Mohon tunggu...
Bu Wi
Bu Wi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Berdomisili di Yogyakarta dan bekerja di Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1996. Lahir dengan nama "Wiratni". Biasa dipanggil "Bu Wi" oleh para mahasiswa/i. Biasa dipanggil "Emak" oleh putri tunggalnya.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membangun Bangsa dengan Susu

3 Juni 2012   04:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_192382" align="alignleft" width="300" caption="Pameran produk susu di JEC Yogya 1-3 Juni 2012 dalam rangka Hari Susu Nusantara (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] Tulisan ini didedikasikan untuk semua komponen masyarakat yang telah bersusah payah menyemarakkan Hari Susu Sedunia pada tanggal 1 Juni, yang di Indonesia diadaptasi sebagai “Hari Susu Nusantara” demi sebuah tujuan mulia menyehatkan bangsa dan membangun bisnis peternakan Indonesia. Saya sendiri tidak pernah bisa menikmati lezatnya susu segar karena sistem pencernaan saya tidak bisa mencerna laktosa. Saya hanya bisa mengkonsumsi produk-produk susu yang sudah tidak mengandung laktosa, yang menurut teman-teman saya adalah “susu bohongan” karena justru laktosa itu yang memberi rasa khas pada susu.

Semua orang, baik yang kaya atau miskin, punya problem dengan laktosa seperti saya atau yang kecanduan susu, di kota atau di desa, sepakat bahwa susu adalah nutrisi yang kita perlukan untuk menyempurnakan pola makan kita sehari-hari. Tapi pengetahuan tidak selalu seiring dengan realisasi bahwa kalau sudah tahu penting, maka semua orang minum susu sebagai bagian tak terpisahkan dari asupan nutrisi sehari-hari. Sebuah artikel yang ditulis oleh Olivia Lewi Lestari di http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hari-susu-nusantara-2012-tingkatkan-kesadaran-masyarakat-untuk-minum-susu menyebutkan bahwa konsumsi susu di Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia.  Berdasarkan data 2010, konsumsi susu Indonesia hanya 11,09 liter per kapita per tahun. Sementara tetangga kita Malaysia dan Filipina mencapai 22,1 liter per kapita per tahun, Thailand 33,7 liter, Vietnam 12,1 liter, dan India 42,08 liter.

[caption id="attachment_192383" align="alignright" width="300" caption="Produk-produk kreatif dari susu di Pameran Hari Susu Nusantara JEC Yogya 1-3 Juni 2012, ada permen, karamel, stick susu, krupuk susu, dll (foto dokumentasi pribadi)"]

1338693802610195930
1338693802610195930
[/caption] Apakah data ini mengindikasikan bahwa di Indonesia susu masih dianggap barang mewah? Bisa jadi demikian. Tapi menurut observasi saya, pandangan tersebut perlu ditelaah lebih dalam. Yang mahal itu adalah produk-produk susu yang sudah bertengger di rak-rak supermarket. Jelas mahal karena produk-produk itu sudah merupakan keluaran pabrik dan telah menempuh jalur distribusi yang panjang dan berliku dari kandang-kandang sapi perah. Susu segarnya sendiri sebetulnya tidak seberapa mahal. Angka konsumsi susu yang tinggi di India ini saya yakin karena mereka memang punya budaya mengkonsumsi susu dan berbagai produk turunannya, termasuk di desa-desa. Sudah pasti bukan karena mereka lebih kaya daripada kita, karena bahkan di desa-desanya budaya ini ada. Lihat saja menu-menu tradisional India yang banyak menggunakan yoghurt sebagai “bumbu”. Tidak mungkin mereka begitu “royal” menggunakan susu sebagai kuah masakan jika untuk standar mereka, susu itu mahal. Sementara di desa-desa Indonesia, bahkan di desa-desa penghasil susu, tidak terlihat sama sekali adanya pengaruh susu dalam kulinernya.

[caption id="attachment_192392" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak peternak sapi perah yang malahan sangat jarang minum susu (foto dokumentasi pribadi)"]

1338695290306269470
1338695290306269470
[/caption] Sungguh suatu ironi, di banyak desa yang telah saya kunjungi, di mana mata pencaharian utama penduduknya adalah beternak sapi perah, susu hanya dipandang sebagai komoditas yang harus dijual. Tidak ada “naluri” untuk menyisihkan sebagian untuk dikonsumsi dalam keluarga. Beda dengan budaya petani padi misalnya. Petani padi selalu menyisihkan sebagian padinya untuk keluarga sebelum menjual kelebihannya. Jadi jangan harap Anda disuguhi susu segar kalau Anda berkunjung ke desa-desa peternak sapi perah. Mungkin sesekali disuguhi susu kalau Anda sedang beruntung, tapi jangan terlalu berharap. Anak-anak mereka saja sangat jarang menikmati produk dari sapi perah, yang hidup bersama mereka dan mungkin hanya berbatas dinding bambu dengan tempat tidur mereka.

