Mawar pertama
Purnama keempat, aku sungguh bahagia. Setelah menempuh enam puluh tiga purnama, namaku disebut pembawa acara juga di gedung luas dan ramai itu, di salah satu universitas negeri di kota kembang. Aku melangkah dengan hati-hati lengkap dengan pakaian kebaya dilapisi toga dan topi. Dengan mantap, aku menuju dekan yang sudah siap memindahkan kuncir tali toga ke sebalah kanan. Aku menunduk, menyalam dan menerima tiket untuk mencari kerja atau ijazah. Aku berhenti sebentar untuk mengabadikan momen itu dengan bapak dekan. Sambil tersenyum, aku kembali ke tempat duduk dan menunggu hingga acara selesai.
Aku keluar, keluarga dan sahabat-sahabat sudah menunggu dengan ceria sambil membawa bunga untukku. Aku suka kota ini karena momen seperti ini pasti dihadiahkan bunga-bunga yang segar dan indah. Ada bunga mawar merah, mawar putih, mawar jingga, mawar biru, mawar merah muda, mawar kuning, bunga aster putih, aster ungu dan bunga lainnya yang namanya tak ku tahu. Aku suka keindahan, salah satunya bunga. Â
Hari bahagia itu selesai. Aku dan keluarga pun kembali ke kota asal, Medan. Aku membawa bunga-bungaku yang indah itu pulang untuk bapakku karena ia tak bisa ikut lagi. Meski kena masalah di bandara karena tidak boleh membawa bunga ke kabin pesawat, aku tetap bersikukuh untuk membawanya ke kantor isolasi hewan dan tanaman. Syukurlah, lolos. Namun, bungaku harus ditaruh di bagasi. Tak apalah, yang penting dibawa, pikirku.
Tiba di kota yang terkenal dengan toleransi umat beragama itu, aku langsung mengecek bungaku. Hmm…banyak juga yang hancur. Tapi, bungaku masih ada yang utuh dan kokoh. Aku dan keluargaku pun melanjutkan perjalanan ke rumah, empat jam dari ibu kota provinsi. Kami pun tiba di rumah dengan badan yang sangat lelah.Â
Esok harinya, aku mengunjungi bapakku sambil membawakan bungaku itu untuknya. Tempat peristirahatan terakhirnya pun indah dengan bunga-bunga menawan itu. Hanya itu yang bisa ku lakukan, pak. Maaf aku tak bisa membuatmu bahagia dan memberikanmu bunga selama hidupmu, rintihku dalam hati.
***
Mawar kedua
Dua belas purnama berlalu, aku sudah bisa mencukupi kebutuhanku sendiri. Aku kembali lagi ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluargaku terkasih. Aku sengaja berangkat dari kota kembang untuk membeli bunga mawar merah untuk bapak. Tiba di kampung halaman, aku berkunjung ke rumah bapakku sambil menghiasnya dengan mawar merah dari kota kembang. Pak, aku sudah bekerja, sayang ya bapak sudah tak bisa menikmati hasil keringatku.
***
Mawar ketiga
Enam purnama kemudian, liburku cukup panjang. Aku mengunjungi mama yang sudah sendiri di rumah. Tentu saja, aku singgah di kota kembang untuk membeli mawar merah untuk bapakku. Aku suka warna merah. Warna merah lambang berani katanya. Jadi, aku beli mawar merah lagi dan beberapa kembang indah lainnya. Sesampainya di sana, aku hias lagi rumah bapakku dengan mawar merah segar itu. Pak, aku bakal sering mengunjungimu karena pekerjaanku punya libur yang banyak. Sayang, kita tak bisa bicara lagi padahal banyak hal yang ingin kubagi.
***
Mawar keempat
Tak terasa, sudah enam purnama berlalu lagi. Aku pun pulang kampung untuk merayakan Natal bersama keluargaku. Aku singgah lagi di kota kembang. Aku beli mawar merah muda dan putih. Batangnya kokoh. Wanginya segar. Aku suka. Dengan perjalanan yang sangat melelahkan, aku pun tiba di rumah. Esoknya aku menghias rumah bapakku lagi dengan mawar-mawar dari kota kembang. Pak, aku bawa mawar merah mudah dan putih bukan merah, mudah-mudahan bapak suka ya. Nanti aku bawakan mawar-mawar berwarna lain biar rumah bapak indah, ucapku dalam hati.
***
Mawar kelima
Aku menunggu purnama keenam tahun ini karena aku akan membawa mawar warna jingga, ungu atau kuning untuk bapakku. Sayang, aku hanya singgah sebentar ke kota kembang, setelah itu aku harus mengikuti pelatihan di kota lain dekat bandara yang paling terkenal di Indonesia. Tiga hari pula. Tak mungkin aku bawa kembang ke sana. Pasti layu. Ah, nanti aku beli di sana saja, pikirku. Aku tak tahu tempat penjual bunga di kota ini, aku titip temanku namun harganya empat kali lipat dari mawar di kota kembang.Â
Ah, aku bawa bunga lili saja, pikirku. Harganya juga sama, tiga kali lipat dari bunga lili di kota kembang. Ah, mahal nian, pikirku. Tak jadi ku beli di sana. Aku langsung terbang ke provinsi yang dua gubernurnya tertangkap korupsi itu. Aku minta adikku untuk membeli bunga lili atau mawar di sana.Â
Namun, persediannya terbatas. Aku coba cari lewat kecanggihan internet, aku tak tahu toko kembang itu di mana. Akhirnya, adikku membeli beberapa mawar merah, bunga aster warna-warni dan bunga sedap malam. Kami pun mengunjungi mama di rumah. Esoknya, kami mengunjungi bapak dengan bunga-bunga itu. Pak, maaf, aku tak bisa membawa mawar dari kota kembang kali ini, aku ada pelatihan. Tapi, aku bawa kembang lain, kok. Semoga bapak suka ya. Â Aku bawa bunga mawar lain kali ya, pak.
Beberapa hari yang lalu, bapakku genap tiga tahun meninggalkan kami. Aku berharap memberikan yang terbaik kepada orang-orang yang ku sayangi sebelum aku membawakan mawar-mawar yang indah untuk menghias rumah barunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H