Indonesia Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan TV One semalam menarik untuk dilihat. Masing-masing pihak punya argumen yang menurut mereka itu paling pas dan tepat dengan topik yang membahas Perppu Ormas. Meskipun Yusril seorang pakar hukum, tapi dengan kapasitasnya sebagai pengacara HTI tentu ucapannya harus benar-benar ditelaah. Karena dia membawa misi yang diamanahkan HTI sebagai kliennya, jadi belum tentu apa yang disebutkan Yusril benar semuanya.
Begitu juga dengan ucapan dari pihak penerbit Perppu yaitu Pemerintah. Melalui Wiranto dan Tjahjo Kumolo, pemerintah memberikan argumentasi tentang alasan penerbitan pengganti UU no 17 tahun 2013 tersebut. Dengan berbagai argumen yang mereka sampaikan, sebagai pihak yang terkait dengan polemik ini, apa yang disampaikan pemerintah juga harus ditelaah dengan mendalam. Belum tentu semuanya salah dan siapa tahu memang ada maksud pemerintah untuk mencabut status hukum suatu Ormas pasca penetapan Perppu.
Pemerintah juga berulangkali mengatakan penerbitan Perppu ini tidak bertujuan membubarkan HTI. Tapi untuk melindungi bangsa Indonesia. Tapi, Rabu 19 Juli 2017 atau beberapa jam ucapan pemerintah, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI). Dengan demikian, HTI resmi dibubarkan pemerintah. Â
Pencabutan status badan hukum itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
Presiden Jokowi langsung menegaskan hal tersebut, "Ya keputusannya seperti yang sudah diputuskan pada hari ini," ujar Jokowi di JCC, Senayan.
Jokowi menyebut telah mengkaji lama dan mendapatkan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat dan ulama. Sedangkan Kemenkum HAM tak menjabarkan data dan fakta yang menjadi alasan pembubaran HTI. Kemenkum HAM hanya beralasan pembubaran ini untuk merawat Pancasila.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009 menyebutkan ada tiga syarat sebagai parameter adanya "kegentingan yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan PERPU.
Tiga prasyarat untuk menerbit Perppu. pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai. Dan Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
Bicara tentang kegentingan memaksa, semalam ada ucapan Rocky Gerung, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi yang menarik. Dia menyebutkan pemerintah tidak menyebutkan secara detail kegentingan memaksa itu, diakhir komentarnya dia mengatakan memaksakan kegentingan.
Memang sampai saat ini secara jelas pemerintah belum menyebutkan apa kondisi kegentingan memaksa tersebut. Seharusnya Perppu terkait dengan Korupsi dan Narkoba lebih didahulukan, karena lebih genting. Lihat saja kasus yang menjerat Setnov cs, begitu juga narkoba yang makin merajalela. Sabu seberat 1 ton ditangkap, jika tidak diamankan polisi bayangkan betapa banyak rakyat Indonesia yang jadi korban. Kita sudah darurat narkoba.
Jika mengacu kepada ucapan Jokowi dan perumus Perppu Ormas, alangkah baiknya juga ada Perppu korupsi dan Narkoba. Sehingga para tersangka Narkoba dan korupsi juga langsung dijeblokan ke penjara, tidak usah melalui pengadilan. Dan tidak usah pakai praduga tak bersalah, jika tidak berkenan silahkan ajukan keberatan melalui mekanisme hukum.