Dalam dunia sepak bola suporter merupakan pemain ke 12 dari sebuah tim kesebelasan.Â
Suporter berangkat dari budaya kolektif yang dimana menurut Samovar, Porter, McDaniel, & dkk, (2017) budaya kolektif ini memerlukan ketergantungan emosi yang lebih besar dibanding dengan masyarakat individualisme.Â
Ketergantungan emosi antar suporter di dalam stadion atau pun diluar stadion menunjukkan adanya ketergantungan emosi yang besar ketimbang mereka yang individualisme.Â
Banyak kegiatan suporter sepak bola yang tidak hanya mendukung tim kebanggaan saat bertanding di lapangan hijau, melainkan seperti memasang bendera di sekitaran daerah stadion atau pun daerah teritorial tim kebanggaan yang didukung dan membuat mural tentang tim yang mereka dukung secara kolektif.Â
Para suporter di Indonesia pun juga mengadakan acara musik yang mengundang band lokal daerah maupun band Indonesia guna merayakan ulang tahun komunitasnya secara kolektif.
Budaya kolektivis lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu (Samovar, Porter, McDaniel, & dkk, 2017).Â
Hal ini sejalan dengan apa yang diyakini suporter di Indonesia, dimana tiada yang lebih besar dari nama tim kebanggaan yang mereka dukung.Â
Artinya kepentingan  yang dirasa suporter tersebut penting guna kemajuan dan kesuksesan tim, pastinya mereka akan mendukung.Â
Lalu jika ada yang dirasa kurang benar dalam manajemen tim maka para suporter akan berunjuk rasa atau bahkan memboikot manajemen karena dinilai tidak becus mengurus manajemen tim sepak bola yang mereka cintai.Â
Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (dalam Samovar, 2017, hlm. 218) Future orientation merupakan nilai budaya yang berorientasi pada masa depan, orang yang menganut kebudayaan ini biasanya menghargai apa yang akan datang dan masa depan diharapkan lebih baik dari masa kini maupun masa lalu.Â