Â
Dari tidur yang panjang, kita kembali terbangun untuk melanjutkan mimpi yang belum usai.
Sekitar pukul 04.30 subuh, saya dibangunkan teman untuk melakukan ritual yang seperti biasa kita sebagai orang Islam lakukan. Tak ada cerita seru kali ini, perihal rasa ataupun kabar mengabari, tapi ada hal yang menarik yang akan saya ceritrakan, masih soal pembangunan lebih spesifiknya penataan ruang yang ada di Bolaang Mongondow Selatan, tepatnya di kompleks perkantoran Panango, Kecamatan Bolang Uki.
Disini terdapat tiga Rumah Ibadah yang dibangun secara berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Yakni Masjid Amirul Mukminin, Gereja Bukit Hermon dan Pura Amerta Segare. Bangunan tersebut bediri ditanah milik pemerintah yang kurang lebih luasnya sekitaran 250 Hektar. Jika ditanya soal lahan tersebut, itu adalah lahan kosong yang status tanahnya bukan milik masyarakat ataupun subjek hukum yg lainnya. Tanah itu dulunya perkebunan kelapa. Jadi tidak ada pembebasan lahan, ataupun perampasan hak atas masyarakat. Beruntunglah.
Pembangunan rumah ibadah yang saling berdekatan tentu tak lepas dari wacana keragaman. Keragaman yang telah dirawat dari jauh-jauh hari oleh pendahulu-pendahulu kita. Keragaman salah satu cikal bakal Negara ini merdeka, saling bahu membahu, untuk mengusir para penjajah yang ada di Negeri ini tanpa menanyakan apa agamamu. Lebih kecil lagi kita tarik dalam proses bernegara. Saya mencoba meminjam apa yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa "Tidak penting apapun Agamamu atau sukumu, Kalu kamu  bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu".
Disini Pemerintah melaksanakan program yaitu ibadah bersama yang dilakukan setiap hari Jumat pada Subuh hari. Umat Muslim melaksanakan sholat subuh di Masjid, umat Nasrani melaksanakan Ibadah subuh di Gereja dan begitupun Umat Hindu Melaksanakan Ibadah di Pura. Hal tersebut kita ketahui setelah berbincang-bincang dengan salah satu PNS yang ada dilokasi tersebut.
Selain dari itu ada juga ciri khas ketika kita memperhatikan Pegawai-Pegawai yang ada dilokasi perkantoran Panango, mereka seluruhnya menggunakan kopiah Nasional. Â Ternyata, itu sudah menjadi identittas dari pegawai yang bekerja dikepemerintahan Bolaang Mongondow Selatan.
Terlepas dari segala "kepentingan" yang ada dibalik pembangunan tersebut, saya mencoba untuk mengambil salah satu nilai dari berbagai nilai yang bisa diambil dari penataan ruang yang sudah saya uraikan tadi. Yaitu perihal keragaman. Hal tersebut sudah patutnya kita rawat bersama. Ini adalah anugrah. Sebab, Perbedaan adalah Suatu Keniscayaan.
Sebenarnya ada juga hal yang menarik untuk dinarasikan persolan tata ruang dari perkantoran-perkantoran yang ada dilokasi ini. Dari Kantor Bupatinya yang dibangun lebih tinggi dari perkantoran-perkantoran yang lain, entah itu disengaja atau tidak, saya belum menelusuri lebih jauh soal itu. Saya dan teman saya fahrozin akrab disapa Oji mencoba untuk memakai nalar aktifis untuk bangunan tersebut. Untuk teman-teman yang biasa main dijalanan, mungkin sudah bisa menangkap apa yang kami berdua pikirkan, hhaa. Tapi itu nanti dinarasikan dilain tempat. Sebab, itu akan mengganggu kestabilan KKN kami dan juga narasi yang dibangun diatas, wkwkw.
Perjalanan kita pada Senin, 02 Maret 2020 ditutup dengan acara 7 hari atas meninggalnya salah satu warga desa Duminanga yang tidak jauh dari lokasi kita tinggal, posko 10.
Dan untuk hari ini kami kenyang, wkwkwk.
Sekian.
Senin, 2 Maret 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H