Aku bangun sekitar jam delapan pagi. Badanku terasa kaku. Otak bagian belakangku sakit. Sarafku juga tegang seperti tidak pernah berolahraga. Aku berniat membatalkan janji berbagi kasih dengan anak-anak jalanan, tapi tak ku lakukan.
Pukul 11.30 aku baru bergegas ke tempat yang sudah dijanjikan, Balubur. Acara berbagi kasih kali ini adalah bagian dari acara Persekutuan Mahasiswa Kristen Open House atau biasa disebut PMK OH. Kami berkumpul dan membagi-bagi makanan yang akan didistribusikan kepada mereka yang kekurangan makanan di sekitar jalan Dago, Bandung.
Acara ini bertema “Feed the Hunger” atau dalam bahasa Indonesia “Memberi makan orang yang kelaparan”. Dengan jumlah orang yang cukup banyak, sekitar 20 orang, kami membuat kelompok. Kumpulan orang-orang ini terdiri dari 3-5 kepala.
Aku sekelompok dengan dua orang temanku laki-laki, Bang Jury dan Nael. Karena kami dua kelompok terakhir yang berangkat, tempat-tempat anak jalanan dan peminta-minta disekitar kolong jembatan CIkapayang sudah penuh atau diisi oleh kelompok lain yang sudah berangkat duluan.
Alhasil, kami berjalan cukup jauh arah jalan Cihampelas. Kami bahkan sampai bertanya kepada warga sekitar kolong jembatan Cikapayang karena kami asing dengan jalan itu. Syukurlah, kami berhasil menemukannya.
Tempatnya cukup luas, tepat di bawah kolong jembatan Cikapayang dekat jalan Cihampelas. Jujur, untuk pertama kalinya aku mengunjungi kolong jembatan. Kami pun ragu harus membagi makanan dengan siapa karena jumlah orang di daerah itu cukup banyak. Kalau kami panggil semua, kami takut makanannya tidak cukup. Hanya ada 17 nasi bungkus.
Akhirnya, Bang Jury bertanya kepada salah seorang anak jalanan yang hendak bersiap ke jalan untuk mengamen.
“Dek, udah makan siang belum?”
“Udah kak, tapi teman saya belum.”
Lalu, anak itu, yang pada akhirnya kami ketahui bernama Ridwan, mengenalkan kami dengan dua orang ibu-ibu.
Kedua ibu ini boleh dibilang pengasuh anak-anak jalanan di sekitar kolong jembatan.
“Mau apa dek?” ujar seorang ibu yang berumur kira-kira 50 tahun. Beliau berperawakan kecil, kulitnya hitam, wajahnya penuh riasan lengkap dan rambutnya rapi, digulung bak sanggul.
“Mau berbagi makanan, bu” jawab Bang Jury.
“Oh, iya-iya” ujar si ibu satu lagi.
Ibu ini memanggil Ridwan untuk memanggil teman-teman anak jalanan lainnya, terutama yang belum makan. Dan, beliau mengajak kami ke ‘balai’ mereka. Balainya terbuat dari kayu, berukuran sekitar 3 x 3 meter. Ada dua balai, balai yang lebih kecil kira-kira berukuran 3 x 2 meter.
Ibu itu menyilakan kami duduk, sambil mengibas-ngibas debu yang menempel di atas balai itu.
“Maaf ya dek, beginilah tempat anak jalanan, berantakan.”
“Oh, tidak apa-apa, bu,” ujar kami bertiga serempak sembari tersenyum.
Lalu, kami duduk di tepi balai. Kami mulai bercengkerama dan mengutarakan niat kami untuk berbagi makanan saat itu. Mereka menyambut gembira. Satu persatu anak-anak jalanan itu pun duduk bersila.
“Eh, Ridwan, panggil anak-anak lain yang belum makan ya!” si ibu cantik menyuruh bocah berbaju hitam itu.
Ada sekitar dua puluh anak di sana, ada Ridwan, Ujang, selebihnya aku tak ingat namanya
Nasi bungkusnya tak cukup, tapi beberapa anak mengaku sudah makan. Akhirnya, kami pun makan bersama sambil bercerita-cerita. Sebelum makan kami berdoa bersama dengan cara kami masing-masing. Mereka membuka tangan saat berdoa sementara kami menutup tangan.
Ujang yang paling banyak berbicara. Dia mengaku sangat senang dengan kunjungan kami kali itu. Dia juga bercerita tentang kondisi anak-anak jalanan di bawah kolong jembatan Cikapayang.
“Kak, anak-anak di sini diasuh sama Pak Ustad. Si bapak yang sering membimbing kami. Terkadang si bapak juga bawain kami makanan.”
“Oh ya?” aku tertarik dengan ceritanya.
“Terus, kalau Pak Ustad tidak membawa makanan, kalian makan dari mana?” tanya Bang Jury, Nael hanya menyimak sambil tersenyum.
“Kadang-kadang ada orang yang mengantar makanan kak. Tapi kalau gak, kami beli makanan pakai uang hasil ngamen,” tambahnya.