Masalahnya, dalam pikiran bangsa ini sudah terpola asumsi bahwa produk susu adalah produk-produk dalam kemasan kotak atau kaleng bikinan pabrik-pabrik besar. Jaman saya kecil dulu (tahun 1970-an), ada budaya “langganan susu segar”, yang diantar dalam botol kaca yang ditaruh di teras rumah tiap jam 6 pagi. Walaupun saya sendiri tidak bisa ikut minum, saya masih ingat betul sedapnya aroma susu segar yang dimasak Ibu sebagai bagian dari sarapan kami (tapi khusus buat saya sih dibuatkan dari susu bubuk). Kenapa budaya ini bisa menghilang?  Sebagai rakyat kecil saya berpendapat, penyebabnya adalah karena pihak berwenang malas repot membangun sentra-sentra peternakan sapi perah di seluruh Indonesia untuk membuat jejaring pemasaran lokal untuk produk susu. Seperti juga dalam berbagai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, pihak berwenang lebih suka cari gampangnya dengan “menjual” perijinan saja (dan nunggu pajaknya) kepada pihak-pihak bermodal besar yang berani ambil resiko. Bangsa kita ini bangsa “makelar” … kita tidak pernah betul-betul bermental “produsen”. No hard feeling lho ya … ini hanya pengamatan saya sebagai rakyat jelata saja.

[caption id="attachment_192394" align="alignright" width="300" caption="Susu baik juga untuk kecantikan kulit Anda - kreativitas memanfaatkan susu segar yang di-reject pabrik untuk campuran sabun (foto dokumentasi pribadi)"]

13386953841055608119
13386953841055608119
[/caption] Kampanye yang dilakukan beberapa pihak yang sangat prihatin dengan masalah budaya minum susu ini, baik dari departemen, swasta, dan bahkan partai politik, adalah inisiatif hebat untuk membangun kembali budaya minum susu, yang sebetulnya bisa dilepaskan dari persepsi bahwa susu itu mahal. Mungkin suatu kebetulan saja bahwa Hari Susu Nusantara bersamaan dengan Hari Lahirnya Pancasila yang kita peringati setiap tanggal 1 Juni. Tapi saya melihat korelasi yang sangat logis antara keduanya. Yang penting sehat dulu, sejahtera dulu, baru bisa punya waktu untuk berpikir apakah tindakan kita sudah sesuai dengan Pancasila atau belum. Susu adalah salah satu komponen penting dalam kesehatan dan kesejahteraan itu. Keberhasilan kampanye ini tidak hanya membuat bangsa Indonesia keranjingan minum susu, tetapi juga menyiratkan keberhasilan membangun komunitas-komunitas mandiri yang tidak lagi menggantungkan hidupnya pada supermarket, hypermarket, atau market-market lain yang memang dirancang oleh dan untuk orang kaya.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang “merayakan” Hari Susu. Tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Susu Sedunia oleh FAO sejak tahun 2001 karena banyak di antara 191 anggota PBB merayakan Hari Susu di sekitar tanggal 1 Juni. Tujuan besar di balik penetapan Hari Susu Sedunia ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup seluruh bangsa, terutama populasi di pedesaan. Dalam artikel yang sama di http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hari-susu-nusantara-2012-tingkatkan-kesadaran-masyarakat-untuk-minum-susu juga dilaporkan data yang disampaikan oleh Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen Pengolahan dan pemasaran Hasil Kementerian Pertanian, Nazaruddin, bahwa saat ini produksi susu nasional sebanyak 900 ribu ton per tahun dan jumlah itu baru memenuhi 26 persen dari kebutuhan. Sisanya sebanyak 74 persen masih harus dipenuhi dengan impor. Sungguh menyedihkan mengingat Indonesia ini kurang apa sih untuk mengembangkan sentra peternakan sapi perah? Iklim bersahabat, air berlimpah, tanah subur … Kenapa sulit sekali ya?

Mudah-mudahan niat baik yang dicanangkan di berbagai daerah oleh berbagai kalangan dalam rangka Hari Susu Nusantara ini mendapatkan jalannya untuk mencapai target yang sangat sederhana tapi bisa membawa efek ikutan yang sangat luar biasa dampaknya pada kesejahteraan bangsa ini: membuat bangsa Indonesia suka minum susu. Strategi utama yang jadi PR besar kita semua adalah “revolusi” dalam sistem distribusi susu, dengan membuat produk-produk susu lokal berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

[caption id="attachment_192395" align="alignleft" width="300" caption="Konsekuensi tak terhindarkan dari kampanye produksi susu: limbah tlethong yang jumlahnya dua kali lipat produksi susunya (foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat)"]

1338695544714718323
1338695544714718323
[/caption]

Selain itu, ada satu PR besar lagi yang perlu mulai dipikirkan dari awal. Sering tidak kita sadari bahwa susu adalah produk dari sapi perah yang bisa kita anggap sebagai sebuah “pabrik” hidup. Pabrik super canggih yang bunyinya “moooo … ooo” ini mengolah bahan baku berupa hijauan pakan ternak dan berbagai “snack” tambahan dan produknya adalah susu. Seperti juga dalam pabrik-pabrik kimia bikinan manusia, tidak bisa dihindari munculnya limbah. Dalam kasus sapi perah, limbahnya adalah kotoran sapi, yang dalam bahasa Jawa disebut TLETHONG.

