Berbekal Garam dan Lilin Akhirnya Mereka Bisa Mendarat di Papua
Berkembangnya kawasan Pegunungan Tengah Papua tidak terlepas dari para misionaris kebangsaan Kanada dan Belanda, yang pertama kali berhasil mendaratkan pesawat kecilnya di sebuah lahan belantara Karubaga, tahun 1920-an lalu. Dari Karubaga mereka kemudian menyebar ke beberapa kabupaten sekitarnya.
Banyak rintangan dan penolakan warga lokal ketika itu. Namun berkat garam dan lilin yang dilemparkan dari pesawat, warga lokal akhirnya menerima, bahkan kemudian mereka turut membantu membuat landasan.
“Masyarakat baru sadar, dengan lilin yang mereka pungut bisa menerangi honai yang dulunya selalu gelap gulita. Begitupun serbuk putih (baca; garam) bisa menambah rasa ubi dan daging babi yang mereka bakar,” kata Dave Martin, mantan misionaris kebangsaan Kanada.
Dengan pendekatan itulah beberapa misionaris akhirnya bisa mendaratkan pesawat ringannya di Pegunungan Tengah Papua tahun. Bukan hal yang mudah menyentuh tanah Papua Pegunungan, terlebih bisa komunikasi dengaan warganya. Tak sedikit, misionaris patah arang dan kembali pulang ke negara asalnya. Atau meninggal akibat kesalahpahaman dengan warga setempat.
Kisah ini dituturkan Dave Martin tiga tahun silam ketika saya pertama kali menginjak Tolikara. Kebetulan saat itu, pria bule tengah berada di sana untuk menghadiri perayaan bakar babi sebagai lambang bersatunya kembali setelah kerusuhan antarsuku dalam Pilkada Tolikara pertama. Nama Dave Marten, tidak bisa dipisahkan dari sejarah bumi Tolikara.
Pria yang hampir seluruh usianya mengabdi dalam menyebaran kristen, menjadikan nama Dave Martin seolah menyatu dengan masyarakat Tolikara. Sekalipun sudah belasan tahun mengakhiri masa tugasnya, ia minimal setiap setahun sekali selalu menyempatkan singgah satu atau dua bulan dan berbaur dengan masyarakat Tolikara, Papua.
“Hidup saya tidak bisa dipisahkan dengan Tolikara, sekalipun sudah belasan tahun pensiun dan beberapa kali dipindahtugaskan ke negara lain, seperti Singapura dan Fhilipina, saya tetap orang Tolikara,” kata Dave Marten,bersemangat.
Menurutnya, ia mengenal Tolikara sejak tahun 1950-an, ketika dirinya masih berusia 22 tahunan. Jatuhnya pesawat Belanda pada Perang Dunia ke-II di Lembah Baliem ketika itu, telah membukakan mata dunia bahwa masih ada daerah yang belum tersentuh dunia luar, terutama agama, yakni Papua ini. Pemberitaan media inilah yang mendorong Dave, setamat sekolah mendaftar ke MAA, sebuah organisasai misionaris di Amerika untuk bergabung dan kemudian mengabdi di daratan Papua, tepatnya di Tolikara.
Perang Suku
Dave menginjakkan kaki ke tanah Papua 4 Pebruari 1959 melalui Bandara Sentani. Sepekan kemudian Dave bersama temannya menuju Karubaga. Diakui Dave, ia sebetulnya bukan orang asing pertama yang menginjakan kaki di Karubaga. Dua tahun sebelumnya, dari organisasi yang sama, yakni Paul Geswien dengan Bill Wedien yang pertama kali meginjak Tolikara. Mereka bahkan sempat membuat landasan pacu di Karubaga. Bakan, menurut Dave, bila membaca sejarahnya, 36 tahun sebelumnya pun, beberapa perintis kebangsaan Belanda yang tergabung dalam Kremer Ekspedition, juga sempat menginjakkan kaki di Tolikara.
Namun, di antara mereka, hanya Dave yang bertahan hingga puluhan tahun ini. Hal Ini menjadikan masyarakat Tolikara sudah menganggap Dave lebih dari warga pribumi asli. Dave medapat anugerah nama keormatan, yaitu Konda Karubakha. Nama ini diambil dari nama sebuah sungai di sekitar Karubaga.
Satu satunya alat masak yakni tanah yang dilubangi di tengah honai, tempat mereka tidur. Ubi- ubian serta daging babi mereka masukan ke dalam lubang dan ditutupi batu panas hasil pembakaran. Untuk menghindari kotoran dari tanah, mereka lapisi dengan dedaunan. Sementara pisau untuk memotong daging, mereka gunakan dari tulang burung atau babi. “Cara masak seperti ini sekarang dikenal dengan Bakar batu,” katanya. Tak ada bumbu, termasuk garam, kecuali dedaunan sebagai rempahnya.
Tak ada sekolah, apalagi jalan darat. Satu satunya akses ke Tolikara hanyalah pesawat udara yang baru dibangun dua tahun sebelum Dave datang. Tak heran bila saat itu di Tolikara timbul berbagai penyakit. Di antara penyakit endemi yakni Rambisia, sejenis penyakitPatek. Penyakit menular ini, salah satu penyakit yang mematikan warga Tolikara saat itu.
“Setiap hari orang mati bergelimpangan gara- gara penyakit ini, banyak warga merangkak tidak bisa berjalan karena penyakit ini. Saya tak kuasa melihatnya. Padahal, penyakit ini bisa sembuh hanya dengan suntikan venisiline saja,” katanya lagi. Waktu itu Tolikara hanya memiliki 20 desa dengan jumlah penduduk sekitar 20 Ribuan. Mereka satu sama lainya tidak saling mengenal, bahkan untuk ke luar kampung pun mereka tidak berani. Setiap hari terjadi perang suku.
Berselang lima tahun kemudian, Papua bergabung dengan pemerintah RI, dan sebagai Kepala Distrik pertama yakni Imam Suandi. Beberapa bulan setelah berbagung, sekolah dan sarana kesehatan mulai berdiri, sehingga Dave Martin lebih mencurahkan perhatiannya pada pengajaran injil bagi masyarakat Tolikara.
Dave mengaku, ia turut andil bersatunya Papua ke pangkuan pertiwi. Sebelum diundang ia diundang Presiden soekarno ke Istana Cipanas untuk dimintai masukkan rencana penggabungan ini.
Setelah bergabung dengan NKRI, Tolikara, yang ketika itu masih dalam Kabupaten Jayawijaya, perlahan mulai mengenal kebudayaan luar. Selain sarana sekolah, jalan mulai dibangun, sehingga untuk mencapai Tolikara tak hanya mengandalkan pesawat udara , jalur darat pun sudah mulai mereka rasakan.
Sejalan dengan pengalamannya, Dave oleh organisasi tempat dia bekerja diangkat menduduki jabatan Direktur Internasional untuk kawasa Asia Tenggara. Ini membuat Dave bersama keluarganya beberapa kali dialihtugaskan ke Singapura dan Fhilipina. Namun di Philipina dan Singapura tak menjadikan Dave melupakan Papua.
Ia selalu menyempatkan diri di sela-sela tugas ke Indonesia, selanjutnya mengunjungi Papua. Terlebih masyarakat Tolikara, solah telah merasa kehilangan Dave. Tak heran ketika kerusuhan pertama terjadi empat tahun lalu, mereka mengundang Dave untuk ikut menyejukan suasana panas di Tolikara.
Sebagai daerah yang pertama kali dijadikan para misionaris menyebarkan agama dan budaya, kini Kota Karubaga di Tolikara dibuatkan monument sebagai lahirnya penyebaran agama Kristen di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Kawasan ini perlahan namun pasti mengejar mimpi dengan pembangunan. Pendatang pun kini hidup berdampingan dengan warga asli, turut mengembangkan perekonomian kawasan ini
(Asep Burhanudin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H