Semula banyak yang iri ketika pemerintah berikan perhatian khusus bagi pengemudi Online menyusul merebaknya Cobid-19 awal tahun 2020 lalu. Melalui Program Relaksasi yang diluncurkan Presiden Jokowidodo, para pengemudi Online tidak diwajibkan bayar cicilan, baik motor dan mobilnya. Kebijakan ini, sebetulnya masuk ke dalam rekstrukturisasi kreditur di bawah Rp10 miliar.
Tak hanya itu, mereka (baca: sopir online) diberi semacam proyek berupa pendistribusian bantuan Sembako ke masyarakat. Belakangan beberapa penggiat kemanusiaan, seperti yang dimotori dr Tirta, kerap mengajak warga mampu untuk memberikan tips lebih atau pesan makan untuk dibawa pulang pengemudi online.
Tak hanya di situ, aplikator karya anak bangsa, seperti Gocar, yang awalnya mengharamkan meminta uang tips, saat pandemi, justru sebaliknya. Melalui spanduk yang terpampang di sudut kota kota besar malah menghimbau dan mengajak untuk menyisihkan uang tips buat mitranya .
Sangat beralasan bila di kemudian hari keberadaan Ojek online, Ojol di masa awal pandemi dibuat iri masyarakat lainnya.
Lalu mengapa sekarang mereka kembali berulah. Bahkan, pekan lalu secara nasional, serempak mereka demo, off bid, atau mematikan aplikasinya untuk tidak menerima orderan? Apakah mereka tidak puas, rakus, atau program Jokowi yang semula undang decak kagum tapi tak sampai ke mereka.
Melalui tulisan ini kita mencoba memahami akar masalah yang dihadapi ribuan mitra pengemudi Ojol yang semula digadang gadang sebagai terobosan bisnis baru sektor transportasi di tanah air ini.
Semula, di saat awal kemunculannya, menjadi sopir Online merupakan sebuah pilihan. Pendapatan mereka jauh melebihi gaji ASN dan atau pegawai setara staf bank. Fenomena ini menjadikan mereka berbondong-bondong hijrah profesi. Mereka yang tidak mau terikat waktu kerja kantoran di antaranya alasan beralih menjadi driver online.
Mereka pun berlomba mencicil mobil dengan uang muka seadanya, hasil pensiun dini atau dari tabungan. Untuk sebuah pelayanan prima tak sedikit di antara mereka menukar mobil pribadinya menjadi mobil grass teranyar sesuai spek yang diminta UBER, Grab atau Gocar. Walhasil, hampir 100 persen mobil yang dikemudikan mereka relatif baru, yang tentunya dalam masa dicicilan leasing.
Di jalan, mereka mirip pasukan berani mati, siap menghadapi benturan dengan taksi konvensional serta sopir angkot yang menentangnya. Penghasilan lumayan tinggi menjadikan saa itu mereka rela sebagai bemper atau pion, membela pemiilik apiikator. Penolakan dari taksi  Angkot, serta Ojek Pangkalan, Opang berkanjut hingga dua tahunan lebih. Di kota Bandung tercatat belasan Mobil Ojol dirusak dengan pengemudinya babak belur dihajar oknum Opang.
Sayangnya, bulan madu hanya berlangsung beberapa bulan. Selepas UBER menjual bisnis di tanah airnya ke Grab, perlahan mulai menemukan getirnya sebagai pengemudi Online. Bonus harian, termasuk jumlah order terus berkurang sejalan mulai gabungnya taksi konvensional menjadi taksi  online. Semula mereka bisa membawa uang bersih tak kurang Rp 1 juta per malam, kini hanya tinggal kenangan manis saja.
Fenomena ini menjadikan satu persatu keberadaan mereka mulai berguguran. Mereka mulai beranggapan menjadi pengemudi online bukan lagi menjadi sebuah pilihan. Mobil, mereka kembalikan ke leassing. Sementara akunnya mereka jual atau gadai ke calon pengemudi baru.
Di fase ini pun banyak di antara mereka berakhir tragis. Tak satu unit mobil pun yang mereka miliki karena telah ditukar dengan kendaraan cicilan leasing. Ketika putus mitra, mbl diambil alih leasing .
Puncaknya, saat pandemi Covid-19 Maret 2020 lalu, omzet mereka melorot hingga 25 persen. Di masa sulit seperti ini, aplikator malah mencabut subsidinya. Dengan dalih penyesuaian, kedua aplikator tak lagi kucurkan insentif harian bagi mitranya. Gocar, yang lebih awal mencabut insentifnya saat Pandemi merebak, disusul Grab.
Gocar mengganti bonus harian menjadi  selisih pendapatan. Pendapatan mereka sudah dipatok Rp175 ribu per 12 jam operasional, dari pukul 08.00- 20.00. Gocar akan menambahkan selisihnya bila si pengemudi hanya memperoleh kurang dari Rp175 000 dengan syarat menyelesaikan10 trip perjalanan. Bila pendapatan mereka melebihi angka ini, Gocar tak berkewajiban berikan insentif.
Grab pun beberapa pekan kemudian mengikiti aturan ini. Besutan perusahaan Singapura ini mematok selisih Rp 216.000 prr hari. Tapi jumlah ini belum dipotong komisi buat perusahaannya. Dalam hitungan mereka, justru selisih yang diberikan Grab jauh lebih kecil.
Di saat mereka berkutat menghadapi menurunnya pendapatan, hadir dua aplikator baru, yakni Indrive dan Maxim. Keberadaan di aplikator ini mulai mendapat hati di masyarakat. Hal ini menjadikan mereka semakin terjepit. Orderan semakin sepi karena terbagi dengan aplikatot baru.
Kedua Aplikator baru ini mematok harga relatif murah karena tak memotong pendapatan sopirnya. Sementara Grab dan Gocar mematok 20 persen dari setiap ongkos perjalanan plus potongan lainnya. Walhasil, tarif kedua aplokator ini jauh lebih tinggi dari aplokator yang baru tadi. Ibarat sebuah kue, Â yang semula dipotong untuk berdua kini harus dibagi empat aplikator.
Di atas kertas, sebetulnya pendapatan mereka saat ini sudah minus. Bila dianalogkan per harinya mereka meraih Rp 300 ribu, jumlah ini dipotong Rp 60 ribu (20 persen buat aplikator), hingga menjadi Rp.240 ribu. Bila dipotong pengeluaran bensin Rp 75ribu, kini bersisa Rp 165.000.
Bila mereka memiliki kewajiban cicilan mobilnya, misalnya Rp.4 juta/ bulan, berarti mereka harus menyisihkan per harinya Rp.135.000. Jadi total sisa uang hanya  tinggal Rp.30 ribu. Uang senilai ini harus cukup untuk menghidupi anak dan istrinya di rumah.
Padahal untuk mengumpulkan senilai ini mereka telah berjibaku dari pagi hingga larut malam. Sungguh pendapatan di luar UMR memang.
Lho kok masih ada cicilan leasing? Justru di sini benang merahnya. Ternyata relaksasi yang dicanangkan Preaiden Jokowidodo tidak seluruhnya menyentuh mereka. Bahkan program ini sebaliknya telah merontokan keberadaan mereka.
Berdalih akan mendata ulang, leasing diam diam menagih kemudian dikumulatifkan dengan tunggakan, yang sebetulnya dibuat leasing sendiri. Modusnya, sambil menunggu hasil survei terdampak Covid-19, cicilan mereka sengaja tidak ditagih. Ketika tiga bulan kemudian tiba tiba mereka dinyatakan nunggak tiga bulan. Karena nunggak itilah mereka dikatagorikan moral hazar, salah satu parimeter kreditur tidak mendapat relaksasi.
Jadi di masa panfemi seperti ini, mereka tak ada pilihan, antara menyerahkan mobil dan alih ptofesi atau mempertahankan mobil dengan resiko tertular Covid-19.
Mitra pengemudi online cukup memahami masalah yang dihadapi pemegang aplikator yang omzetnya terus melorot. Tapi mereka juga perlu dipahami pengeluaran dan oendapatan tidak berimbang. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H