Setelah itu, aku sibuk mengerjakan tugas akhir. Aku tak pernah menanyakan anggrek itu lagi.
Sampai aku dapat kabar ayahku sudah tiada. Aku tak memikirkan apa pun, apalagi anggrek itu.
Setelah ayahku dimakamkan, aku mengutak-atik telepon gengamnya. Aku melihat foto anggrek macan yang sangat cantik. Aku bertanya pada adikku yang paling kecil. Dia bilang, itu anggrek yang kami tanam. Aku tak percaya.
Aku langsung lari keluar mencari anggrek itu dan benar. Anggreknya sedang berbunga, motifnya belang-belang seperti kulit macan. Karena motif itu mungkin orang menyebut anggrek macan.
Aku menangis, aku tak menyangka ayahku akan melihat anggrek itu akan berbunga indah. Sayangnya, angrekku sempat melihat ayahku sebelum pergi untuk selamanya, sementara aku menemukannya sudah terbujur kaku karena perjalananku yang cukup jauh untuk mencapai rumah.
Esok paginya, aku membawa si anggrek macan ke makam ayahku. Keluargaku setuju si anggrek ditanam dekat kuburan ayahku.
Aku merenung, sungguh indah bila kita menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kita kasihi meskipun menanam anggrek macan bersama. Namun, kesempatan itu sering ditiadakan karena banyak alasan. Hei! Aku bilang, berikan waktu untuk kekasih-kekasihmu sebelum yang Punya waktu mengambilnya.
Hari ini ulang tahunnya yang ke 56 seandinya beliau masih bernafas. Aku menulis cerita ini untuk mengenang kisah indah kami.
Meski tubuhnya tak lagi ku rasa, jiwanya tetap di dada.
--selesai--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H