Mohon tunggu...
Btara Kawi
Btara Kawi Mohon Tunggu... -

Memilih dan menjalani hidup sebagai penyair.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lampu Merah dan Jabatan

22 Juli 2011   11:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap kali ada lampu merah, sebenarnya saya tidak terlalu benci. Ya, biasa lah. Saya anggap ngaso, mengistirahatkan tangan dan bahu serta kaki. Namun, saya juga manusia. Seringkali saya kesal karena terburu-buru dan lampu merah dengan terpaksa menghentikan laju motor saya. Ah, kalau saja spion itu bisa bicara dia pasti bilang muka saya sekumal deburan dan dentuman asap-asap polusi. Untung saja, spion itu pendiam dan ditakdirkan bisu.

Bila kesal, saya akan mengikuti gaya orang kebanyakan: mengklakson kendaraan di depan tepat ketika lampu hijau menyala. Mungkin suatu pekerjaan tanpa guna, tetapi puas juga rasanya. Itu saya lakukan bila saya benar-benar kesal pada lampu merah yang menghentikan laju kendaraan saya secara paksa. Sore ini saya dibuat kesal lagi. Lampu merah dengan rentangan waktu 60 detik mengehentikan laju perjalanan pulang saya yang kebetulan kesorean. Saya benar-benar kesal dan menggerutu.

Suatu kejadian lain secara bersamaan membuat saya lebih menggerutu. Bagaimana tidak? Ketika lampu hijau menyala, polisi menhentikan laju kendaraan dari arah yang saya lalui. Banyak orang tambah kesal. Masalahnya, hanya saja karena seorang pejabat dengan plat nomor istimewa mau lewat. Konyol!

Kami yang menunggu dan berwajah suram karena kelelehan harus berhenti lagi setelah bersabar menunggu lampu hijau. Sungguh lucu! Saya pikir, orang di jalan itu semuanya ya sama: harus mentaati peraturan lalintas yang ada. Bukan kok punya jabatan istimewa lantas aturan seenakanya saja dilanggar. Jabatan itu jadi istimewa karena kewajiban yang ditanggungnya.

Kalau setiap orang yang punya jabatan di negeri ini merasa punya hak istimewa, alangkah kacaunya negeri ini. Untung saja, rakyat seperti saya ini tidak merasa menjadi pejabat kejelataan. Mungkin sudah lebih ruwet negeri ini kalau hal demikian terjadi.

Maka, kembali kepada kekeslan saya tadi. Perlu jadi orang sabar di negeri Indonesia kalau mau hidup bahagia. Kalau tak sabar, pasti hidup cuma akan kenyang sakit dan iri hati. Jadi, memang sabar adalah kunci menjalani tanggungjawab jabatan sebagai manusia Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun