Bulan-bulan belakangan ini adalah bulan-bulan yang penuh ketegangan di negeri ini. Kampanye pemilihan presiden, yang sejatinya merupakan ajang istimewa untuk adu visi dan program, malah lebih diriuhkan oleh adu kampanye negatif, bahkan kampanye hitam. Tak jarang fitnah keji bertebaran. Memanipulasi fakta, membunuh karakter, menghembuskan badai kebencian. Nalar pun dikesampingkan, moral dan etik dilempar jauh-jauh, segala cara dihalalkan untuk memenangkan sang kandidat yang didukung.
Dan media lantas menjadi senjata pemusnah kebenaran dan keadilan. Sebagian besar media mainstream menjadi partisan. Segala kaidah jurnalistik dipersetankan. Pesan negatif tumpah ruah bagaikan sampah komunikasi dalam wujud berita-berita yang tendensius dan manipulatif, mempertontonkan agenda-agenda politis yang telanjang bulat dan brutal. Hal ini tak jarang menjadi semacam teror, yang mengusik kenyamanan hidup khalayak sehari-hari. Media seperti hantu momok yang sebisa mungkin dihindari jika tidak ingin perut mual oleh visual dan verbal kebodohan.
Tak terkecuali pun media sosial, media yang digadang-gadang sebagai kanal demokrasi baru yang lebih terbuka, bebas dan hiperaktif. Status-status dan posting-posting dibanjiri serapah, fitnah, hujatan, makian dan pesan-pesan kebencian yang ujungnya berupa konflik tajam. Konflik itu siap menikam persahabatan, persaudaraan, bahkan pernikahan yang sebelumnya damai dan guyub. Maka permusuhan dan perceraian pun tak terelakkan, merambah tidak hanya dalam ranah hubungan virtual tapi juga ke ranah hubungan sosial yang ril. Timbul pertanyaan, sudah sebegitu negatifkah emosi bangsa ini sehingga pesan-pesan cenderung dikomunikasikan dalam bentuk ketegangan, teror permusuhan, black campaign, fitnah, kebencian, kerusuhan bahkan kekerasan?
Negativitas Komunikasi
Entah apa yang merasuki negeri ini, hasrat kebencian seperti memiliki energi dorong yang luar biasa untuk dilampiaskan. Kita seperti mudah sekali melakukan hasutan, kekerasan, kerusuhan dan teror untuk memaksakan kehendak, atau menyampaikan pesan dan maksud tertentu kepada suatu individu, kelompok maupun institusi.
Dalam komunikasi, kita mengenal istilah what-to-say dan how-to-say. What-to-say berkaitan dengan pesan komunikasi, sedangan how-to-say berkaitan dengan cara dan proses komunikasi. Pesan yang baik dan benar belum tentu berdampak baik dan benar jika disampaikan dengan cara atau melalui proses yang buruk dan salah. Demikian pula pesan yang buruk dan salah, sebaik dan sebenar apapun cara dan proses penyampaiannya, jika keseringan akan memberikan dampak yang kurang baik bagi penerima pesan. Itulah mengapa komunikasi yang negatif harus dapat dikendalikan dan jika perlu dihindari.
Negativitas komunikasi dapat ditelusur pada setiap unsur dan tahap proses komunikasi, mulai dari pengirim pesan (communicator), penciptaan makna pesan (encoding), pesan yang dihasilkan (message), saluran atau medium pengiriman pesan (channel), penafsiran makna pesan (decoding), penerima pesan (audience), gangguan dalam setiap tahap penyampaian pesan (noise), hingga efek dan respons yang dihasilkan (feedback).
Seorang pengirim pesan bisa saja memiliki niat atau agenda buruk, menciptakan makna yang buruk dan salah sehingga menghasilkan pesan-pesan yang buruk dan negatif. Bisa pula meski pesannya baik namun karena disampaikan melalui saluran atau media, pihak ketiga, ataupun tindakan-tindakan yang buruk dan salah, penerima pesan pun menafsirkan pesan secara buruk dan salah. Apalagi jika latar belakang atau mindset penerima pesan yang buruk dan salah, maka efek yang dihasilkan pun bisa jadi buruk dan salah. Respon negatif kerap muncul sehingga menghasilkan proses komunikasi negatif berikutnya yang terus berulang.Inilah yang seringkali menjadi akar konflik, perselisihan, kebencian, kerusuhan dan kekerasan yang tak habis-habis.
Banyak istilah-istilah popular di keseharian kita terkait fenomena negativitas komunikasi ini, seperti salah paham, miskomunikasi, niat jahat, prasangka buruk, salah ngomong, salah nangkep, berita buruk, omongan sampah, adu domba, salah pilih teman, dan sebagainya. Cameron (2008) mengidentifikasi beberapa pesan beraura negatif, di antaranya pesan-pesan bernada kecaman (criticism), celaan (disapproval), ketidakpuasan (dissatisfaction), olokan (cynicism), dan remehan (disparagement). Apapun bentuknya, komunikasi negatif berpotensi memberi pengaruh yang negatif pula tidak hanya bagi para pelaku komunikasi, namun juga bagi sistem dan lingkungan yang meyertainya.
Di samping bentuk kekerasan dalam konteks komunikasi sosial, negativitas komunikasi di negeri ini juga tentunya banyak ditemukan pada wajah media yang setiap hari kita konsumsi. Lihatlah politisi yang saling perang statement dan pencitraan secara destruktif. Lihatlah tayangan sinetron dan hiburan yang tak kapok-kapoknya menampilkan adu mulut, adu wajah tegang, adu licik bahkan adu fisik. Lihatlah berita-berita negatif dalam bentuk gosip, berita kriminal, kemalangan, dan kejahatan yang dibingkai dan dieksploitir sedemikian rupa sehingga meneror psikis massa, serta berpotensi memberikan efek pleasure audiens terhadap kenegatifan. Tentu saja hal ini patut menjadi keprihatinan bersama, karena tampaknya prinsip ‘bad news is good news’ yang dianut sebagian media mampu menularkan energi negatif bagi kebanyakan anak bangsa di negeri ini.
Kasih dan Komunikasi
Saat ini kita sedang dan akan merayakan dua momen penting, Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan. Sejatinya, kita mampu memaknai kedua momen tersebut dengan bingkai yang baru. Kemerdekaan dari kekerasan, perselisihan, teror, fitnah dan konflik negatif yang seperti tak henti-hentinya ‘menjajah’ negeri kita. Sementara Idul Fitri adalah kembali bersih, steril dari kebencian dan segala kenegatifan.
Kita membutuhkan suasana Idul Fitri setiap hari, suasana yang memerdekakan kita dari kebencian dan perselisihan. Kita membutuhkan hari kemerdekaan setiap hari, untuk memproklamasikan cinta dan kasih sayang sesama anak bangsa. Karena dengan cinta dan kasih sayang, segala emosi positif berkumpul, merayakan kemenangan atas kenegatifan.
Dalam bukunya Positivity, Barbara L. Fredrickson (2009) menyebutkan berbagai bentuk positivitas emosi, di antaranya rasa sukacita (joy), rasa syukur (gratitude), ketenangan (serenity), minat (interest), harapan (hope), kebanggaan (pride), hiburan (amusement), inspirasi (inspiration), kekaguman (awe), dancinta atau kasih sayang (love). Tanpa mengecilkan bentuk-bentuk positivitas emosi yang lain, Fredrickson menyebut cinta dan kasih sayang sebagai puncak dari emosi positif (supreme emotion). Cinta dan kasih sayang merupakan akumulasi segala bentuk emosi positif. Karena itu, di tengah carut-marut budaya komunikasi yang bertendensi negatif dewasa ini, kita membutuhkan komunikasih.
Komunikasih adalah komunikasi empatik yang menyertakan energi kasih sayang dalam penyampaian pesan sehingga menimbulkan pemahaman yang baik dan benar oleh penerima pesan, serta berefek terciptanya emosi positif yang penuh kasih dan perdamaian di antara para pelaku komunikasi. Komunikasih adalah komunikasi yang tulus, tidak egois, dan konstruktif.
Jika negativitas komunikasi dapat ditemui di setiap unsur komunikasi, maka komunikasih pun selalu melibatkan cinta dan kasih sayang di setiap unsur dan tahap proses komunikasi. Komunikator yang penuh kasih selalu mendasari aktivitas komunikasinya dengan niat yang baik dan tulus. Penciptaan makna pesan (encoding) yang dibingkai cinta dan kasih sayang akan menghasilkan pesan-pesan yang baik dan positif.
Begitu pula dengan saluran penghantar pesan, baik dalam wujud media, pihak ketiga atau kegiatan yang diliputi nuansa kasih akan terhindar dari gangguan buruk (black noise) dan kekeliruan, baik disengaja maupun tak disengaja. Proses penafsiran makna pesan (decoding) yang melibatkan kasih sayang pun membuat penerima pesan bebas dari prasangka buruk. Sehingga, pesan tersebut menghasilkan efek dan respon positif secara emosional, situasional maupun efek dalam bentuk runtunan komunikasi positif berikutnya. Dengan demikian, konflik negatif, perselisihan dan kekerasan pun dapat dicegah.
Menarik mendengar seruan rekonsiliasi dan silaturahmi dari salah satu kandidat Pilpres 2014. Keinginan untuk merangkul ‘lawan’ dan mengajak bekerjasama, menghindari gesekan di akar rumput dan konflik yang meluas di segenap penjuru negeri. Demikian pula ungkapan-ungkapan ikhlas dan sportif terhadap ‘lawan’ yang menang, seperti melenturkan ketegangan yang meregang.
Semua itu adalah contoh-contoh komunikasih yang seharusnya ditumbuhsuburkan di negeri ini. Agar budaya komunikasi negatif yang sudah terlanjur mencemari wajah media dan relasi sosial antarsesama anak bangsa dapat tereduksi.
Bambang Sukma Wijaya, pemerhati komunikasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H