Mohon tunggu...
Buana Triwira aji
Buana Triwira aji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah mahasiswa Semester 7 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Saya adalah mahasiswa Semester 7 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Selama kuliah saya memiliki hoby bermain game valorant untuk waktu luang saya dimana bermain game dikatakan mengurangi stress

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kereta Cepat Indonesia -China Cerminan Politik Luar Negeri Indonesia di Era Jokowi

7 Desember 2024   12:01 Diperbarui: 7 Desember 2024   12:26 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikenal dengan pendekatan pragmatis yang berfokus pada kepentingan domestik. Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang melibatkan kerja sama strategis antara Indonesia dan China. 

Proyek ini tidak hanya menjadi pencapaian dalam pembangunan infrastruktur, tetapi juga menggambarkan bagaimana politik luar negeri dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan nasional.

Pada tahap awal, proyek ini menarik perhatian karena melibatkan persaingan dua negara besar, Jepang dan China. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah memilih China sebagai mitra pembangunan. China menawarkan skema pembiayaan yang dinilai lebih menarik karena tidak memerlukan jaminan dari pemerintah Indonesia, berbeda dengan tawaran Jepang yang cenderung lebih konservatif dan penuh syarat.

Keputusan untuk bekerja sama dengan China mencerminkan keberanian Jokowi dalam mengambil langkah strategis yang berbeda. Pemilihan ini juga sejalan dengan visi pembangunan Jokowi yang ingin mempercepat pengadaan infrastruktur melalui kerja sama internasional.

 Meski begitu, langkah ini memunculkan sejumlah kritik, terutama karena Jepang dikenal memiliki rekam jejak yang baik dalam proyek infrastruktur seperti MRT Jakarta. Sebaliknya, kerja sama dengan China sering kali menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan kualitas pengerjaan.

Pilihan ini mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin rumit. Indonesia berada di tengah persaingan antara China dan negara-negara Barat, termasuk Jepang, yang masing-masing memiliki kepentingan besar di kawasan. Bekerja sama dengan China dipandang strategis karena menawarkan percepatan pembangunan infrastruktur nasional melalui skema pembiayaan yang menggiurkan.

 Meski demikian, langkah ini menuntut Indonesia untuk bermanuver secara hati-hati agar tidak tampak condong ke salah satu kekuatan besar. Menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi nasional dan prinsip bebas aktif menjadi salah satu tantangan utama dalam konteks geopolitik global.

China saat ini memegang posisi penting di kawasan Asia Tenggara, terutama melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang menawarkan pendanaan besar untuk proyek infrastruktur. Bagi Indonesia, inisiatif ini membuka peluang besar untuk mempercepat pembangunan, meskipun ada kekhawatiran terhadap potensi dominasi China dalam pengambilan keputusan strategis. 

Ketergantungan pada investasi dan teknologi China yang terus meningkat dapat mengurangi fleksibilitas Indonesia dalam menentukan kebijakan luar negeri secara mandiri.

Dinamika ini juga mencerminkan tantangan dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang. Meski hubungan baik dengan Jepang tetap terjaga, keputusan memilih China untuk proyek kereta cepat menimbulkan spekulasi tentang perubahan prioritas politik luar negeri Indonesia. 

Jepang, yang memiliki reputasi solid dalam proyek infrastruktur seperti MRT Jakarta, mungkin merasa perannya di Indonesia semakin terpinggirkan. Jika tidak dikelola dengan bijak, situasi ini berisiko mengganggu hubungan strategis jangka panjang antara kedua negara.

Di tingkat regional, posisi Indonesia sebagai pemimpin de facto ASEAN juga dapat terdampak oleh pilihan ini. Besarnya pengaruh China di Asia Tenggara memunculkan persepsi bahwa Indonesia mulai condong ke salah satu kutub geopolitik tertentu. Persepsi ini berpotensi menciptakan tantangan baru dalam upaya menjaga solidaritas ASEAN, terutama di tengah meningkatnya rivalitas antara China dan negara-negara Barat.

Pendekatan politik luar negeri yang berfokus pada ekonomi seperti ini memiliki risiko besar, terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Ketergantungan yang terlalu besar pada investasi asing, khususnya dari negara seperti China, berpotensi mengurangi kedaulatan ekonomi Indonesia. 

Ketika sebuah proyek sebesar kereta cepat mengalami pembengkakan biaya yang signifikan, hal ini tidak hanya membebani ekonomi domestik, tetapi juga dapat memperkuat pengaruh mitra asing dalam pengambilan keputusan strategis.

Selain itu, keputusan untuk memilih China dibandingkan Jepang menimbulkan spekulasi tentang kemungkinan kehilangan keseimbangan dalam prinsip bebas aktif yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia. Meskipun proyek ini berdampak positif secara ekonomi, Indonesia harus lebih berhati-hati agar tidak dianggap terlalu berpihak kepada salah satu kekuatan besar. 

Dalam konteks geopolitik global, posisi ini berisiko memengaruhi kemampuan Indonesia untuk menjaga independensi dalam menghadapi tekanan dari negara-negara besar.

Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga menjadi salah satu contoh bagaimana pragmatisme Jokowi dapat menghadirkan tantangan domestik yang tidak kecil. Kritik terkait pembebasan lahan, dampak lingkungan, hingga pengelolaan anggaran mengemuka selama proses pembangunan proyek ini. Tantangan ini menjadi pengingat bahwa setiap keputusan dalam politik luar negeri harus mempertimbangkan risiko dan dampaknya secara komprehensif, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Terlepas dari berbagai kritik dan risiko, proyek ini tetap membawa dampak positif yang signifikan. Kereta cepat menjadi bukti bahwa Indonesia mampu memanfaatkan kerja sama internasional untuk mendorong pembangunan domestik. Proyek ini juga menunjukkan ambisi besar Indonesia untuk memodernisasi infrastruktur nasional demi meningkatkan daya saing di kancah global.

Keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola risiko yang ada. Transparansi, pengawasan yang ketat, dan evaluasi menyeluruh diperlukan untuk memastikan bahwa manfaat proyek ini dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat. 

Jika berhasil, kereta cepat tidak hanya menjadi simbol modernisasi, tetapi juga bukti bahwa politik luar negeri dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional tanpa mengorbankan independensi.

Sebagai penutup, Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah simbol dari politik luar negeri Indonesia di era Jokowi yang berani namun berisiko. Pendekatan pragmatis yang digunakan menunjukkan keberanian untuk mengambil keputusan besar demi kepentingan domestik. 

Namun, keberanian ini harus diimbangi dengan pengelolaan risiko yang matang agar Indonesia tetap mampu menjaga keseimbangan dalam dinamika geopolitik global. Proyek ini, meskipun kontroversial, mencerminkan potensi besar dari diplomasi ekonomi sebagai motor pembangunan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun