Mau Menjadi Kabut?
Tanya danau padaku di ujung dini.
Aku tidak menjawabnya, selain memandang permukaan danau yang telah berubah menjadi kaca cermin tertutup sutera kabut. Sungguh, ada kekelaman, misteri, dan aneka kisah tersimpan di sana, tatkala angin menggiring kabut menepi untuk menjadi embun-embun di dedaunan, rerumputan, tetumbuhan, bahkan aneka benda di sisi danau.
Aku terdiam...memandang bintang yang sudah lama menghilang.
Dahiku dingin sampai pipi, bahkan embun menghiasi rambutku yang kini tidak sewarna lagi.
Aku terpaku...ingin menjawab danau, tapi sapuan lembut bayu memintaku tetap diam.
Janganlah berkata-kata, dengan diammu, suara jiwamu sampai ke langit saat dihiasi aneka awan dari uraian embun di rambutmu.
Angin sejuk menusuk jiwaku pada dingin ujung pagi bersama menepinya kabut.
Air diajak menari.
Alun, riak, ombak, sedikit gelombang berkecipak menjelma harmoni musik.
Lihatlah dengan jiwamu, mengapa kau tak menari?
Aku tersenyum pada danau...ingin kujawab, tapi geliat ikan-ikan kecil mewakili raga dan jiwaku. Mereka menggeliat, melompat, berenang kesana-kemari, seperti bilang, sudahlah, kau di situ saja, saudaraku.
Telaga kian mengaca gelombang.
Danau menyerukan senandung sendu.
Aku merunduk, meraup wajah saat ditawarkan aneka kearifanNya.
Tulislah, saudaraku...dengan tulisanmu, engkau sampai di mana-mana walau dirimu tetap bersamaku di sisi danau. Bunuhlah rindumu menuju hiruk-pikuk kepalsuan dunia kota. Ledakkan murkamu agar menjadi serpih-serpih kasih sejati, supaya dipungut mereka...yang mau....
Ya, Allah...tetaplah diam di diriku, hidupku adalah kotoran hitam di ujung kukumu, ketika aku terbang sebagai debu. Baiklah, aku mau menjadi kabutMu!
Buanergis Muryono, Setu Tonjong, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat Indonesia - Renungan Zaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H