Mohon tunggu...
Tari Tarini
Tari Tarini Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang wanita yang mempunyai hobby memasak, menulis, bikin event dan berkomunitas

Hanya seorang pembelajar yang ingin terus belajar dan ingin keliling Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Wonosobo I: Cappadocia ala Kota Wonosobo

19 Mei 2023   13:34 Diperbarui: 21 Mei 2023   09:37 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semilir angin kota Wonosobo pagi menjelang siang itu bak oase di padang rumput. Meski matahari tanpa sungkan menunjukkan keperkasaannya, namun Dewi angin membelai lembut pori kulit, terasa sejuk meski tanpa mesin pendingin. Meski terik, namun tak menyengat seperti di Yogya apalagi Jakarta. Tak heran, karena kota Wonosobo memang merupakan daerah pegunungan. Di bagian timur Wonosobo terdapat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Sedangkan di bagian Utara Wonosobo adalah dataran tinggi Dieng.

Tujuan kami ke Wonosobo sebenarnya ingin menyaksikan agenda tahunan setelah Hari Raya Idul Fitri "Ballon Culture Festival." Festival ini diselenggarakan selama kurang lebih seminggu yang menghias langit Wonosobo. Banyak titik lokasi festival yang di selenggarakan oleh beberapa desa secara bergantian. Dan dihari terakhir adalah puncak Festival dengan menampilkan balon-balon terbaik dari masing-masing daerah. Sayang....kami tiba sedikit terlambat, karena pukul 09.00 pagi festival balon udaranya sudah selesai.

Sedihnya lagi kami tidak ada rencana bermalam di Wonosobo. Sehingga tidak bisa menyaksikan festival balon udara berikutnya pada jam  yang sama. Karena tujuan kami berikutnya adalah Bandung.

Hampir dua jam perjalanan menuju Bandung dan rute tercepat menuju jalan tol Pantura diarahkan melalui jalan perbukitan. Semakin jauh, semakin ekstrim tanjakan dan kelokannya. Jantungpun cukup berdesir ketika mobil kecil kami tak cukup siap untuk melewati tanjakan berikutnya.                                                        

Jiwa penakutku semakin meronta, dan akhirnya kami urungkan niat untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung dan memilih puter balik kembali ke Wonosobo. Alhamdulillah......akhirnya kami sampai lagi di Wonosobo dan bermalam disana. Tenang rasanya dan bisa tidur dengan nyenyak. Senang juga karena akhirnya ada kesempatan melihat festival balon udara setelah pagi sebelumnya gagal.

Pagi yang ditunggu akhirnya tiba, selepas sholat subuh langsung bersiap menuju lokasi festival balon udara. Bertempat di lapangan desa, puluhan balon bersiap dan mencoba mengudara. Persis seperti gambaran balon udara yang ada di Cappadocia Turki. Bedanya, di Cappadocia balonnya bisa dinaikin, tapi di Wonosobo balonnya terbang sendirian tanpa awak.

Waaoowww......pemandangan yang menakjubkan diatas langit. Riuh gempita antar kelompok yang saling menyemangati kelompok masing-masing menjadikan atmosfir lapangan pagi itu bak perlombaan yel-yel yang riuh rendah. Sorak sorai lengkap dengan tabuhan makin riuh terdengar ketika kelompoknya berhasil menaikkan balon udara.....tinggi dan tinggi. Gegap gempitapun menggema dari setiap penjuru lapangan. Tak hanya tabuhan dan yel-yel yang menggema, masing-masing kelompok juga memberikan perform terbaik mereka dengan menggunakan berbagai kostum sebagai identitas kelompoknya. Kompak, seru dan lucu.  

Sayang......tak banyak balon udara yang mampu bertahan lama di udara. Pasalnya, bahan bakar balon-balon udara ini masih menggunakan cara tradisional. Yaitu mengandalkan pemanasan dari bahan bakar alami seperti kayu atau jerami yang dibakar di mulut balon. Begitu asap putih masuk kedalam rongga balon, maka udara panasnya akan bergerak memenuhi seluruh bagian balon. Perlahan tapi pasti balon akan mengembang. Ketika sudah cukup, maka balon dapat dengan mudah meluncur ke udara. Dan diujung tali sudah siap beberapa orang memegang kendali atas balon. Untuk beberapa saat, balon akan mengudara dengan stabil. Namun saat udara panas pada balon mulai memudar, secara perlahan balon akan meluncur lagi ke bawah.

Memang sangat berbeda dengan balon udara yang menggunakan bahan bakar gas propana. Bahan bakar ini menjadikan balon mampu mengudara dalam waktu yang lebih lama.

Balon Udara Wonosobo ternyata mempunyai sejarah yang panjang. Di lansir dari situs wonosobozone.com penemu balon udara adalah seorang pemangkas rambut bernama Atmo Goper. Beliau berasal dari Krakal Tamanan, Kelurahan Karangluhur, Kecamatan Kertek. Dia juga dikenal pengrajin lampion, sangkar burung, dan seniman musik rebana (terbangan). Balon Udara Wonosobo ini muncul pada pertengahan dekade 1920-an. Sejarah panjang ini terus diwariskan secara turun temurun hingga meluas seperti sekarang.

Warisan budaya yang mempunyai esensi untuk mempererat tali silaturahmi dan menyemarakkan libur lebaran. Menjadi hal yang wajib bagi masyarakat Wonosobo khususnya dan pemerintah daerah untuk bergotong royong dalam melestarikan warisan budaya ini.

Wonosobo selain mempunyai potensi alam yang baik, hadirnya Festival Balon Udara seperti ini seharusnya mampu meningkatkan potensi wisata. Tak hanya sebagai hiburan penduduk lokal semata, namun mampu menjangkau wisatawan lokal yang lebih luas dari berbagai daerah. Sudah selayaknya Pemkot, Pemda dan instansi pemerintah lainnya bisa bersinergi dengan berbag ai pihak sehingga gaung festival balon udara ini bisa lebih luas lagi. Dan tak ada salahnya kita membangun mimpi bahwa Wonosobo kelak mampu menghadirkan Cappadocia versi lokal.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun