Mohon tunggu...
Bryan Eduardus
Bryan Eduardus Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Warga Negara yang Bersuara Lewat Kata-Kata! | https://telemisi.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pengalaman Ikut Blusukan bersama (Calon) Anggota Legislatif

6 September 2019   11:12 Diperbarui: 7 September 2019   10:32 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2019, adalah tahun yang tidak dapat terlepas dari kancah perpolitikan. Dari pemilihan presiden hingga legislatif, semua digelar secara serentak.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan bahas calon presiden mana yang saya dukung, entah saya cebong atau kampret. Itu sudah tidak penting! Pokoknya, saya Indonesia!

Hari ini, saya akan bahas mengenai salah satu cocok caleg yang sekarang bukan caleg lagi! Bingung? Caleg itu kan calon legislatif, kalau udah kepilih, bukan caleg lagi dong! Sudah jadi Aleg (anggota legistlatif). Ayo jujur, siapa yang baru pertama kali denger istilah aleg ini?

Sebelum pembahasan lebih lanjut, saya cuma pengen tegaskan kalau saya bukan anggota partai mana pun. Saya juga tidak di-endorse. Namun, saya kenal sosok anggota legislatif satu ini lewat media sosial.

Apa yang saya ceritakan disini bukan hanya pertemuan lewat media sosial, saya pernah sekali bertemu secara pribadi pada masa kampanye. Saya ikut blusukan, menemui konstituen secara langsung. Jadi, siapa sosok yang saya maksud?

Namanya adalah Eneng Malianasari, ia akrab disapa Milli. Ia adalah anggota legislatif terpilih, tingkat DPRD DKI Jakarta dapil 10. Fotonya, di atas tadi, sebelah kanan. Kalau yang kiri, Chris Evans! Tanggal lahir: tanya sendiri!

Au ah, lama-lama kayak staf dukcapil saya!

Jadi, awalnya saya kenal 'kakak caleg' karena iseng-iseng browsing di Twitter dan nemu. Awalnya saya baru sekadar tahu, belum menetapkan hati untuk memilih, syadap! 

Sampai suatu hari, dia mengumumkan (lagi-lagi) di Twitter apakah ada yang ingin ikut blusukan. Kebetulan keesokan harinya saya available, saya menawarkan diri, dan akhirnya diizinkan. Pengen ikut karena lumayan kan, bakalan dapet pengalaman baru! Kita janjian di Pasar Kopro.

Singkat cerita, keesokan harinya kita ketemuan. Saya ditugaskan untuk mengangkut tas sandang yang isinya mungkin ada ratusan kaos! Tadi kayak staf dukcapil, sekarang kayak kuli panggul!

Oke, lanjut.

Saya diberikan kaos partai, karena saya gak di-endorse saya gak akan sebut partai apa. Inisial aja, depannya P, belakangnya I, tengahnya S.

Saya pakai, dan akhirnya kita mulai blusukan. Kita menjelajah gang demi gang, dari belakang Kopro. Sebelum mulai, saya sudah "dibriefing" bahwa warga yang ditemui akan memberikan respons yang beragam.

Ada yang welcome banget, ada yang dingin, ada yang menolak keras! Iya, baru 1 jam saja, saya sudah mendapat ketiga respons tersebut!

Yang welcome, bisa langsung tertawa, nyaman untuk bertanya apa keluh-kesah mereka, dan dijawab. Kelompok kedua, dingin.

"Saya dari PSI. Bapak tahu PSI?" "Yang bola-bola itu ya!" "Bukan, pak! Itu lho, yang UDAH! UDAH!" "Oo, tahu-tahu!" Tapi habis itu, tetap tidak menunjukkan ketertarikan. Terakhir, yang menolak!

Ada tuh pimpinan ranting salah satu partai, yang mengusir kita secara lumayan kasar. Kalender yang kita bagikan ke ibu-ibu yang berkumpul, dirampas dan dikembalikan kepada kita.

"Kami di sini sudah memiliki pilihan", begitu ucap sang pimpinan ranting. Tetapi, setiap jenis kalangan harus kita hadapi dengan kepala dingin, dan senyum pastinya!

Hari itu, kita blusukan ke dua titik. Satu lagi, daerah Kembangan. Jumlah konstituen yang kita temui hari itu, kurang lebih mencapai 200 orang. Jujur, ada beberapa hal mengejutkan dan menarik yang saya dapat sepanjang pengalaman ikut blusukan hari itu.

Pertama, dan paling terutama, yang perlu kalian tahu, BLUSUKAN ITU CAPEK! CAPEK BANGET! Pulang blusukan, saya tidur.. DUA MINGGU BARU BANGUN! Ya enggak sebegitunya juga sih.. tetapi emang beneran capek banget!

Saya jadi membayangkan gimana rasanya kalau itu dilakukan setiap hari, selama beberapa bulan! Gak heran, kak Eneng beda banget dibanding yang difoto poster! Bukan sekali warga yang ditemui komen, "Ini, kamu? Kok beda?"

Jawabannya selalu sama, "Karena blusukan, nih! Makanya buat kalian yang pengen nurunin berat badan tanpa treadmill, diet ketat, nyalonin jadi caleg aja 5 tahun lagi! Kalaupun gak kurus karena blusukan, mungkin bisa kurus karena banyak pikiran! Ya, gak? Bener, gak?

Kedua, media sosial sama sekali tidak menggambarkan kenyataan yang terjadi di dunia nyata, padahal masih lingkungan Jakarta! Di media sosial, siapa yang tidak tahu PSI? Entah cinta atau benci, PSI dikenal!

Saat blusukan, saya baru tahu bahwa PSI belum dikenal! Saya tidak tahu, mas-mas yang bertanya apakah PSI adalah yang 'bola-bola' itu bercanda atau serius, tetapi bukan hanya dia yang tidak tahu! Dari 10 orang, mungkin 5 diantaranya tidak tahu!

Justru yang tahu, kebanyakan tahunya soal iklan yang 'nyeleneh' dengan tagline 'UDAH! UDAH!' itu. Itu yang justru cukup melekat di grassroot, dan bahkan yang digunakan oleh caleg untuk memulai perkenalan mengenai partai tempat ia bernaung.

Saya tidak tahu apakah ini sudah direncanakan oleh petinggi PSI, namun ini harus diakui sebuah strategi brilian!

Ketiga, bisa dibilang sangat sedikit calon wakil rakyat yang benar-benar turun menemui konstituen.

Dari konstituen yang kami datangi, mereka menyatakan baru sekali atau dua kali didatangi oleh calon anggota dewan, baik DPR maupun DPRD. Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan jumlah calon keseluruhan, bukan?

Hal keempat, warga belum mendapatkan sosialisasi cukup mengenai pemilihan apalagi untuk ukuran pemilihan umum serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD, serta DPD. Kami datang sekaligus membawa dummy kertas suara.

Warga nampak terkejut melihat kertas yang sebegitu besarnya! Beberapa nyeletuk, "gede banget, kayak koran langganan saya!"

Terakhir, money politics is not just a story! Itu benar-benar terjadi. Bukan sekali atau dua kali, berkali-kali warga yang kami temui nyeletuk, "Oh kalender.. kirain amplop!", "Wah kaosnya bagus nih, ada pemberian lain gak?", "Kita mah tergantung yang mana yang ngasih lebih banyak!"

Politik transaksional sudah mendarah daging, hingga di grassroot!

Saya tidak menyalahkan masyarakat, bila pola pikir semacam itu tumbuh di kalangan mereka. Saya jelas menyalahkan mereka yang melakukan dan membiasakan warga dengan hal tersebut! Mereka adalah para anggota dewan 'tak terhormat' yang 'membeli' suara rakyat!

Sadari! Jika, seseorang memulai sesuatu dengan cara yang salah, kelanjutannya tidak mungkin benar! Baju bisa salah kancing, HANYA KARENA satu kancing miring, awalnya! Salah satu kancing, belum membuat baju seseorang miring, tapi kalau itu tidak diperbaiki dengan segera dan didiamkan, PASTI HANCUR!

Kalau sejak awal saja sudah 'melegalkan' cara yang salah, tentu akan bekerja dengan cara dan motivasi yang salah pula selanjutnya. Bila ini terus menerus terjadi, apa hal baik yang dapat kita harapkan?

Jadi, begitulah pengalaman dan banyak pelajaran yang saya peroleh dari kesempatan blusukan PERTAMA seumur hidup saya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun