[caption caption="Sumber gambar: fromitbtoindonesia.wordpress.com/2011/06/27/kelompok-27-kotaku-cantik-tanpa-sampah-plastik/"][/caption]“Kita kan lagi belajar tentang kerusakan Sumber Daya Alam, salah satu limbah yang susah terurai adalah sampah yang terbuat dari plastik. Nah, saat ini pemerintah dan pengusaha minimarket dan supermarket membuat peraturan untuk membayar kantong plastik Rp 200 per kantong. Bagaimana menurutmu, setuju tidak?” ujarku pada anak-anak kelas 4 SD.
Salah seorang murid, Bintang, berkata, “Aku tidak setuju, miss. Indonesia itu adalah negara pengguna plastik terbanyak kedua di Asia. Itu kan tidak bagus bagi lingkungan karena susah terurai, sekitar 50-100 tahun. Kalau berbayar kan, bisa dikurangi penggunaannya.”
Miss, aku punya pendapat lain, kata Langit. “Selama ini kan kantong plastik gratis. Orang-orang jadi memakai seenaknya dan juga membuang sembarangan. Akibatnya, saluran jadi mampet dan banjir. Kalau banjir kan, banyak orang suka menyalahkan orang lain. Seperti di Jakarta, mereka menyalahkan gubernurnya kalau banjir padahal yang buang sampah sembarangan rakyatnya,” tegas Langit.
“Aku tidak setuju kalau kantong plastik berbayar, miss,” sanggah Mentari, “kalau kita bayar kan, mahal, biasanya kita butuh banyak plastik kalau belanja. Misalnya, 5 plastik dikali Rp 200, sudah Rp 1000.”
“Kita kan bisa bawa tempat belanjaan dari rumah,” tegas Langit. “Kalau bawa plastik dari rumah kan ribet, masa kita bawa 5 tempat untuk tempat belanjaan. Itu ribet!” balas Mentari. “Malas banget, sih!” Langit berkata dengan kesalnya.
“Sudah, sudah. Tidak usah bertengkar. Setiap orang boleh memberikan pendapat. Nah, kira-kira kantong plastik bisa diganti apa?”
“Kertas, miss!” Kemilau berpendapat. “Kertas kan dari pohon, pohon habis ditebang, gundul, bisa merusak sumber daya alam juga,” tukas Langit.
“Tapi miss, kertas kan bisa didaur ulang,” ujar Kemilau, “kertas bekas kan bisa dibuat bubur kertas dan dicetak lagi. Di luar negeri, mereka memakai kertas sebagai tempat belanjaan, miss. Itu bisa mengurangi limbah plastik.”
“Miss, aku pernah lihat di internet cara membuat kantong dari baju bekas. Itu bisa dipakai sebagai tempat belanjaan,” tiba-tiba Nirwana menyahut.
“Wah, ide kalian bagus sekali! Nah, bagi yang setuju, bagaimana dengan perusahaan yang membuat kantong plastik? Kalau orang tidak menggunakan plastik, perusahaan itu bisa bangkrut dan pekerjanya jadi pengangguran.”
“Pengangguran itu apa, miss?” tanya Raksa. “Pengangguran itu orang yang tidak memiliki pekerjaan, nak.”
“Oh, gitu, bu. Perusahaan itu tidak membuat plastik lagi miss, tapi kantong kertas dari kertas bekas. Pekerjanya kan tidak jadi pengangguran,” Raksa menambahkan.
“Miss, hanya minimarket dan supermarket saja yang bayar plastik? Mamaku pernah belanja ke pasar, plastiknya banyak juga,” tiba-tiba Galuh bertanya.
“Untuk saat ini, pemerintah kita hanya menyarankan minimarket dan supermarket saja. Mungkin nanti, orang yang belanja di pasar akan bayar plastik juga,” aku menjelaskan.
Tiba-tiba Langit bertanya lagi, “Miss, memangnya uang yang Rp 200 itu untuk siapa? Pemerintah?”
“Uang hasil penjualan kantong plastik akan dikelola oleh pengusaha minimarket dan supermarket serta pemerintah untuk mencegah kerusakan sumber daya alam, nak.”
“Tapi, mereka bisa korupsi loh miss!” celetuk Langit.
“Kita berdoa saja supaya pemerintah dan pengusaha dapat menggunakannya dengan bijak,” tutupku.
*Catatan: nama anak bukan nama sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H