Aku melongok ke suatu tempat di mana puluhan kerbau dilepaskan agar menggemburkan tanah. Aku ikut berguling-guling, berendam di lahan gembur bawah pohon-pohon perkebunan randu itu.
Aku bisa bicara dengan kerbau-kerbau itu, kuarahkan dan kuajak bersemangat menggemburkan tanah. "Ini lebih efektif daripada pake traktor. Kotoran kita juga bisa menyuburkan tanaman apa saja."
Sesekali aku tertimpa kerbau lainnya yang berguling-guling, tapi tidak merasa terbeban. Kami bekerja keras seperti bermain, dari pagi sampai petang.
Aku selesai menggemburkan lahan bersama puluhan kerbau sampai menjelang maghrib, lalu mandi di danau, berenang di sungai bening.
Menuju kandang dengan sesekali merumput di kiri kanan jalan yang kami lalui. Alangkah subur tanah airku sesubur badanku.... Aku adalah symbol kemakmuran yang sering diabaikan. Tidak diperhitungkan. Bahkan 65 tahun merdeka, sejak ‘45 baru mencanangkan Ekonomi Kreatif di tahun 2009, padahal Citra Seni adalah penopang utama hidup insani. Karena 65 tahun citra seni ditelantarkan, maka terpuruklah negeri ini. Para seniman banyak yang mati tanpa tersenyum, sebab masih memikirkan jasadnya, apakah ada yang menguburkan? Apakah masih kebagian tanah pekuburan? Apakah anak cucu yang ditinggalkan punya jaminan? Para seniman... enggan mati... walaupun membiarkan wadagnya rusak, dan dia ... sangat sadar untuk segera lahir kembali, walaupun harus memilih reinkarnasi... jadi kerbau seperti aku ini! Buanergis Muryono
Kebon Pala, Rabu, 10 February 2010 11:00 Renungan, Piwulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H