Konsekuensi logis dari usaha-usaha meningkatkan konsumsi susu di semua lapisan masyarakat adalah peningkatan populasi sapi perah (Insya Allah kampanye-kampanye Hari Susu Nusantara sukses besar sehingga bisnis peternakan sapi perah berkembang pesat). Yang perlu kita sadari adalah bahwa setiap 1 liter susu yang dihasilkan si sapi, ada 1,5-2 kg kotoran sapi yang dikeluarkan si sapi. Di tingkat pedesaan, rata-rata peternak sapi perah rumahan memiliki 3-4 ekor sapi yang setiap hari menghasilkan sekitar 20-30 kg kotoran. Kalau kita kerjakan matematikanya, maka per rumah akan menghasilkan 60-120 kg kotoran sapi PER HARI. Di desa-desa peternak sapi perah, limbah yang dihasilkan bisa mencapai 10 ton per hari atau bahkan lebih jika ada peternak-peternak besar dengan jumlah sapi puluhan dalam kandangnya. Seberapa banyak 10 ton ini? Kamar tidur saya berukuran 3m x 3m. Kalau diisi dengan 10 ton kotoran sapi, maka kamar tidur saya itu akan penuh dan bahkan sampai meluap-luap keluar jendela.

[caption id="attachment_192397" align="aligncenter" width="300" caption="Galian reaktor biogas kapasitas 30 m3 di Pagerwaja Tulungagung - visi peternak untuk membangun sustainable and profitable business (foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat UGM)"]

1338695715397417430
1338695715397417430
[/caption] Dengan produksi susu yang sekarang hanya 20% dari kebutuhan saja, limbah kotoran sapi itu sudah melimpah ke mana-mana. Kalau mau ditingkatkan 5 kali lipatnya … wah, bisa-bisa banyak desa punah tertimbun tlethong … Hal ini perlu diantisipasi sejak awal, supaya kebijakan yang diambil pemerintah (jika ada) tidak hanya sepotong-sepotong. Jangan hanya didrop sapi-sapi perah yang belang-belang lucu itu. Ajari juga cara pengelolaan limbahnya, dan tentunya berikan bantuan untuk itu.

[caption id="attachment_192398" align="alignleft" width="300" caption="Pengenalan generator listrik dengan bahan bakar biogas (foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat UGM)"]

1338695924620960452
1338695924620960452
[/caption] Sekedar larangan membuang tlethong ke sungai (seperti yang terjadi selama ini), tidak akan efektif. Penyuluhan bahwa membuang tlethong sembarangan akan menyebabkan berbagai penyakit juga tidak akan efektif. Kenapa? Karena bangsa kita ini adalah bangsa yang adaptif. Kalau ada ya dinikmati, kalau tidak ada ya tidak usah diingini, kalau sakit ya diobati sebisanya … Satu-satunya cara untuk mencegah peternak membuang kotoran sapi ke sungai adalah menciptakan persepsi bahwa tlethong bukan limbah, melainkan HASIL SAMPING yang juga punya nilai ekonomi. Buang tlethong berarti buang uang.

Nah, dengan kesadaran bahwa setiap 5 gelas susu ada sekeranjang kotoran sapi – entah dibuang ke mana – maka sebaiknya infrastruktur untuk pengelolaan kotoran sapi ini perlu juga dirancang sejak awal. Dengan sedikit kerepotan tambahan di awal saja, selanjutnya peternak tidak hanya memperoleh susu saja, tapi ada energi gratis dalam bentuk biogas dan listrik, dan bisa berjualan pupuk pula. Cita-cita ini tidak bisa terwujud dengan sendirinya. Harus ada yang mau turun ke desa-desa mendampingi para peternak kita, menunjukkan bagaimana caranya, dan membangun rasa percaya diri bahwa sebuah usaha dengan potensi profit besar, tidak selalu harus dimulai dengan modal yang sangat besar. Anda berminat ikut saya ke sana? :-)

[caption id="attachment_192399" align="aligncenter" width="300" caption="Teknologi tidak hanya untuk orang kota (foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat UGM)"]

1338696025377154198
1338696025377154198
[/caption] [caption id="attachment_192400" align="aligncenter" width="300" caption="Mahasiswa harus tahu masalah yang dihadapi masyarakat dan berkontribusi untuk ikut memecahkan - riset pupuk organik granul Triple-S (Site Specific and Slow-released). Foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat UGM"]
13386961521723707772
13386961521723707772
[/caption] [caption id="attachment_192402" align="aligncenter" width="300" caption="Pupuk granul dari lumpur reaktor biogas: site specific and slow released (foto dokumentasi Grup Sains untuk Rakyat UGM)"]
1338696271829882603
1338696271829882603
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun