Mohon tunggu...
Bergas Satrio Wicaksono
Bergas Satrio Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Politik yang menyukai pembahasan ideologi, sejarah, teori politik, dan pop culture.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Gaza: Dinamika Orientalisme hingga Pasca-Kolonialisme

4 April 2024   12:30 Diperbarui: 4 April 2024   12:44 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teori Pasca-Kolonial adalah pendekatan teoritis yang mempelajari dampak dan warisan kolonialisme terhadap budaya, politik, dan masyarakat di negara-negara yang pernah dijajah. Teori ini mengeksplorasi bagaimana kolonialisme mempengaruhi identitas, kekuasaan, dan hubungan antara negara-negara kolonial dan bekas jajahannya. Teori Pasca-Kolonial juga menyoroti ketidaksetaraan, penindasan, dan perlawanan yang muncul sebagai akibat dari kolonialisme. Konsep utama dalam teori ini adalah pembebasan dari penindasan kolonial, pemulihan identitas budaya, dan kritik terhadap struktur kekuasaan yang masih mempengaruhi negara-negara pasca-kolonial.

Orientalisme adalah konsep yang dikemukakan oleh Edward Said dalam bukunya yang berjudul "Orientalism" pada tahun 1978. Konsep ini mengacu pada cara Barat memandang, memahami, dan merepresentasikan dunia Timur atau "Orient". Orientalisme melibatkan pembentukan stereotip dan pandangan yang bias terhadap budaya, agama, dan masyarakat Timur, yang sering kali digunakan untuk membenarkan kolonialisme dan dominasi Barat atas Timur. Tentunya juga mengacu pada cara Barat memandang dan memahami Timur, terutama dunia Arab dan Muslim, melalui lensa stereotip dan prasangka.

 Dalam konteks Teori Pasca-Kolonial, Orientalisme menjadi bagian penting dalam diskursus karena mempengaruhi cara pandang dan pemahaman terhadap negara-negara yang pernah dijajah. Diskursus Pasca-Kolonial berusaha untuk mengkritisi dan melawan orientalisme dengan memperjuangkan perspektif yang lebih inklusif dan adil terhadap budaya dan masyarakat Timur. Di lingkup Teori Paska-Kolonial, Orientalisme menjadi bagian dari diskursus ini karena Orientalisme merupakan salah satu bentuk penindasan dan dominasi budaya yang dilakukan oleh negara-negara kolonial terhadap bekas jajahannya. Orientalisme menciptakan perbedaan dan hierarki antara Barat dan Timur, yang berdampak pada konstruksi identitas, representasi budaya, dan hubungan kekuasaan antara kedua wilayah tersebut.

Korelasi antara Teori Pasca-Kolonial, Orientalisme, dan konflik Gaza dapat dipahami melalui analisis hubungan antara Israel dan Palestina. Konflik Gaza adalah konflik politik dan militer antara Israel dan Palestina yang berlangsung lama di Jalur Gaza. Konflik ini memiliki akar sejarah yang kompleks, termasuk masalah pemukiman Israel, perbatasan, dan status Yerusalem. Dalam konteks ini, Orientalisme memainkan peran penting dalam konflik Gaza. Orientalisme telah menciptakan stereotip dan prasangka negatif tentang orang Palestina dan dunia Arab secara umum, yang mempengaruhi persepsi dan sikap Israel terhadap Palestina. Orientalisme juga telah mempengaruhi cara Barat melihat konflik ini, dengan seringnya memposisikan Israel sebagai korban dan membenarkan tindakan militer yang dilakukan oleh Israel.

Pada tahun 1996, Huntington seorang ilmuwan politik, dalam bukunya yang berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. berpendapat bahwa konflik di dunia pasca-Perang Dingin tidak lagi didasarkan pada pertentangan ideologi atau ekonomi, tetapi lebih didasarkan pada perbedaan identitas budaya dan agama. Huntington membagi dunia menjadi berbagai peradaban besar, seperti peradaban Barat, Islam, Konghucu, dan lain-lain, dan mengatakan bahwa konflik utama di masa depan akan terjadi antara peradaban-peradaban ini.

Konflik di Gaza memiliki akar sejarah yang panjang, termasuk dampak dari kolonialisme. Gaza adalah wilayah yang terletak di pesisir timur Laut Tengah dan berbatasan dengan Israel dan Mesir. Konflik di Gaza melibatkan berbagai pihak, termasuk Israel, Palestina, dan kelompok-kelompok militan di wilayah tersebut. Awalnya Gaza dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah hingga tahun 1917. Setelah itu, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Inggris hingga tahun 1948. Selama periode ini, migrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina terjadi, yang banyak didorong oleh penganiayaan pembantaian massal yahudi oleh jerman dan masifnya gerakan Zionisme. Pada tahun 1948, setelah berakhirnya mandat Inggris, Israel mengumumkan kemerdekaannya, yang memicu konflik dengan negara-negara Arab tetangga, termasuk perang yang menyebabkan banyak warga Palestina mengungsi ke Gaza. Akibat perang tersebut, wilayah Gaza dikuasai oleh Mesir.

Kolonialisme telah meninggalkan warisan yang mendalam di wilayah ini, termasuk pembagian wilayah dan pembentukan negara-negara baru seperti Israel. Pembentukan Israel dianggap oleh banyak warga Arab sebagai pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan yang diberikan selama Perang Dunia II. Ini menimbulkan ketegangan dan konflik yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Pada tahun 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel merebut kembali wilayah Gaza dan Tepi Barat dari Mesir dan Yordania. Setelah merebut wilayah tersebut, Israel mulai membangun pemukiman Yahudi di wilayah tersebut, yang menjadi sumber konflik dengan penduduk Palestina. Terlebih juga dapat terlihat dalam pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel. Pemukiman ini dianggap ilegal oleh banyak negara dan menjadi sumber konflik dengan penduduk Palestina.

Warisan kolonialisme masih mempengaruhi konflik di Gaza. Pembagian wilayah Palestina oleh Inggris dan pendirian negara Israel telah menciptakan ketidakstabilan politik dan ketegangan antara kedua belah pihak. Selain itu, pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel terus menjadi sumber ketegangan dan konflik. Dalam upaya untuk mencapai perdamaian di Gaza, banyak negara dan organisasi internasional telah berusaha untuk memediasi antara Israel dan Palestina. Namun, solusi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk konflik tersebut masih sulit dicapai.

Teori Huntington tentang "Perpecahan Umat" memberikan dasar yang inovatif untuk memahami geopolitik Barat, tetapi harus dipertimbangkan dengan cermat ketika berkaitan dengan konflik Palestina-Israel yang terus berlanjut. Huntington berpendapat bahwa perbedaan agama dan budaya akan menjadi sumber utama konflik. Konflikt ini menunjukkan ketidaksepakatan antara identitas Yahudi dan Arab, yang masing-masing memiliki nilai budaya, agama, dan sejarah yang signifikan. Sumber utama konflik ini adalah Islam dan Yudaisme, yang memengaruhi pandangan tentang klaim teritorial, kedaulatan, dan penentuan nasib sendiri.

Huntington menekankan bahwa perbedaan kultural adalah sumber utama konflik global, yang dapat memperkuat stereotip dan asumsi negatif terhadap peradaban Timur, dan dengan menyederhanakan kompleksitas hubungan antara kedua peradaban tersebut, perspektifnya tentang "Clash of Civilization" dapat memperkuat pembagian Orientalis antara Barat dan Timur. Dalam konteks konflik Gaza, pandangan ini dapat memperkuat orientalisasi Barat terhadap Timur, di mana Barat dianggap sebaliknya. Ini dapat mengaburkan pemahaman tentang masalah utama di balik konflik Gaza dan memperkuat perspektif yang menyederhanakan kompleksitas proses konflik.

Konflik di Gaza tidak dapat didefinisikan hanya sebagai konflik agama atau peradaban. Ia memiliki hubungan yang kuat dengan sejarah kolonialisme, penjajahan, dan ketidakadilan politik Palestina. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks sosial, politik, dan sejarahnya diperlukan. Teori Huntington dapat memperluas pembagian Orientalis dan stereotip terhadap beberapa kelompok. Ini dapat mempengaruhi persepsi secara negatif, yang mempersulit penyelesaian konflik secara damai. Oleh karena itu, hal ini harus dihindari.

Edward Said mengkritik perspektif Barat tentang masyarakat Arab yang menghapus banyak perbedaan yang membedakan orang Arab dari orang lain. Sejarah menunjukkan bahwa tren penurunan Arab selama berabad-abad tidak diubah oleh kolonialisme Barat atas wilayah Arab, yang dimulai dengan pendaratan Napoleon di Mesir pada tahun 1798. Namun, dari perspektif Teori Post-Kolonial dan Orientalisme, perang ini lebih dari sekedar konflik peradaban. Ini adalah hasil dari penjajahan dan penindasan terus-menerus yang dilakukan oleh negara-negara Barat dan sekutunya terhadap rakyat Gaza. Orientalisme memberi kita perspektif tentang cara Barat melihat dan memperlakukan Timur Tengah sebagai "yang terbelakang", seringkali dengan cara yang merendahkan dan merusak.

Oleh karena itu, konflik di Gaza dapat dilihat sebagai gambaran dari dinamika kekuasaan pasca-kolonial, di mana Israel memiliki kekuatan militer dan politik yang signifikan atas Palestina dengan dukungan dari negara-negara Barat. Selain itu, dapat dilihat dari perspektif Teori Pasca-Kolonial dan Orientalisme Edward Said, di mana konflik terjadi antara narasi kolonial yang sudah ada dan keinginan bangsa yang terus berjuang untuk otonomi dan pengakuan. Ini adalah perjuangan yang tidak hanya tentang batas dan tanah; itu juga tentang identitas, representasi, dan hak untuk menentukan masa depan sendiri di dunia yang sering didominasi oleh kekuatan-kekuatan besar. Perjuangan ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menghapus narasi kolonial dan menciptakan pemahaman sejarah dan politik modern yang lebih inklusif dan adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun