Mohon tunggu...
Bergas Satrio Wicaksono
Bergas Satrio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Politik yang menyukai pembahasan ideologi, sejarah, teori politik, dan pop culture.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Patriarki di Indonesia : Tantangan Keterwakilan Perempuan dan Polarisasi Gender dalam Politik

13 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   12:00 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak


Artikel ini membahas tantangan besar dalam demokrasi Indonesia terkait dengan keterwakilan perempuan dalam politik, serta dampak dari polarisasi gender yang memperburuk ketidaksetaraan tersebut. Meskipun Indonesia telah menerapkan kuota gender dalam pemilu, partai politik masih kurang mendukung perempuan dalam mengisi jabatan strategis. Ketidaksetaraan gender dalam politik ini berdampak pada kebijakan yang kurang responsif terhadap kebutuhan perempuan, seperti isu kesehatan reproduksi dan kesetaraan upah. Artikel ini juga mengutip pandangan Chusnul Mar'iyah mengenai demokrasi patriarki di Indonesia, serta pentingnya reformasi politik yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dan inklusi gender dalam pengambilan keputusan. Melalui analisis ini, penulis menekankan perlunya perubahan dalam struktur politik untuk mewujudkan demokrasi yang lebih adil dan setara.


Kata Kunci : Keterwakilan perempuan, demokrasi, inklusivitas, polarisasi gender


Pendahuluan


Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang mencerminkan kesetaraan dan inklusi dari semua kelompok dalam masyarakat, termasuk perempuan. Namun, dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun telah ada kuota gender dalam pemilihan umum, perempuan masih mengalami hambatan besar untuk mencapai posisi-posisi strategis di bidang legislatif maupun eksekutif. Dalam konteks ini, kritik terhadap demokrasi patriarki di Indonesia sangat relevan. Demokrasi yang tidak mampu mengakomodasi suara dan kebutuhan perempuan cenderung menghasilkan kebijakan yang kurang responsif terhadap isu-isu penting yang berkaitan dengan perempuan, seperti kesetaraan upah, kesehatan reproduksi, dan kekerasan berbasis gender.

Pertanyaan Penelitian


1. Apa tantangan utama yang dihadapi perempuan dalam memperoleh keterwakilan politik di Indonesia?
2. Bagaimana polarisasi gender mempengaruhi kebijakan publik di Indonesia, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan perempuan?
3. Apa solusi yang diusulkan oleh para ahli, seperti Chusnul Mar'iyah, untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam politik Indonesia?

Narasi Video dan Permasalahan


Dalam narasi ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana demokrasi patriarki di Indonesia memengaruhi keterwakilan perempuan dalam politik, serta dampaknya terhadap kebijakan publik yang dihasilkan. Demokrasi idealnya adalah sistem yang mencerminkan kesetaraan dan inklusi bagi semua kelompok dalam masyarakat, termasuk perempuan. Namun, dalam kenyataannya, meskipun telah ada upaya melalui kuota gender dalam pemilihan umum, perempuan di Indonesia masih menghadapi hambatan yang signifikan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam struktur politik. Meskipun kuota gender memungkinkan keterwakilan perempuan dalam legislatif, praktik di lapangan menunjukkan bahwa perempuan tetap menghadapi diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari partai politik, masyarakat, dan budaya politik yang masih sangat patriarkis.


Fenomena ini menciptakan polarisasi gender yang semakin memperburuk ketidaksetaraan dalam politik. Dalam sistem politik yang dominan oleh laki-laki, suara perempuan sering kali terpinggirkan atau diremehkan. Meskipun di atas kertas perempuan memiliki ruang untuk berpartisipasi, kenyataannya mereka sering kali tidak diberikan dukungan yang sama oleh partai politik. Partai-partai politik lebih cenderung mengutamakan calon laki-laki yang dianggap lebih "kuat" atau lebih "berpengalaman", sementara perempuan dianggap kurang memiliki kapasitas atau tidak mampu memimpin. Ketidaksetaraan dalam kesempatan ini sangat terlihat dalam pemilihan umum, di mana meskipun ada aturan kuota untuk perempuan, posisi strategis seperti ketua partai atau jabatan eksekutif, seperti menteri atau kepala daerah, masih didominasi oleh laki-laki.


Polarisasi gender ini, pada gilirannya, memperburuk kondisi demokrasi Indonesia, karena menciptakan ketidakseimbangan dalam pembuatan kebijakan. Ketika perempuan tidak terwakili secara cukup dalam lembaga legislatif atau eksekutif, kebijakan yang dihasilkan akan lebih banyak dipengaruhi oleh perspektif laki-laki. Ini berarti, kebijakan publik cenderung kurang sensitif terhadap isu-isu yang paling mempengaruhi perempuan. Isu-isu seperti kesehatan reproduksi, kesetaraan upah, kekerasan berbasis gender, dan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang adil seringkali terabaikan atau tidak mendapat perhatian serius. Misalnya, dalam beberapa kebijakan kesehatan, kebijakan yang ada lebih banyak memfokuskan pada kebutuhan kesehatan laki-laki, sementara isu kesehatan reproduksi perempuan, seperti akses terhadap kontrasepsi atau perawatan kesehatan ibu hamil, kerap kali terlupakan atau dipandang sebelah mata.


Analisa


Demokrasi di Indonesia menunjukkan ketidaksetaraan gender yang masih sangat dominan. Dukungan terbatas dari partai politik terhadap perempuan calon legislatif dan eksekutif menunjukkan bahwa meskipun ada kuota gender, perubahan yang diharapkan dalam politik Indonesia masih terhambat oleh budaya patriarki yang mendalam. Hal ini menciptakan polarisasi gender yang memperburuk situasi, di mana perempuan sering kali dianggap hanya sebagai pelengkap atau pengikut dalam struktur politik yang didominasi laki-laki.


Kritik dari Chusnul Mar'iyah menyoroti betapa pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan, karena kebijakan yang tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan sering kali memperburuk ketidaksetaraan yang ada. Untuk itu, perlu ada reformasi dalam sistem politik Indonesia yang dapat menciptakan ruang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebijakan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan semua kelompok, termasuk perempuan, dapat dihasilkan.


Dalam banyak kasus, kebijakan yang dihasilkan tanpa melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan bisa sangat tidak responsif terhadap realitas sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Pengalaman perempuan, terutama yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang rendah, sering kali tidak tercermin dalam kebijakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kurangnya keterwakilan perempuan dalam politik tidak hanya merugikan perempuan itu sendiri, tetapi juga berpotensi merugikan seluruh masyarakat, karena kebijakan yang dihasilkan tidak mencakup kepentingan kelompok yang lebih besar dan beragam. Lebih lanjut, dalam banyak situasi, ketidaksetaraan gender ini juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kapasitas perempuan untuk memimpin atau membuat keputusan politik. Polarisasi gender yang terjadi mengarah pada stereotip negatif terhadap perempuan, yang sering kali dianggap kurang mampu atau kurang berkompeten dibandingkan laki-laki. Stereotip ini tidak hanya terjadi pada tingkat partai politik, tetapi juga dalam pandangan masyarakat yang lebih luas, di mana perempuan dianggap tidak cocok untuk posisi-posisi penting dalam pemerintahan atau pengambilan kebijakan.


Artikel ini juga mengkritik ketidaksetaraan struktural dalam politik Indonesia yang memperburuk kesenjangan gender. Menurut beberapa ahli, ketidaksetaraan ini bukan hanya terjadi karena kurangnya kebijakan afirmatif yang mendorong keterwakilan perempuan, tetapi juga disebabkan oleh budaya patriarki yang mendalam dalam struktur sosial dan politik Indonesia. Budaya patriarki ini melibatkan norma-norma sosial yang memandang laki-laki lebih berkuasa atau lebih pantas memimpin, sementara perempuan lebih sering diharapkan untuk tetap berada dalam peran domestik atau submisif. Padahal, tanpa adanya representasi yang memadai, kebijakan yang dihasilkan tidak akan mencerminkan realitas dan kebutuhan yang dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama perempuan.


Solusi yang diusulkan untuk mengatasi masalah ini adalah melalui reformasi politik yang lebih inklusif, di mana perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu pendekatan yang sering dikemukakan adalah perlunya sistem politik yang tidak hanya berfokus pada kuota gender dalam pemilihan umum, tetapi juga pada kebijakan yang mempermudah perempuan untuk berkompetisi di tingkat tinggi dalam politik, seperti pencalonan di posisi-posisi strategis atau jabatan eksekutif. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas perempuan untuk berpartisipasi melalui pelatihan, pendidikan politik, serta jaringan dukungan yang lebih besar di dalam partai politik.


Sebagai contoh, dalam pemilihan umum, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perempuan agar mereka bisa lebih aktif berpartisipasi dalam pencalonan. Partai politik perlu lebih banyak membuka peluang bagi perempuan untuk memegang posisi penting dalam kepengurusan partai, dan memberi mereka peran yang lebih besar dalam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, reformasi kebijakan yang memperhatikan keadilan gender dan keberagaman perspektif dalam pembuatan kebijakan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak bias gender dan dapat mewakili kebutuhan seluruh masyarakat. Dengan demikian, untuk mengatasi polarisasi gender yang masih kuat dalam politik Indonesia, perlu ada perubahan besar dalam struktur politik dan budaya politik itu sendiri. Demokrasi yang inklusif adalah demokrasi yang dapat mencakup suara semua kelompok, termasuk perempuan. Tanpa itu, demokrasi Indonesia akan tetap menghadapi kesulitan untuk mencapai kesejahteraan sosial yang adil bagi seluruh rakyatnya.


Kesimpulan


Demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait dengan polarisasi gender, yang menciptakan ketidaksetaraan dalam keterwakilan perempuan di politik. Meskipun telah ada upaya seperti kuota gender dalam pemilu, banyak hambatan struktural yang masih membatasi partisipasi perempuan dalam politik. Ketidaksetaraan ini berdampak pada kebijakan yang sering kali tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan perempuan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan reformasi politik yang dapat menciptakan inklusi gender yang lebih besar, termasuk melalui sistem demokrasi yang lebih mengedepankan musyawarah dan kesetaraan. Demokrasi yang adil harus mencakup semua suara, termasuk suara perempuan, untuk menghasilkan kebijakan yang benar-benar mencerminkan kebutuhan seluruh masyarakat.


REFERENSI

Adeni, S., & Harahap, M. A. (2018). Komunikasi politik dan keterwakilan perempuan dalam arena politik. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi Bisnis, 1(2).

Hardjaloka, L. (2012). Potret keterwakilan perempuan dalam wajah politik Indonesia perspektif regulasi dan implementasi. Jurnal Konstitusi, 9(2), 403--430.

UMY. (2016, March). Chusnul Mar'iyah: Demokrasi Tanpa Perempuan Bukanlah Demokrasi.
Https://Www.Umy.Ac.Id/Chusnul-Mariyah-Demokrasi-Tanpa-Perempuan-Bukanlah-De mokrasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun