Namun, di antara mereka, hanya Dave yang bertahan hingga puluhan tahun ini. Hal Ini menjadikan masyarakat Tolikara sudah menganggap Dave lebih dari warga pribumi asli. Dave medapat anugerah nama keormatan, yaitu Konda Karubakha. Nama ini diambil dari nama sebuah sungai di sekitar Karubaga.
Satu satunya alat masak yakni tanah yang dilubangi di tengah honai, tempat mereka tidur. Ubi- ubian serta daging babi mereka masukan ke dalam lubang dan ditutupi batu panas hasil pembakaran. Untuk menghindari kotoran dari tanah, mereka lapisi dengan dedaunan. Sementara pisau untuk memotong daging, mereka gunakan dari tulang burung atau babi. “Cara masak seperti ini sekarang dikenal dengan Bakar batu,” katanya. Tak ada bumbu, termasuk garam, kecuali dedaunan sebagai rempahnya.
Tak ada sekolah, apalagi jalan darat. Satu satunya akses ke Tolikara hanyalah pesawat udara yang baru dibangun dua tahun sebelum Dave datang. Tak heran bila saat itu di Tolikara timbul berbagai penyakit. Di antara penyakit endemi yakni Rambisia, sejenis penyakitPatek. Penyakit menular ini, salah satu penyakit yang mematikan warga Tolikara saat itu.
“Setiap hari orang mati bergelimpangan gara- gara penyakit ini, banyak warga merangkak tidak bisa berjalan karena penyakit ini. Saya tak kuasa melihatnya. Padahal, penyakit ini bisa sembuh hanya dengan suntikan venisiline saja,” katanya lagi. Waktu itu Tolikara hanya memiliki 20 desa dengan jumlah penduduk sekitar 20 Ribuan. Mereka satu sama lainya tidak saling mengenal, bahkan untuk ke luar kampung pun mereka tidak berani. Setiap hari terjadi perang suku.
Berselang lima tahun kemudian, Papua bergabung dengan pemerintah RI, dan sebagai Kepala Distrik pertama yakni Imam Suandi. Beberapa bulan setelah berbagung, sekolah dan sarana kesehatan mulai berdiri, sehingga Dave Martin lebih mencurahkan perhatiannya pada pengajaran injil bagi masyarakat Tolikara.
Dave mengaku, ia turut andil bersatunya Papua ke pangkuan pertiwi. Sebelum diundang ia diundang Presiden soekarno ke Istana Cipanas untuk dimintai masukkan rencana penggabungan ini.
Setelah bergabung dengan NKRI, Tolikara, yang ketika itu masih dalam Kabupaten Jayawijaya, perlahan mulai mengenal kebudayaan luar. Selain sarana sekolah, jalan mulai dibangun, sehingga untuk mencapai Tolikara tak hanya mengandalkan pesawat udara , jalur darat pun sudah mulai mereka rasakan.
Sejalan dengan pengalamannya, Dave oleh organisasi tempat dia bekerja diangkat menduduki jabatan Direktur Internasional untuk kawasa Asia Tenggara. Ini membuat Dave bersama keluarganya beberapa kali dialihtugaskan ke Singapura dan Fhilipina. Namun di Philipina dan Singapura tak menjadikan Dave melupakan Papua.
Ia selalu menyempatkan diri di sela-sela tugas ke Indonesia, selanjutnya mengunjungi Papua. Terlebih masyarakat Tolikara, solah telah merasa kehilangan Dave. Tak heran ketika kerusuhan pertama terjadi empat tahun lalu, mereka mengundang Dave untuk ikut menyejukan suasana panas di Tolikara.
Sebagai daerah yang pertama kali dijadikan para misionaris menyebarkan agama dan budaya, kini Kota Karubaga di Tolikara dibuatkan monument sebagai lahirnya penyebaran agama Kristen di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Kawasan ini perlahan namun pasti mengejar mimpi dengan pembangunan. Pendatang pun kini hidup berdampingan dengan warga asli, turut mengembangkan perekonomian kawasan ini
(Asep Burhanudin)