4. Di arena lingkungan yang lebih sempit sekalipun, terjadi serangan balik dari kelompok-kelompok yang didukung kekuatan perdagangan, hingga meng akibatkan semakin lemahnya hubungan kemitraan multilateral (misalnya, pada saat sekelompok kecil negara hampir berhasil membatalkan Protokol Kelestarian Hayati, secara tiba-tiba Amerika Serikat menolak Protokol Kyoto).
Pendek kata, pada tahun-tahun setelah Konferensi Rio, perihal lingkungan telah terhapus dari agenda nasional maupun global, sementara "pembangunan" sebagai suatu prinsip dan agenda pokok juga melenyap dengan cepat, baik dalam agenda negara-negara Utara maupun dalam agenda internasional.
Dalam perjalanannya, proses globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin menenggelamkan agenda pembangunan berkelanjutan. Perdagangan dan kebutuhan untuk tetap menjadi kompetitif dalam pasar dunia, serta kebutuhan untuk dapat memenuhi permintaan perusahaan-perusahaan dan negara kaya, telah menjadi prioritas utama pemerintah negara negara Utara dan sejumlah negara-negara Selatan. Sejalan dengan itu, kemitraan dalam hal kepedulian terhadap lingkungan dan pembangunan menjadi kian merosot saja.Â
Kelemahan yang paling menyolok dari Kon ferensi Rio adalah kegagalan untuk memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan dan TNCs (Transnational Corporations) dalam Agenda 21 dan dalam berbagai keputusan lainnya. Institusi-institusi tersebut bertanggung-jawab atas timbulnya polusi dan pengurasan sumberdaya di seluruh dunia, serta mempunyai andil yang besar pada munculnya pola-pola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif. UNCED dan CSD (Commission on Sustainable Development; Komisi Pembangunan Berkelanjutan), serta sistem PBB secara keseluruhan berikut pemerintah-pemerintah secara bersama-sama telah gagal menciptakan mekanisme internasional guna memantau dan mengatur MNCs (Multinational Corporations). Yang malah terjadi, ke kuatan dan jangkauan MNCs telah semakin menyebar, dan hal tersebut telah dipermudah oleh implementasi peraturan-peraturan WTO.
 Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, namun muncul juga tanda-tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian besar masyarakat, yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro-pemba ngunan berkelanjutan dalam pemerintah di negara negara sedang berkembang (NSB), mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggung-jawabnya untuk mencoba meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini, termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO. The World Summit on Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan suatu kesempatan yang bagus untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma.
Sumber:
Marthin Khor (Ed.). 2002. Globalisation and The Crisis of Sustainable Development Third World Network (TWN); Penang: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas (CPRC) J1n Pangkur No.19 Ganjuran-Manukan Rt 02/RwoJ, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281- INDONESIA..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H