Lalu, Nael bertanya pada salah seorang anak, “selain beli makan, uang hasil ngamennya untuk apa, dik?”
Ridwan menjawab, “untuk main Facebook kak!”
“Main Facebooknya di mana, dik?” tambah bang Jury.
“Di warnet (warung internet) kak!”
Kami tercengang, mereka seharian mengamen untuk bisa membuka Facebook?Hatiku sangat miris mendengarnya, anak-anak sekecil itu mencari uang hanya untuk bermain Facebook? Ada yang salah di sini. Di satu sisi, kita tidak bisa menghambat kemajuan teknologi komunikasi media sosial seperti Faceboook. Di sisi lain, anak-anak ini lebih butuh makanan, pakaian, rumah, pendidikan dari pada bermain Facebook. Tapi, mungkin, pola pikir mereka masih seperti itu. Dan, mereka mungkin tak mau ketinggalan zaman sehingga mereka melakukan apa pun untuk mengikutinya.
Kecengangan kami pun pecah. Tiba-tiba, seorang anak kecil berumur sekitar tujuh tahun datang dengan penuh luka di sekujur tubuhnya. Kami pun bertanya, tetapi anak itu tidak menjawab. Kami meminta Ujang untuk menanyakan apa yang terjadi dengan anak kecil malang itu.
“Kak, katanya, dia habis dipukuli bapak tirinya. Mama dan Papanya sudah bercerai, jadi mamanya menikah lagi. Bapak tirinya sering kali memukul anak ini. Kadang, dia juga tidak diperbolehkan masuk ke rumah. Makanya dia sering datang ke sini,” jelas Ujang.
Dalam hati aku marah kembali, kenapa mau bikin anak kalau tak mau mengurusnya? Tidak usah menikah kalau belum siap menghadapinya. Tapi, begitulah kondisi orang tua zaman sekarang, tanggung jawab untuk mendidik anak kurang. Jangankan mendidik, mengasihi anak kandung sendiri juga masih banyak yang kurang peduli.
Hmmm….
Anak malang tadi langsung pergi bermain bola kaki dengan temannya, Bang Jury dan Nael juga ikut bermain bola bersama beberapa anak sementara aku memilih untuk mengobrol bersama Ujang dan Ridwan.
“Jang, asalmu dari mana?” tanyaku.
“Aku berasal dari sini kak, tapi orang tuaku cerai dan mamaku menikah lagi. Aku menjadi buruh bangunan untuk menghidupi adik-adikku karena papa baruku tak mau mengurusnya. Sekarang mereka sudah bisa cari makan sendiri. Aku juga berhenti jadi kuli bangunan. Aku mengamen karena lebih enak.”
“Kenapa mengamen lebih enak?” tambahku.
“Karena ga terlalu capek kak. Uangnya juga langsung ditangan, tidak perlu menunggu. Pak Ustad pernah mengajari aku kak. Beliau menyuruhku belajar bengkel. Tapi, aku kabur kak, lebih enak ngamen.”
“Ridwan gimana?” tanyaku lagi.
“Kalau aku emang dari kecil sudah mengamen di sini kak. Mamaku tidak pernah kasih uang jajan makanya aku mengamen supaya ada uang.”
“Kamu sekolah ga?”
“Dulu kak, sekarang tidak. Dulu, pak Ustad pernah membawaku ke Jakarta untuk dilatih dan disekolahkan lagi. Tapi, aku tidak mau kak. Di sana banyak aturan. Lebih enak ngamen kak, bebas, tidak ada yang mengatur.”
Di sini aku melihat salah satu sifat orang Indonesia, yaitu malas. Orang Indonesia cenderung ingin yang cepat atau “instant” saja. Padahal kalau berusaha lebih, mungkin saja dia berhasil dan mendapat kehidupan yang lebih layak. Pikiranku berkecamuk.
“Kak, kakak tau pilem ‘Negeri Lima Menara’ ga?” tanya Ujang.
“Tau,” jawabku. “Aku punya bukunya, tapi aku belum menonton pilemnya,” tambahku lagi.
“Aku mau bukunya dong kak. Ridwan dan beberapa teman lainnya sudah diajak Pak Ustad untuk menonton. Aku belum,” ucap Ujang.
“Oh, iya, nanti aku kasih ya,” kataku.
Ujang juga bercerita kalau ada sukarelawan yang mengajar mereka selain Pak Ustad. Ada mahasiswa dari universitas maupun anak-anak muda dari organisasi tertentu. Terkadang mereka membawa makanan juga bagi teman-teman baruku ini.
“Kak, aku suka nulis puisi loh,” kata Ujang sumringah.
“Oh ya? Aku boleh lihat?”
“Boleh kak”
Aku membaca beberapa puisinya. Menurutku puisinya cukup bagus. Isinya tentang kritik terhadap pemerintah yang kurang memperhatikan masyarakat miskin seperti mereka. Aku memoto beberapa pusinya dengan telepon gengamku. Aku berjanji suatu saat akan ku muat di-blog ku. Tapi, sampai saat ini belum ku lakukan karena file fotonya tidak bisa ku temukan.
Hari semakin sore. Bang Jury, Nael dan aku pamit untuk pulang. Kami cukup senang bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Dan, bagiku ini pengalaman yang berharga. Diiringi bau sampah yang sangat menyeruak, kami pun mencari angkot pulang.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah yang berlangsung kurang dari sentengah hari ini. Pertama, sebagai anak muda, gunakan waktumu secara bijaksana. Misalnya, mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Kalau dilihat, saat ini, banyak anak-anak muda yang hanya pamer makanan, jalan-jalan atau pun membeli sesuatu yang baru, atau pun mencurahkan isi perasaan yang gundah-gulana di media sosial mereka. Banyak waktu yang mereka habiskan untuk mengutak-atik gadget saja. Alangkah baiknya jika waktu yang tersisa ini digunakan untuk mengenal banyak orang, berbagi kasih dengan orang-orang yang ditemui setiap hari.
Kedua, jika belum siap untuk berumah tangga jangan mulai dulu. Karena urusan rumah tangga bukan hanya kamu dan suami/istri-mu, tetapi juga anak-anakmu nantinya. Jika punya anak juga harus bertanggung jawab mengasihi, membimbing dan mendidiknya dengan baik. Kalau tidak, ya bisa jadi mereka juga akan mencari kenyamanan sendiri di jalanan. Berdasarkan kisah ini, menurutku, masalah utama yang dihadapi anak-anak jalanan adalah kurangnya kasih sayang atau perhatian dari orang tua mereka. Ya, jika ingin menjadi orang tua, persiapkan lah sebagimana layaknya orang tua yang baik.