Mohon tunggu...
Umarulfaruq Abubakar
Umarulfaruq Abubakar Mohon Tunggu... Penulis - Kangen, dan ingin kembali bercerita dengan para kompasianer

Lahir di Gorontalo, beristrikan orang Kalimantan Selatan, dan kini tinggal di Jawa Tengah, memberi saya banyak ruang untuk mellihat dan menikmati hidup yang berwarna dan beragam, berpindah-pindah dari satu dunia ke dunia yang lain. Warna-warna dunia itu kadang tidak bisa diwakili oleh foto maupun video. Hanya kata yang mampu mengekspresikan suasana batin dan pergolakan pikiran yang tak pernah diam. Dan kompasiana memberi ruang yang luas untuk mengungkapkan suasana batin itu melalui kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ingin Hidup 1000 tahun Lagi? Ya Menulislah

18 Agustus 2023   09:58 Diperbarui: 18 Agustus 2023   10:06 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila ditilik dari sebab hidayah dan ikhtiar manusia, orang mati yang paling panjang umur saat ini ini adalah orang yang dulu paling banyak menulis.  Tidak Punya Tulisan Artinya Tidak Punya Tabungan Amal

Sebab dengan tulisan-tulisannya yang bisa dibaca oleh banyak orang saat ini, artinya dia masih bisa berbicara dengan banyak orang, menebar inspirasi dan motivasi, walaupun sudah lama berkalang tanah.

Seperti Buya Hamka, misalnya.

Walaupun ada kenyaataannya, tidak mudah menjadi seperti beliau.

Misalnya, di tengah kiprah karirnya sebagai ulama, ia menulis roman percintaan; Tenggelamnya kapal Van Der Wijk.

Yang paling sulit saya bayangkan dari suasana batin beliau saat itu, buka pada merangkai kata-kata yang indah itu dan cerita yang menawan dan membuai hati itu, tapi pada kekuatan hati beliau untuk terus menulis.

Masa ketua majlis ulama Indonesia dan datuk terhormat di kalangan masyrakat minangkabau menulis novel cinta? Memang dasar ulama genit, ulama cabul..!

Itu di antara cemoohan orang banyak yang diarahkan ke beliau.

Kalau saya dalam posisi Buya Hamka saat itu, mungkin saya sudah lama berhenti menulis.

Penilaian dan kata-kata orang itu terlalu berat ditanggung hati. Ada rasa ketidakpantasan mengukur kapasitas diri dengan karya. 

Dalam diam, tiba-tiba menyelinap bisikan,

"Sebagai doktor, tulisanmu cuma bisa seperti ini? Memalukan...!"

"Untuk apa menulis? Tulisan seperti ini sudah banyak berserakan di internet."

"Ketika google, tanya di ChatGPT, urusan selesai. Tidak ada orang tertarik lagi baca tulisan ini"

"Dari pada menulis, mendingan lihat instagram, nonton youtube, baca grup-grup whatsapp, facebook, atau yang lain"

Kalimat-kalimat sepele ini pada kenyataannya sudah membuat saya berhenti menulis.

Padahal itu semua hanya bisikan perasaan semata. Tidak ada satu pun yang benar-benar terucapkan.

Tapi kalau Buya Hamka, benar-benar tuduhan ulama genit dan cabul akibat buku romannya itu terucapkan dari banyak orang yang menyerang beliau. Bisa kita baca biografi beliau dan terlihat jelas dalam filmnya tentang hal itu.

Beliau memang menulis novel itu untuk masyarakat umum, yang paham tentang nilai-nilai melalui untaian cerita cinta yang menyentuh hati. Buku ajaran agama? mereka tidak tertarik untuk membacanya.

Ketika akhirnya saya berhenti benar-benar menulis, maka yang rugi adalah diri saya sendiri. Hilang tanpa jejak, berlalu waktu tanpa tabungan kebaikan.


Jiwa Yang Besar

Tak ada hentinya beliau menulis, menulis, dan menulis tanpa kenal lelah.

Nasehat beliau yang terus abadi, "Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah."

Buya Hamka menjadikan Surat Kabar Pedoman Masyarakat sebagai alat perjuangan. Dan itu tak lelah dilakukan hingga di zaman pendudukan Jepang hingga kantor Pedoman Masyarakat disegel pemerintah, papan namanya diturunkan.

Dengan 84 karya buku yang beliau tinggalkan, Buya Hamka menjadi tokoh ulama yang kini terus hidup di hati kaum muslimin.

Dan kalau kalau hari ini atau besok mati, apa karya yang sudah bisa saya tinggalkan?

Obsesi untuk dikagumi, viral, masyhur, menghentikan segala macam produktifitas. Dari awal sampai akhir niatnya riya, mendapatkan perhatian orang lain. Seperti orang-orang itulah, yang sekali posting tulisan langsung dilike ribuan orang. Atau orang yang jarang posting di medsos, tapi buat buku. Sekali terbit langsung mega best seller.

Sudah capek menulis kalau ternyata tidak bisa viral, untuk apa tulis?

Buat capek saja...!

Sudah capek menulis tapi jangan-jangan jelek dan dicemooh orang lain. Mendingan tidak usah menulis...!

Memiliki jiwa Wal yakhfna laumata l'im (tidak takut dengan celaan orang) seperti Buya Hamka ternyata tidak mudah...

Dalam kondisi seperti ini, saya akhirnya berpikir bahwa pada akhirnya menulis itu tidak lagi soal teknis, seperti yang diajarkan di kelas-kelas menulis.

Saya merasa lebih pada sisi mental keyakinan dan keyakinan psikologis.

Kalau sudah begitu, maka urusannya menjadi urusan yang sangat pribadi untuk diselesaikan sendiri, sebab terkait dengan niat dan obsesi diri...

Satu tulisan menjadi karya nyata pergolakan batin pribadi..

Apapun, ketika berhenti menulis artinya berhenti menabung untuk kebaikan masa depan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun