PAPARAN PENULIS
Pengantar Artikel
Mobilitas sosial adalah salah satu konsep penting yang ada pada sosiologi. Mobilitas secara etimologis berasal dari bahasa Latin “Mobilis” yang berarti dapat berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain (Kamilatunnisa, 2018). Mobilitas sosial juga dapat diartikan sebagai peningkatan atau penurunan status sosial dan pendapatan individu atau kelompok (Setyowati, 2020). Mobilitas sosial disebabkan oleh faktor pendorong dan juga faktor penghambatnya. Faktor pendorong mobilitas sosial antara lain status sosial, kondisi sosial, pendidikan, pembagian kerja, kondisi ekonomi, pernikahan, keinginan untuk melihat daerah lain, situasi politik, pertumbuhan, dan lain-lain. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu adanya sistem masyarakat yang tertutup, diskriminasi sosial, pendidikan yang rendah serta kemiskinan (Syarbaini, 2009).
Pendidikan menjadi hal yang penting bagi setiap orang karena melalui pendidikan seseorang dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas diri seseorang sehingga menciptakan sumber daya manusia yang unggul. Sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang berbunyi bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar dimana pemerintah wajib membiayainya tanpa terkecuali”. Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata baik, terutama dalam aspek pemerataan pendidikan di wilayah pinggiran kota besar. Sistem pendidikan yang selama ini berlangsung di Indonesia masih kurang memberikan dampak dan perubahan yang signifikan terhadap pola perubahan mobilitas sosial masyarakat terutama di wilayah pinggiran kota besar.
Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempercepat tingkat mobilitas sosial di tengah masyarakat, karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka mobilitas sosial cenderung akan mengalami kenaikan (upward social mobility) (Wulandari, 2019). Jika pendidikan di wilayah pinggiran kota besar terbilang rendah, maka mobilitas sosial yang terjadi di wilayah tersebut juga rendah. Hal ini diakibatkan wilayah tersebut tidak merasakan sistem pendidikan yang seharusnya dan tidak mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik. Sampai saat ini masih terdapat ketimpangan antara sekolah yang unggul atau favorit dengan sekolah yang tidak favorit, sehingga masih terdapat sekolah yang siswanya memiliki prestasi akademik yang tinggi dan sebaliknya terdapat sekolah yang memiliki siswa dengan tingkat prestasi akademik yang rendah (Sausan, 2021).
Pada tahun 2017 Kemendikbud telah mengeluarkan kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan peserta didik baru baik bagi Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sistem zonasi ini dianggap menjadi sebuah strategi untuk percepatan pemerataan pendidikan dengan mewujudkan tersedianya layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di setiap daerah (Mahadi, 2022). Namun, nyatanya sistem zonasi ini tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Sejumlah warga di Kota di Banyumas mengeluhkan sistem zonasi karena tidak seluruh kecamatan di Banyumas memiliki sekolah negeri terutama SMA.
Begitu juga yang terjadi di kota Purwokerto bahwa terdapat empat sekolah negeri yang justru terkumpul di satu Kecamatan yaitu Kecamatan Purwokerto Timur, yaitu SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 4 dan SMA Negeri 5 (Dharmawan, 2019). Selain itu, untuk dalam peningkatan kualitas pendidikan belum dirasakan oleh sekolah yang berada di kawasan pinggiran dan bahkan terdapat kesenjangan fasilitas pendidikan. Masalah ini terjadi di sekolah yang berada di daerah pinggir Kabupaten Sidoarjo yaitu SMPN 2 Jabon, bahkan pembangunannya terhenti karena keterbatasan dana. Kepala sekolah SMPN 2 Jabon mengatakan bahwa zonasi berdampak pada pembangunan fasilitas sekolah karena justru pemerintah mengabaikan pembangunan sarana fasilitas pendidikan di sekolah pinggiran (Sidoarjo Terkini, 2021).
Melihat uraian di atas dapat diketahui bahwa belum meratanya pendidikan yang di daerah pinggiran kota. Tentu hal ini mempengaruhi rendahnya mobilitas sosial di Indonesia karena dapat berpengaruh pada proses perpindahan individu dari posisi rendah ke posisi yang lebih tinggi ataupun sebaliknya. Dalam hal ini mobilitas sosial berdampak untuk mempercepat tingkat perubahan sosial yang baik apabila diikuti dengan sumber daya manusia yang berkualitas.
Saat ini telah terdapat kemajuan pembangunan di Indonesia khususnya dalam meningkatkan mutu pemerataan pendidikan di daerah pinggiran kota, seperti dengan membangun sekolah yang belum terdapat di beberapa kecamatan. Dinas Pendidikan Kalimantan Selatan berniat untuk membangun Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah pinggiran (Helmi, 2022).
Selain itu, Kemendikbud juga terus meningkatkan layanan pendidikan di daerah pinggiran. Kemendikbud memperkuat pembangunan sarana dan prasarana pendidikan menengah seperti pembangunan Unit Sekolah Baru (USB), Ruang Kelas Baru (RKB), rehabilitasi ruang kelas dan peralatan pengajaran (Wicaksono, 2020). Pemerintah juga turut menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp608,3 triliun pada Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2023.
Anggaran ini digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yaitu dengan meningkatkan akses pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan, peningkatan kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan terutama di daerah terluar, tertinggal dan terdepan (3T) (Yanuar, 2022).