Buah Merah: Seorang warga Bokondini, Tolikara, Tengah memikul buah merah khas Papua (Asep Burhanudin)
Siapa yang tak kenal Papua? Ini saya buktikan ketika empat tahun lalu, ketika pertama kali akan mengarungi provinsi paling timur Indonesia. Banyak SMS telepon maupun inbok. Intinya mereka berpesan, jangan lupa bawa noken, kotekaBuah Merahdansarang semut. Tanpa panjang lebar, Saya langsung iya- kan, pertanda, saya sendiri pun, selain paham yang dimaksud, juga tahu betul apa yang dipesan. Namun, saya sempat mengernyitkan dahi ketika membaca salah satu SMS yang berbunyi, “ Jangan ribut ya, saya pesen Daun Bungkus!”. Saya lupakan pesen itu, dan baru dibicarakan ketika kaki sudah menginjak tanah Papua dua hari kemudian. Pertama kali saya tanyakan ke sopir yang menjemput di Bandara Sentani, Jayapura. Dia hanya mesem, mengesankan ragu akan pertanyaan saya. Pembicaraan terhenti dan dilupakan begitu saja akibat cuaca panas Jayapura terasa mengganggu di badan.
Namun, pertanyaan yang sama ulangi sepekan kemudian ketika saya sudah berada di Bokondini, sebuah distrik di Kabupaten Tolikara. Untuk bisa mencapai distrik ini bisa seharian di jalan. Bahkan bila cuaca lagi tak bersahabat, harus menginap karena tak ada penerbangan. Pemuda yang saya tanya ternyata belakangan mengaku pernah kuliah di Bandung. Ia mengatakan, di daerah Anda ada Mak Erot, nah di sini ada ramuannya.
Oh ternyata yang saya tanyakan itu terkait erat dengan dunia kejantanan laki laki. Menurut dia, saking ampuhnya ramuan tradisional asal Papua tadi, pihak Polda Papua sudah mengeluarkan edaran resmi yang intinya, pelarangan penggunaan obat tersebut bila mau daftar menjadi anggota kepolisian. Sanksinya, pihak kepolisian tidak akan menerima mereka jika tetap ngotot daftar. Di mata polisi, si pemakai ramun ini sudah tak wajar, selain tak enak dipandang, juga pertanda mental si pemuda sudah rusak. Obrolan ini malah membuat saya bingung. Ade Ape Dengan Daun Bungkus?
Kebingungan mulai terjawab, namun cara menyampaikan info pada Andalah kebingungan beralih. Salah tulis, saya bisa dituding fulgar, tak sopan. Dari sini, sebelumnya saya mohon maaf bila dalam tulisan nanti terdapat ungkapan yang berlebihan, yang berbuntut tudingan.
Mak Erot, namannya melegenda di seantero P Jawa, bahkan mungkin se Indonesia. Ini bisa dibuktikan dengan pengakuan pemuda Papua tadi, yang tahu nama Mak Erot. Wanita kelahiran Cigadog, Desa Caringin, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi,Jawa Barat, semakin popular ketika Moamar Emka, novelis kontroversial ternama, mengaitkan namanya pada buku berjudul Ade Ape Dengan Mak Erot. Tak sampai di situ, kiprah Mak Erot pun sempat difilmlayarlebarkan. Di sini, bisa jadi kepopuleran Mak Erot melebihi keahliannya.
Berbeda dengan Daun Bungkus asal Papua, namanya nyaris tak terdengar dibanding khasiatnya itu sendiri. Padahal di Papua, tempat Daun Bungkus diperoleh, sudah menggejala, terutama bagi sebagian kaum remaja di sana. Sampai sampai Polda Papua mengeluarkan edaran resmi pelarangan penggunaanya.
Pemuda yang saya ajak ngobrol tadi bersiloka ketika ditanya ihwal si pemakai tak enak dipandang , dengan mengibaratkan anak kucing yang kebetulan tengah tidur di kursi. Ia menyuruh saya membayangkan bila kucing ini diselimuti taplak meja di sampingnya. Menurutnya, seperti itulah penampilan remaja di sana bila sudah memakai Daun Bungkus ini ketika berjalan. Mereka seperti tengah mengantongi kucing di selangkangannya.
Saya sempat ketawa yang kemudian merenung, sehebat itukah khasiat daun bungkus, hingga ukurannya sebesar anak kucing. Karena obatnya cespleng, kata si pemuda tadi, salah oles bisa mengubah segalanya. Obat sejenis daun merambat ini, akan gatal bila menempel kulit. Terlebih bila merembes ke bawah bagian kelelakiannya yg sensitf, akan bengkak, dan gatal. Garukan tak teratur inilah yang kemudian menyebabkan anunya mereka luka dan kemudian meradang dan sulit disembuhkan. Rupanya, alasan inilah yang kemudian pihak kepolisian setempat melarangnya.
Daun Bungkus, tumbuh liar dan merambat di pohon- pohon di hutan Papua. Khasiat daun ini terdapat dalam getah yang menempel pada trikoma atau rambut daunnya. Sehingga pemakaiannya pun daun cukup ditumbuk halus tanpa air kemudian ditempelkan ke bagian tertentu yang diinginkan. Supaya tak terjatuh atau merembes ke wilayah lain dibuatkan bungkus dari daun yang sama. Prosesi inilah yang kemudian diabadikan menjadi nama obat herbal alami ini.
Tak perlu mencari ke hutan untuk mendapat daun warna hijau tua ini. Di beberapa kios terbuka, malah tersedia bebas dalam kemasan botol kecil dengan harga Rp.20- Rp.30.000/ pcs-nya. Konon, si pemakai, katanya, awalnya akan terasa gatal luar biasa, rasa gatal hilang berganti panas. Dua- tiga jam baru kemudian berganti ukuran, menjadi besar. Bila terasa masih kurang puas bisa dilakukan dua hingga tiga kali, tentunya dengan selang sehari setiap pemakaiannya.
Anda tertarik? Jangan dulu!!!, Kerja herbal ini sungguh luar biasa, salah- salah bisa menjadi masalah. Selain penampilan Anda berubah, seperti tengah mengantongi anak kucing tadi, juga berdampak pada kesehatan kita. Pemakaian tak sesuai aturan dan salah membungkus, akibatnya seperti banyak para remaja Papua yang akhirnya gigit jari ditolak Polda Papua saat mau daftar menjadi anggota polisi.
Bila pihak kepolisian secara resmi sudah mengeluakan aturan seperti itu, bisa jadi pertanda kemujaraban daun bungkus melebihi kehebatan Mak Erot. Saya tunggu Moamar Emka menuangkan tulisan ‘Ade Ape Dengan Daun Bungkus’. (Asep Burhanudin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H