Wahai yang berada di masa lalu. Ijinkan sedikit kuberitakan padamu. Bahwa yang kudengar semoga benar. Diatas tanah airmu kabar tersiar.
Hari ini orang sebangsamu berserikat. Pagi benar mereka berangkat. Sepanjang jalan hati mereka menengadah. Minta sedikit kenaikan upah.
Mereka pekerja keras maka keringat benar diperas. Mau apalagi, anak istri masih butuh beras. Mungkin mereka berteriak di jalanan. Teriakan yang dapat rugikan perusahaan.
Meski tak ada jaminan bahwa tuntutan dikabulkan. Dan nyata semakin enak hidup majikan. Ditinggal tidur siang pun esok mereka juga akan kembali kerja. Karena bohong jika lapar dapat ditunda.
Maka aku baru mengerti pentingnya gagasan berdikari yang kau gaung-gaungkan. Berdiri di kaki sendiri bukan.
Ide bahwa manusia harus mandiri. Pada siapa dan apapun tak lagi dalam posisi mengabdi.
Gagasan itu sama pentingnya di hari ini. Saat orang mulai lupa kemampuannya sendiri. Aku harap gagasanmu itu hidup kembali. Agar perburuhan lenyap dari muka bumi.
Tapi adakah sekarang di negerimu ini yang bukan buruh. Bukan penggadai tetes peluh. Sekarang, semua orang punya majikan. Sang uang, tebusan kebebasan.
Masalahnya, uang tidak punya telinga untuk mendengar teriakan. Dan tak punya mata untuk membaca tulisan.
Hari ini seolah berkata padaku. Uang acuh tak acuh pada nasib manusia. Tulisan jangan.
Jakarta, 22.00
1 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H