“Pak, aku mau tanam bunga anggrek ya! Aku dapat batangnya dari tetangga.” Aku berceloteh kepada ayahku sambil memegang bibit bunga anggrek. Kami berdua memang sering membersihkan pekarangan, termasuk menghias rumah dengan menanam beberapa jenis bunga.
“Tapi, pak, aku butuh tanggiang (sejenis batang pakis) yang kering sebagai media tanam. Kita tidak usah pakai pot. Pakai tanahnya juga sedikit saja ditambah arang,” tambahku lagi.
Ayahku hanya melotot melihat anggrekku dan beliau tampaknya berpikir untuk memenuhi permintaanku.
“Emm, cari tanggiang di mana ya?” gumamnya sambil menyalakan mesin motor.
Aku tidak berharap banyak pada ayahku untuk menemukan batang tanggiang itu. Maka aku berpikir cara kedua, yaitu menggunakan pot dan mengisinya dengan arang dan tanah. Aku berpikir sambil membersihkan lokasi anggrek itu akan ditanam.
Lagi asyik mencabut rumbut, tiba-tiba ayahku datang. Beliau membawa satu batang tanggiang yang belum dipotong. Aku tercengang sekaligus senang.
“Ini ada satu batang, tapi belum dipotong. Tunggu, aku cari gergaji dulu,” ujar ayahku.
Hari itu kami lalui dengan menanam beberapa batang anggrek dan juga tanaman lain. Aku sangat senang juga karena ayahku selalu memperhatikan apa yang kami butuhkan termasuk hal seperti ini.
Beberapa waktu berlalu, aku rutin menanyakan kabar anggrekku itu. Tapi, kata ayahku masih seperti biasa, belum tumbuh tunas baru. Aku pasrah, mungkin aku belum bisa menanam anggrek. Kata orang, menanam anggrek butuh kemampuan khusus. Dan, aku rasa aku tak memilikinya.
Sewaktu abangku menikah tahun 2012, kami harus memindahkan pot-pot bunga untuk dijadikan area berpesta. Aku juga harus memindahkan anggrekku dan ayahku itu. Aku perhatikan, ayahku tampak memberi pupuk di batangnya. Tapi belum bertunas banyak.