Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seks Bebas Kala Berduka

21 April 2016   21:20 Diperbarui: 4 April 2017   16:27 5598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tenggeng, merupakan satu dari beberapa tradisi unik yang masih bertahan di pedalaman Papua. Seni tari yang biasa disebut  Tukar Gelang ini awalnya digelar untuk melepas lara bagi mereka yang ditinggal mati anggota  keluarganya. Nyatanya, kini kerap disalahartikan, hingga menjurus seks bebas.

[caption caption="Dengan pakaian saly yang terbuat dari kulit kayu beberapa wanita tengah menari khas adat Papua.Foto: koleksi Asep Burhanudin"][/caption]Bila berkunjung ke Papua Pegunungan,  seperti Kabupaten Tolikara,  mata kita sudah terbiasa melihat  tulisan besar, seperti Waspadalah penyakit AIDS atau Hindari Keluarga Anda dari Penyakit AIDS. Plang kusam pertanda peringatan ini sudah dibuat belasan tahun lalu, di antaranya terpampang  kokoh di sudut taman Klasis, Distrik Karubaga, Ibu Kota Karubaga.  Saya menduga, pengumuman bernada himbauan ini pasti bermakna sesuatu, setidaknya ada ketidakberesan dengan  penyakit yang satu ini.

Dua pekan berada di sana, akhirnya saya menemukan benang merahnya. Seks bebas serta pergeseran budaya Tari Tenggeng bisa jadi penyebab merebaknya penyakit menular di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini. Memang selama ini Propinsi Papua selalu menduduki peringkat pertama di antara propinsi lainnya di Indonesia untuk penyakit HIV/AIDS. Berdasarkan catatan Ditjen PP&PL, Kemenkes RI tanggal 17/10 tahun 2014 lalu, misalnya, Papua masih posisi teratas dengan jumlah kasus penderita AIDS dengan jumlah penderita mencapai 10.184 jiwa. Baru disusul Propinsi Jatim dan kemudian Jakarta, masing masing 8.976, 7,477 dan 4.261 jiwa.

Betulkan Tenggeng Penyebabnya?

Tendensius memang bila Tarian Tenggeng dituding biang keladinya. Tapi  setelah mendengar celotehan  remaja di sana, baru kita sedikit mengernyitkan dahi. Tari Tenggeng  hingga kini memang masih digandrungi mereka. Saat malam minggu tiba, atau setidaknya ketika upah  buruh kuli proyek sudah ditangan, mereka  langsung gelar tarian ini. Apa yang dilakukan mereka usai tarian tukar gelang, bisa ditebak.  Udara dingin menyusul temaramnya perapian honai,  rumah adat di sana, menjadi alasan tersendiri untuk melakukan hubungan badan, bak suami istri. Terkadang,  seks bebas dilakukan secara massal di  rumah bulat nan sempit tadi. Risih, terlebih  merasa berdosa, hilang  tertutup  alasan  budaya warisan  leluhur.

[caption caption="Warga Distrik Kanggime dengan latar belakang honai, rumah adat Papua. foto Asep Burhanudin"]

[/caption]Kalau menelisik sejarah, Tarian Tenggeng memang warisan nenek moyang mereka di Papua. Bahkan Dinas Pendidikan dan Pariwisata setempat menyebutnya sebagai salah satu jenis tarian yang harus dipertahankan.

Tarian yang melibatkan putra putri biasanya digelar di halaman maupun dalam honai saat ada kematian anggota keluarga atau tetangga. Tarian berpasang- pasangan remaja putra- putri ini dimaksudkan untuk menghibur keluarga yang tengah lara ditingal mati. Mereka percaya Tarian dilakukan malam hari dimaksudkan supaya keluarga yang ditinggal mati tidak kecipratan darah yang meninggal. Nenek moyang mereka tabu melakukan seks sembarang tempat, sehingga ketika usai gelar tarian, mereka kembali pulang ke honai masing masing. Mereka pecaya bila itu dilakukan akan membawa petaka, mulai kekeringan hingga kekalahan perang suku.

Hanya pasangan yang serius dan bermaksud meminangnya yang tetap berada di honai  keluarga duka untuk mendapat restu  dari orang tua wanita untuk melakukan pernikahan. Dalam hal ini, baik pria mapun wanita memiliki hak yang sama untuk menolak bila dirasa tidak cocok. Penolakan biasa disimbolkan dengan mengembalikan  gelang yang  semula diberikan ketika tarian tadi digelar. Pengembalian gelang diikuti dengan nyanyian bernada santun.

Biasanya, untuk menghindari pengembalian gelang, pimpinan tarian sebelum menggelar acara selalu menjalani seleksi ketat. Hanya mereka yang cukup umur serta memiliki keseriusan menjalin hubungan saja yang diperbolehkan ikut tarian ini. Kedewasaan pria bisa diukur dari luas ladang yang dia buka serta berapa ekor babi yang dmiliki. Sementara aqil balig wanita dilihat setelah dia mentsruasi dan besarnya payudara.

Prosesi tarian tenggeng biasanya melibatkan 6 hingga 20 pasangan remaja putra putri. Sebelum pasangan duduk berhadap-hadapan, para wanita sudah berada dalam honai. Gadis-gadis ini terlebih dahulu menyanyikan lagu-lagu pembuka serta menyalakan perapian dalam honai. Kaum pria baru kemudian masuk setelah diberi kode sang pemimpin tarian. 

Ketika pria sudah memasuki honai, nyanyian seketika terhenti. Mereka kemudian membentuk barisan memanjang, saling berhadap-hadapan  dengan tangan pria masing masing memegang telapak tangan wanita. Saat itulah proses tukar gelang berlangsung. Belasan gelang yang semula terpasang di pergelangan pria satu persatu dipindahkan ke lengan pasangan yang diidamkannya. Posisi tarian baik pria maupun wanita, sama sama  jongkok dengan lutut menyentuh lantai honai.

Biasanya, gelang yang mereka berikan terbuat dari anyaman rumput hutan atau akar- akaran yang dia ambil dan buat sendiri. Prosesi tarian ini cukup lama hingga larut malam. Sekalipun tari tenggeng usai, peserta pria hingga pagi  terkadang  tidak beranjak pulang. Mereka  tetap berkumpul menemani keluarga yang tengah berkabung. 

Kini Uang Bicara

Makna Tarian Tenggeng mulai memudar sejalan dengan perkembangan jaman. Pembangunan infrastruktur serta derasnya informasi, termasuk televisi, menjadikan pedalaman Papua bukan suatu daerah yang terisolir lagi. Tak dipungkiri budaya luar pun dengan mudahnya mereka tiru tanpa penyaringan yang ketat. Hubungan bak suami istri bukan suatu hal yang tabu bagi sebagian muda mudi Papua saat ini. 

Terlebih di beberapa distrik masih dianut kepercayaan memiliki istri lebih sebagai symbol keperkasaan dan kekayaan. Bahkan, seorang kepala suku seolah diwajibkan memiliki banyak istri untuk memperlihatkan keperkasaannya. Semakin banyak istri, kepala suku semakin berwibawa.

[caption caption="Meja bilyar kini sudah akrab bagi masyarakat Papua Pegunungan, termasuk anak anak di sana. Foto: Asep Burhanudin"][/caption]

Kondisi seperti inilah  yang dijadikan alasan muda-mudi melakukan seks bebas. Mereka kini menggelar tarian tukar gelang bukan semata hanya ritual kematian, tetapi kapanpun mereka mau dan ada kesempatan. Pada akhirnya, di sini uang yang bicara, karena uang sebagai pengganti gelang. Semakin banyak uang yang diberikan, semakin mudah wanita diperdaya dan pasrah. 

Terkadang, penyerahan uang pun sudah  tanpa prosesi tarian lagi. Mereka langsung selipkan pada dada si wanita saat sudah berhadap-hadapan. Begitupun para peserta, kini tak terbatas  mereka yang sudah dewasa lagi, tapi siapa yang punya uang dan payudaranya terlihat mulai membesar,  sudah bisa jadi peserta tarian . Tak jarang di antara mereka  masih di bawah umur atau sebaliknya  sudah beristri. Anehnya lagi, dalam semalam, mereka lakukan berulang -ulang. Di sini, sekali lagi uang bicara, tak jarang si pria bisa menggilir 3 atau empat wanita dalam satu kesempatan, tentunya selagi uang masih ada di tangan.

Tarian tukar gelang tetap dilakukan malam hari, tapi tujuannya sudah menyimpang. Kini mereka bukan takut kena darah yang meninggal, tapi takut diketahui pihak kepolisian atau pihak gereja. Seperti biasanya, ketika bara api sudah meninggalkan cahanya dan hanya menyisakan pekatnya honai, tarian bergeser jadi perbuatan tak senonoh,  seluruh pasangan melakukan hubungan suami istri bersama-sama dalam honai.

Kebiasaan ini terus mereka lakukan setiap ada kesempatan dan uang. Di antara mereka, bahkan banyak yang sudah berpengalaman menggauli PSK di kota. Dari sinilah benang merah mulai menjawab  mengapa penyakit HIV/AIDS merebak di tanah Papua. Sekali lagi, bila menilik akan kusamnya plang peringatan tadi, pertanda kekhawatiran ini sudah berlangsung lama. (Asep Burhanudin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun