Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berbekal Garam dan Lilin Akhirnya Mereka Bisa Mendarat di Papua

12 Mei 2016   08:07 Diperbarui: 12 Mei 2016   18:59 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dave Martin: Saya bersama Dave Martin dan istri bersama pengikutnya saat akan meninggalkan Tolikara. (asepburhanudin)

Namun, di antara mereka, hanya Dave yang bertahan hingga puluhan tahun ini. Hal Ini menjadikan masyarakat Tolikara sudah menganggap Dave lebih dari warga pribumi asli. Dave medapat anugerah nama keormatan, yaitu  Konda Karubakha. Nama ini diambil dari nama sebuah sungai di sekitar Karubaga.

Kota Karubaga : Salah satu sudut Kota Karubaga, Tolikara. (Asep Burhanudin)
Kota Karubaga : Salah satu sudut Kota Karubaga, Tolikara. (Asep Burhanudin)
Ketika dirinya tiba di Tolikara, perang suku tiap hari terjadi.  Mereka selalu membawa panah, atau alat senjata tajam lainnya. Ketika itu,  tak seorang pun warga  berani keluar kampung, karena resikonya bisa dibunuh. Kehidupan mereka, saat itu jauh berbeda dengan sekarang. Mereka,  selain belum mengenal Tuhan dan masih percaya akan roh roh, juga  dalam kesehariannya  belum mengenal logam.

Satu satunya alat masak yakni tanah yang dilubangi di tengah honai, tempat mereka tidur. Ubi- ubian serta daging babi mereka masukan ke dalam lubang dan ditutupi batu panas hasil pembakaran. Untuk menghindari kotoran dari tanah, mereka lapisi dengan dedaunan. Sementara  pisau untuk memotong daging, mereka gunakan dari tulang burung atau babi. “Cara masak seperti ini sekarang dikenal dengan Bakar batu,” katanya. Tak ada bumbu, termasuk garam, kecuali dedaunan sebagai rempahnya.

Tak ada sekolah, apalagi jalan darat. Satu satunya akses ke Tolikara hanyalah pesawat udara yang baru dibangun dua tahun sebelum Dave datang. Tak heran bila saat itu di Tolikara timbul berbagai penyakit. Di antara penyakit  endemi yakni Rambisia, sejenis penyakitPatek. Penyakit menular ini, salah satu penyakit yang mematikan warga Tolikara saat itu.

“Setiap hari orang mati bergelimpangan gara- gara penyakit ini, banyak warga merangkak tidak bisa berjalan karena penyakit ini. Saya tak kuasa melihatnya. Padahal, penyakit ini bisa sembuh hanya dengan suntikan venisiline  saja,” katanya lagi. Waktu itu Tolikara hanya memiliki 20 desa dengan jumlah penduduk sekitar 20 Ribuan. Mereka satu sama lainya tidak saling mengenal, bahkan untuk ke luar kampung pun mereka tidak berani. Setiap hari terjadi perang suku.

Kota Karubaga: Kota Karubaga, Tolikara dari ketinggian. Landasan pacu ini posisinya sudah bergeser dari landasan pacu pertama yang dibuat misionaris 1920 silam yang terletak di paling kiri yang kini dijadikan kawasan perdagangan (asepburhanudin)
Kota Karubaga: Kota Karubaga, Tolikara dari ketinggian. Landasan pacu ini posisinya sudah bergeser dari landasan pacu pertama yang dibuat misionaris 1920 silam yang terletak di paling kiri yang kini dijadikan kawasan perdagangan (asepburhanudin)
Turut Andil Bergabungnya Papua ke NKRI

Berselang lima tahun kemudian, Papua bergabung dengan pemerintah RI, dan sebagai Kepala Distrik pertama yakni Imam Suandi. Beberapa bulan setelah berbagung, sekolah dan sarana kesehatan  mulai berdiri, sehingga Dave Martin lebih mencurahkan perhatiannya pada pengajaran injil bagi masyarakat Tolikara.

Dave mengaku, ia turut andil bersatunya Papua ke pangkuan pertiwi. Sebelum diundang ia diundang Presiden soekarno ke Istana Cipanas untuk dimintai masukkan rencana penggabungan ini.

Setelah bergabung dengan NKRI, Tolikara, yang ketika itu masih dalam Kabupaten Jayawijaya,  perlahan mulai mengenal kebudayaan luar. Selain sarana sekolah, jalan mulai dibangun, sehingga untuk mencapai Tolikara tak hanya mengandalkan pesawat udara , jalur darat pun sudah mulai mereka rasakan.

Sejalan dengan pengalamannya, Dave oleh organisasi tempat dia bekerja diangkat menduduki jabatan Direktur Internasional untuk kawasa Asia Tenggara. Ini membuat Dave bersama keluarganya beberapa kali  dialihtugaskan ke Singapura dan Fhilipina. Namun di Philipina dan Singapura tak menjadikan Dave melupakan Papua.

Ia selalu menyempatkan diri di sela-sela tugas ke Indonesia, selanjutnya mengunjungi Papua. Terlebih masyarakat Tolikara, solah telah merasa kehilangan Dave. Tak heran ketika kerusuhan pertama terjadi empat tahun lalu, mereka mengundang Dave untuk ikut menyejukan suasana panas di Tolikara.

Kota Karubaga Malam Hari: salah satu sudut Kota Karubaga di Tolikara malam hari (asepburhanudin)
Kota Karubaga Malam Hari: salah satu sudut Kota Karubaga di Tolikara malam hari (asepburhanudin)
Rumah panggung bercat hitam yang puluhan tahun menemani  Dave, sampai kini masih terawat rapi. Kursi sofa, perabot dapur, termasuk ruang kerja, dan tempat tidur selalu dirawat warga lokal. Sekalipun berbulan-bulan ditinggal, tak seorang pun berani menyentuh, kecuali mereka yang merawatnya . Begitupun pekarangan yang luas tetap dipelihara keasriannya. Mereka menganggap Dave adalah warga Papua yang tidak mungkin mendapat gantinya.

Sebagai daerah yang pertama kali dijadikan para misionaris menyebarkan agama dan budaya, kini Kota Karubaga di Tolikara dibuatkan monument sebagai lahirnya penyebaran agama Kristen di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Kawasan ini perlahan namun pasti mengejar mimpi dengan pembangunan. Pendatang pun kini hidup berdampingan dengan warga asli, turut mengembangkan perekonomian kawasan ini

(Asep Burhanudin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun