Pagi itu agak mendung, bulan November memang bulannya air. Kucuran air berkah yang dikirim Allah ke bumi untuk meredam keangkuhan sang Raja Siang.
Setengah bermalasan kubuka mata dan tak lupa bersyukur atas nikmat tidur yang tiada tara. Berjalan gontai menuju kamar mandi untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Di ruang tengah, mataku tertuju ke arah kalender dan berhenti di angka 10..."Hari Pahlawan". Pikiranku lantas berputar, mencoba memahami arti "Pahlawan".
Sesaat teringat cerita dari para orang tua yang turun temurun diwariskan kepada anak cucu. Sebagai saksi sejarah mereka tentu paham betul akan kondisi dan situasi saat itu. Cerita merekapun bukan dongeng yang menina bobokan, tetapi cerita penuh semangat yang menggelora, membakar, menginspirasi lalu mengundang empati bagi siapa saja yang mendengar.
Rindu.... aku rindu pada cerita itu. Cerita bagaimana mereka bertahan dibawah todongan senjata penjajah, cerita perjuangan sebilah bambu runcing berhadapan dengan senapan yang sekali tarik pelatuk, selesai sudah hidupnya. Dan cerita para pahlawan lainnya dengan kisah-kisah heroiknya yang menumbuhkan spirit kepahlawanan.
Wew.....tak terasa waktu berjalan cepat dan aku harus bergegas menuju kantor. Seperti biasa, aku selalu menggunakan transportasi KRL karena ini satu-satunya transportasi anti macet meski kadang terhambat ketika ada gangguan. hehehehehe. Yah... minimal ga merasakan kemacetan setiap hari dan toh gangguan juga ga setiap hari lah.
Sesaat ketika memasuki stasiun jatinegara, tiba-tiba jiwaku bergetar, perasaanku mengharu biru dan tubuhku merinding. Untuk beberapa saat aku tertunduk ketika perjalananku terhenti dan terdengar lagu 'Mengheningkan Cipta' tepat pada pukul 08.16 WIB dari sebuah kereta krl yang membawaku pagi ini.
Sayangnya, aku terusik dengan suara suara berisik penumpang dari sisi depanku. Acuh dengan alunan musik pilu nan menyayat hati. Sebagian lagi asik masyuk dengan gadget dan earphone. "Ya Tuhan....." aku tidak bisa berkata apa apa lagi meski hanya berucap dalam hati.
Lantas pikiranku kembali berputar, mencoba memahami pemandangan disekitarku dan mencari jawaban atas pertanyaanku "Apa yang salah dan siapa yang disalahkan?"
Pemandangan pagi ini benar-benar membuatku miris.
Budaya dan etika untuk menghormati dan menghargai jasa para pendahulu khususnya para "Pahlawan Bangsa" sepertinya sudah mulai tergerus oleh teknologi. Memang tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi akan membawa peradaban Bangsa berkembang lebih baik dan modern. Namun demikian, maju bukan berarti melupakan yang terdahulu.
Pahlawan pada masa penjajah adalah mereka yang berjuang dengan tekad, mempertaruhkan segenap jiwa raga demi kehormatan Bangsa. Mereka yang bertarung diujung senapan, melewati setiap desingan peluru yang siap menghantam busung dadanya. Namun dengan gagah berani Pahlawan maju tanpa gentar demi generasi berikutnya, demi kita yang hidup di bumi pertiwi yang kini kita nikmati. Lalu kemanakah rasa hormatmu ketika mendengar sebuah lagu "Mengheningkan Cipta" sengaja diputar untuk kembali mengenang jasa-jasa Pahlawan?
Menghormati para Pahlawan bukan berarti harus menjadi seperti mereka, tetapi cukuplah dengan mewarisi sifat kepahlawan dan jadikan sebagai suri tauladan. Marilah kita lanjutkan perjuangan mereka dengan meneladani sifat ke-Pahlawan-an yang pantang menyerah untuk tujuan yang mulia. Minimal jadilah Pahlawan bagi diri sendiri yang bisa memberi contoh pada lingkungan sekitar. Dan kelak kita bisa bercerita tentang setiap kisah kehidupan pada generasi kita berikutnya, tentang siapa suri tauladan dan para Pahlawan dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H