sari mendengarkan penjelasan dari dr Fadli, dia telah banyak mendengar banyak tentang anak indigo. Dari beberapa temannya dan dari buku yang pernah dibacanya, dia membayangkan bahwa anaknya kelak bersikap super super hiperaktif melebihi anak lain yang seusianya. Sebenarnya dari awal saat usia kehamilan 9 minggu dulu, Sari juga telah merasakan hal yang aneh. Tapi kini setelah Sari memutuskan untuk USG 3 dimensi dan mendapat keterangan dari dr Fadli, barulah apa yang dia bayangkan selama ini terasa mendekati nyata. "Apakah ada riwayat seperti ini dari saudara-saudara ibu ?" tanya dr Fadli untuk mengalihkan perhatian Sari yang tampak bengong sejenak seperti orang menerawang jauh ke awang-awang. "Ehh, maaf dok" Sari nampak kaget karna lamunannya buyar mendengar pertanyaan dr Fadli. "Anak dari saudara sepupu saya sekarang umur 4 tahun, IQ-nya 168. Mungkin turunan dari mamanya dok, sepupu saya itu dulu kuliahnya ngambil SpOG juga, dari awal masuk kuliah hingga wisuda S2-nya, dia menghabiskan 4 tahun. Tapi saat dia mengandung, gak ada tanda-tanda seperti ini koq dok. Anaknya juga biasa aja, ya paling cuma hiperaktif dan suka ngomongin ensiklopedia lah, kehidupan lah, dunia lah, malah kaya' orang berfilsafat aja tuh dok, hehee" baru kali ini Sari terlihat tersenyum sejak kedatangannya untuk periksa tadi. "Ooh begitu ya. Memang untuk hal ini banyak faktornya bu, bisa faktor genetik, psikologis, dan yang pastinya faktor dari Yang Maha Kuasa. Memangnya sepupu bu Sari praktek dimana sekarang ?" "Dia di Kudus dok" hanya jawaban singkat yang dilontarkan Sari, sejurus kemudian dia asyik dibuai angan yang melayang menuju kepada calon buah hatinya yang kini menghuni rahimnya. Setelah berkemas dan menuju meja kerjanya, dr Fadli tampak menuliskan sesuatu, "Ya sudah, bu Sari. Ini kartunya, nanti bu Sari bisa periksa lagi kesini pada tanggal yang telah saya cantumkan, jangan ditunda kalo sudah jadwalnya. Kalau ada hal-hal yang tidak biasa, bisa tanya dulu ke sepupu bu Sari. Kalau sepupu bu Sari menyarankan untuk periksa, ya bu Sari bisa kembali lagi kesini". * * * * * * * Inspirasi : kisah nyata Ilustrasi : photobucket.com Tribute to Shasa, my lovely sister Kesabaranmu sungguh luar biasa, sayang. Kini, kita semua dituntut untuk lebih sabar lagi menghadapi semua yang telah digariskan oleh Allah. We will always love you and support you to walk of our life.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H