1. Apakah penyelenggara pemilu dan panitia penghitungan suara di lapangan sudah semuanya melek teknologi dan paham akan sistem yang harus mereka operasikan.
2. Apakah setiap TPS mempunyai sarana yang emmadai untuk memfasilitasi proses e-voting.
3. Apakah para pemilih sudah paham dengan cara mengoperasikan alat di hadapan mereka.
4. Harus sebesar apa lagi anggaran untuk pengadaan alat, software, dan program pelatihan terkait penyelenggaraan e-voting.
5. Siapa yang akan ditunjuk sebagai pembuat software dan bagaimana proses penunjukannya.
6. Bagaimana proses audit terhadap kesiapan alat dan software sebelum dan sesudah proses e-voting.
Melihat dari beberapa masalah di atas, saya rasa e-voting belum saatnya untuk dilaksanakan. kotak dan kertas suara mungkin adalah sistem yang sudah kuno dan tidak sederhana. Tapi di sisi lain, sistem kotak dan kertas suara masih menjadi satu-satunya metode pemungutan suara yang menurut saya masih bisa menjamin trust dari para pemilih.
Selain bisa menjamin trust, sistem kotak dan kertas suara juga terhitung lebih sulit untuk dicurangi dan kalaupun dicurangi, hasil kecurangannya akan lebih bisa terlihat jelas oleh semua kalangan masyarakat. Perbedaan kotak dan surat suara yang bagus dan sudah dicurangi akan bisa dilihat oleh khalayak umum. Tapi tidak semua orang akan awas dan paham dengan kecacatan pada alat elektronik dan software.Â
Jika e-voting akan tetap dipaksakan demi menyederhanakan keruwetan pemilu serentak, saya rasa akan lebih baik jika pemilu tidak dilakukan secara serentak. Ongkos politik dan pemilu yang sudah mahal tidak perlu lagi dibuat lebih tidak masuk akal dengan harus mengorbankan panitia pemilu yang harus sampai sakit dan maninggal demi menjalankan salah satu ritual demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H