Mohon tunggu...
buaya dayat
buaya dayat Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas (Iklan, skenario, dll.)

Penulis lepas yang menulis apa saja sesuai kata hati dan bisa berkompromi menulis apa pun sesuai permintaan klien.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Metamorfosa Dosa

19 Januari 2025   17:34 Diperbarui: 19 Januari 2025   17:34 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"PLAAAAAK!" tangan kasar Bahar mendarat telak di pipi Vivi. Meninggalkan bekas merah yang berjalur alur tapak Bahar yang besar.
"Hk.. hk.. hk.." Vivi tersedan dengan sedu yang tertahan.
"Nangis! Ayo nangis! CEPAAAAT!" koar Bahar yang menggelegar membuat sedu sedan Vivi menjelma menjadi tangis sesungguhnya.
Bahar tersenyum puas. Ya, inilah yang diinginkannya. Yang membuat tenang hatinya. Air mata yang mengalir deras disertai isakan tertahan selalu bisa membuat hatinya damai dan bahagia.

Hari ini Bahar sedang berang bukan kepalang. Segala yang ditemuinya sepanjang jalan seperti berlomba mengejek dirinya. Di pabrik ia dimarahi mandor karena ketahuan sedang menggoda Imah buruh wanita pacar si mandor, ini berarti ia harus siap lembur tanpa uang alias kerja bakti selama sebulan penuh. Seperti belum puas, takdir jahanam memburu Bahar saat makan di kantin pabrik, kopi yang sedang di bawanya tumpah dengan sukses menyiram tubuh tambun si Bos besar, ini berarti ia harus rela gaji bulan depan berkurang setengahnya; di perjalanan pulang, angkot menghadiahkan cipratan air dari lubang bekas galian yang belum sempat ditutup.

Tapi untunglah ia punya Vivi, istrinya yang lembut dan selalu berhasil menyenangkan Bahar. Guliran air mata yang mengalir membentuk alur berliku di atas pipi Vivi merupakan pemandangan yang mendamaikan jiwanya. Isakan pelan disertai sesekali sedu sedan merupakan musik klasik terindah bagi telinga Bahar.
 ***

Pagi baru saja menggeliat. Bahar sudah sejak tadi berangkat. Vivi masih mengusap pipinya yang matang biru. Hatinya kesal menggumpal. Pisau dapur masih erat digenggamnya. Kacang panjang, tempe, bawang merah, cabai dan kawan-kawannya masih menunggu dengan pasrah untuk dipotong. Tapi Vivi tak akan bisa memulai kegiatan dapurnya ini jika ia belum...
 "Meoooong..."
 Berkilat mata Vivi demi melihat si Belang kucing tetangga memasuki dapurnya. Begitu Vivi datang menghampiri, si Belang langsung saja berlari menghindar, tetapi segalanya sudah terlambat.

Vivi dengan sigap menutup jalan si Belang, ia meraih tengkuk si kucing lalu menelikungnya begitu rupa hingga Vivi bebas memberikan tamparannya.
 'MEEEEOOOONG!.."
 "YANG KENCENG, AYO!"
 Dicabut kumisnya.
 "MEEEEEEOOOONG!..."
 Ditarik buntutnya..
 "MEEEEEEEEOOOOOONG!..."
 Ngeongannya masih belum memenuhi oktaf yang menyejukkan Vivi.
 Di dekatkan pisau dapur ke wajah si Belang.
 "MEEEEEEEEEEEEEEEOOOOOOOOOOOOOOOONG!!!!..."
 Vivi tersenyum, akhirnya ia bisa mulai masak dengan hati lapang.
 ***

Dengan langkah gusar dan harga diri yang terinjak-injak si Belang keluar dari dapur. Kumisnya tak beraturan, terpotong sebagian. Ujung ekornya melepuh. Matanya merah menyala memasuki rumah majikannya.
"Belaaaaang.. darimana aja kamu.."
Putri, majikan remajanya membawakan semangkuk susu. Jika biasanya Belang akan menyambut dengan ngeong dan ekor yang bergoyang-goyang, maka kali ini adalah pengecualian.
Putri terkejut setelah melihat Belang dari dekat. Tatap lembut si kucing siam musnah berganti seram.
"Maaaah Si Belang kenaaapp..AWWWWWWWWW!"
Belum habis omongan, Belang sudah menghambur ke wajah Putri. Menggoreskan luka dalam pada pipi tembam. Darah mengucur. Air mata gugur.
 ***

Lesung pipit Putri tertutup perban tebal. Mata bening putri kini mendung tebal. Terlihat sangat sebal dengan segala polah orang dewasa yang mencoba menghibur-sabarkan hatinya. Sementara Belang si kucing manja itu sudah bisa duduk manis tanpa mendapat hukuman.
 "Mungkin buntut Belang terinjak kamu?", Bilang Papanya lancang..
 "Nggak sengajalah sayang, tuh liat si Belang minta maaf tuh..", Mamanya cuma bikin keruh..

Dokter hewan ternama. Keluarga pecinta satwa. Demikian label dari majalah fauna mengabadikan keluarga ini. Tak mungkin Belang dibuang, tak bakal Putri dapat hak balas cakar.

Jadi jangan salahkan, kalau kini Putri yang dalam usia labil, mengaduk segelas besar susu dengan campuran racun tikus, untuk meracun si kucing belang. Diaduknya pelan, sementara Belang menatap kehausan dan permohonan.
"Klenting.. Klenting.. Klenting......"
"KRIIING.. KRIIIING.. KRIIING..", telpon dari ruang depan, terdengar suara gumaman Mama, lalu..
"PUTRIIII, telpoooon dari Andiii..!"
Andi! Ahhh cowok ganteng itu akhirnya nelpon duluan juga, bergegas Putri ke beranda sambil meredakan gemuruh di dada. Lupakan susu di atas meja.
"Halo.." Suara jantan Andi.
"Ya.. halooo.." Marah Putri berkurang banyak.
"Kamu sakit ya?.." Makin jantan terdengar.
"Iyaa, aku gak masuk.. mukaku dicakar si Belang.."
Putri seperti terkesiap, teringat akan..
"PRAAANG!!!"
Terlambat, di dapur terlihat Mama berkelejat-kelejat. Si Belang menjilat sisa-sisa, lalu solider berkelejat-kelejat.
 ***

Bendera kuning lekam. Garis polisi pun sama kelam. Putri pingsan, Papanya diborgol dengan wajah sepucat mayat. Pelayat masih berbisik-bisik. Lebih penasaran dibanding ikut merasakan kesedihan.
Di seberang teras depan, Bahar berbisik mengejek pada Vivi.
"Kau bilang keluarga baik-baik, gak tahunya suami bunuh istrinya! Masih mending aku kan?"
Vivi pucat pasi, bagaimana jika kopi yang diseruput suaminya tadi bereaksi, saat ada begitu banyak polisi?
 ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun