Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Korupsilah Sebelum Ajal Menghampiri

13 Maret 2016   21:05 Diperbarui: 14 Maret 2016   09:50 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: micecartoon.com"][/caption]Pada hari-hari tertentu, pulang malam itu nyaris wajib hukumnya bagi saya. Beberapa pekerjaan memang harus diselesaikan berdasarkan hitungan waktu. Jadi saat sesi tertentu, ada pekerjaan yang harus saya kerjakan di malam hari, dan itu harus di kantor. Tidak bisa dibawa pulang? Harusnya bisa. Tapi beberapa software yang saya gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan tidak bisa dipasangkan di perangkat notebook alias harus di PC dengan spesifikasi yang lumayan tinggi.

Inilah perkaranya mengapa saya terkadang harus membetah-betahkan diri di kantor. Sampai akhirnya saya terkadang lupa kalau saya harus pulang. Artinya, yang awalnya berjuang membetahkan diri, lama-lama kok jadi betah betulan. Ya entahlah. Semua akhirnya memang tergantung dinamika dan pembiasaan. Ibarat kata orang Padang, bisa karena biasa. Yang awalnya terasa berat, jika dilakukan rutin, maka akan terasa biasa saja.

Logika ini berlaku untuk orang yang suka berbuat diluar norma-norma atau aturan-aturan yang ada. Sebut saja misalnya penjudi, seperti kawan saya yang kini telah taubat. Menurut cerita beliau, pada masa-masa awal mengenal judi ada rasa berdosa yang sangat besar menggelantung di hatinya, maklum beliau dibesarkan dalam keluarga yang cukup religius. Bapak dan ibunya jebolan Mekah, kakak-kakak perempuanya berpakaian Islami semua alias berkerudung.

Jadi pertama kali menyentuh kartu gaple dengan jaminan sejumlah uang untuk dipertaruhkan, hatinya berkecamuk. Dia merasa diintip Tuhan, dimaki-maki malaikat di kuping kiri dan kanan. Sepulang berjudi, dia langsung ambil wudhu dan sholat taubat. Nah, setelah sholat, dia justru teringat uang 80 ribu yang hilang akibat judi. Ada rasa tak terima di hatinya, ada rasa kesal dan marah. Padahal baru saja sholat taubat dan berjuang sekuat tenaga untuk mengakui dengan seikhlas-ikhlasnya bahwa dia telah berbuat dosa.

Saat menjelang tidur, ingatannya kembali melayang kepada meja di mana dia tadi berjudi. Membayangkan kartu-kartu yang terbuka lalu hitung-hitungan judinya yang gegabah. Di otaknya mulai ada kata-kata nasehat terlambat yang berseliweran. “Mengapa kau pasang saat kartumu jelek? Mengapa tak kau tantang dengan taruhan yang sangat besar saat kartumu bagus? Mengapa tak kau gertak saja mereka dengan taruhan yang berlipat-lipat, lalu mereka mundur dan semua taruhan di meja pada sesi itu jadi milikmu?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini berputar-putar di dalam otaknya sampai akhirnya mimpi pun menjemputnya di malam itu.

Sudah diduga, yang terjadi sepulang kerja hari selanjutnya adalah sama dengan hari sebelumnya. Kawan saya singgah lagi ke warung yang sama, lalu menantang kembali rival-rival judi pada malam sebelumnya. Hal itu berlangsung sampai beliau tak sadar kalau judi sudah menjadi rutinitasnya, minimal tiga kali dalam seminggu. Bahkan sempat menjual ini dan itu untuk membangkitkan lagi harapan bahwa dia akan mampu memgembalikan uang kekalahan di sesi-sesi sebelumnya. Lucunya, saat beliau menang dan mengantongi cukup banyak uang pada satu sesi perjudian, besoknya malah memakai uang yang sama untuk dibawa ke atas meja judi lagi, dengan harapan akan berlipat lebih banyak lagi. Sampai akhirnya diciduk polisi pada suatu malam yang naas, lalu ikut dibina beberapa hari oleh dinas sosial setempat, kemudian baru dipulangkan.

Saya kira, dalam logika yang sama pulalah korupsi itu berlangsung. Seorang kawan suatu waktu sempat memberi analogi. Katanya, korupsi itu mirip orang yang masuk ke dalam toilet yang bau. Awalnya tutup hidung sampai beberapa menit, sembari buang hajat tangan sudah tidak lagi memegangi hidungnya. Itu berlangsung tanpa sadar. Artinya, hidungnya sudah terbiasa dengan bau yang ada, tepatnya sudah bisa menyesuaikan diri dan satu frekuensi dengan bau toilet tersebut.

Bahkan jika besoknya harus kembali ke toilet yang sama, hidung sudah tak perlu ditutup lagi pada menit-menit pertama. Hidung sudah otomatis menyesuaikan diri beberapa saat sebelum kakinya melangkah ke dalam toilet. Inilah salah satu kelebihan manusia, yakni kapasitas adaptasi yang tinggi. Artinya, bisa saja bau toiletnya tidak pernah berubah, masih sama seperti hari sebelumnya, tapi si hidunglah yang tampaknya berubah, makin lihai mengenal bau dan menyesuaikan diri.

Nah, begitu pula tampaknya logika penyebaran korupsi itu. Pada awalnya di dalam satu institusi ada satu atau dua orang yang terlihat agak bersih, bahkan mungkin agak antipati dengan amplop-amplop yang tak jelas juntrungan asalnya. Namun seiring berjalannya waktu, karena semuanya menikmati, semuanya senang-senang saja, tak ada yang mempertanyakan asal-usul amplop atau apakah aplop yang diterima sesuai dengan keringat yang dikeluarkan alias atas sebuah pekerjaan yang dilakukan atau tidak, maka akhirnya korupsi menjadi sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan. Ini masalah interaksi lingkungan dengan pribadi-pribadi yang ada didalamnya. Bisa bermula dari lingkungan di luar diri pribadi, bisa juga berawal dari pribadi seseorang yang kekuasaanya cukup besar, sehingga menyeret semua manusia yang ada di bawah payung kekuasaanya.

Lalu pertanyaannya, mungkinkah tindakan korupsi berlangsung sendiri-sendiri? Mungkinkah hanya Nazarudin dan Anas Urbaningrum? Mungkinkah hanya Damayanti seorang atau Gayus Tambunan seorang? Sementara mereka hanya pelaku personal di dalam sebuah lingkungan korupsi yang besar? Sejujurnya saya tak percaya, tapi saya bagaimanapun harus tetap memaksa diri saya realistis alias percaya. Meskipun mama saya mengajarkan bahwa hanya kepada Tuhan lah saya semestinya percaya, tapi biarlah, itu lain soal.

Jadi saya pun sebenarnya merasa ada kecamuk dalam diri saya soal percaya atau tidak kepada penegak hukum yang menangkap koruptor. Jika saya memilih untuk percaya, saya akhirnya malah jadi bingung. Lha wong KPK dan Polisi cuma mampu menggondol satu dua orang saja dalam sebuah sistem konspirasi uang-uang haram itu, lalu yang ada di sisi-sisi lingkarannya dikemanakan? Terkadang itulah yang membuat saya akhirnya ragu, padahal sempat percaya lho. Tidak pasti juga apa persoalan yang sebenarnya. Entah KPK dan Polisinya yang kurang jago, entah penjarah-penjarah uang rakyat itu yang ilmu korupsinya lebih mantap dan pengalaman berorganisasinya lebih lama, atau entah kedua-duanya sedang bermain peran sandiwara saja.

Misalnya, satu sudah cukup, yang penting rakyat melihat. Cukup tangkap saja satu setiap beberapa bulan sekali misalnya, lalu beritakan ke seantero nusantara, kalau perlu sampai ke pedalaman Papua sana, ke komunitas-komunitas adat yang belum paham apa itu KPK, syukur-syukur mereka bisa baca koran alias korannya tidak dijadikan bungkus gorengan terlebih dahulu sebelum dibaca. Dengan demikian, satu saja sudah cukup mewakili semua. Cukup tertangkap satu asal ramenya naudzubilah syetan melebihi pasar Senen atau Mangga Dua, maka dalam benak publik akan terbentuk memori yang masif bahwa penegak hukum telah bekerja maksimal, maksudnya bekerja habis-habisan untuk menyetir isi berita media-media utama.

Perkara bos koruptornya nanti minum kopi bersama KPK atau bersama jenderal polisi di sebuah warung sate (mungkin mereka gila, pesan kopi kok di warung sate), itu perkara lain. Itu perkara silahturahmi saja. Kita kan memang orang timur. Interaksi langsung sangat dibutuhkan untuk menandakan bahwa kita adalah makluk sosial yang berperadaban tinggi, mungkin lebih tinggi dari Monas atau Menara Petronas, bisa jadi.

Selain orang timur totok, kita juga orang timur yang bekas dijajah (kayaknya tak perlu bangga soal ini), maka ada budaya Eropa juga yang terbawa. Jadi selain interaksi langsung, cipika-cipiki tentu diperlukan pula. Ini atas nama silahturahmi lho, tak peduli apakah yang satu KPK dan yang satu calon tersangka KPK (itupun kalau KPK mau menersangkakan, kalau tidak yang kita bisa apa).

Bermodal ini pula para koruptor-koruptor yang sudah ditersangkakan berani tampil bak selebriti setelah diberondong beberapa puluh pertanyaan oleh KPK. Mereka keluar gedung, lambaikan tangan ke kamera, satu dua ada yang selfie pula, bahkan menyempatkan wefie dengan beberapa wartawan, kemudian cengengesan ketika diberondong pertanyaan. Mau membela diri serba tanggung, tak enak membela diri karena sudah terlanjur memakai baju warna oranye, almamater kebanggaan para mahasiswa kampus KPK.

Tak membela diripun rasanya malu, lha wong sebelum ditersangkakan sempat mencak-mencak mengatakan dirinya bersih, kalau perlu gantung di Monas jika ada sepersen uang haram yang parkir di rekeningnya, lalu mendadak tidak bela diri? Di mana konsistensinya? Di mana harga dirinya sebagai tersangka korupsi? (Emang masih punya ya?)

Di tengah kebimbangan itulah akhirnya mereka berusaha membuat para pewarta lupa, dengan cara lambai tangan dan sentuhan halus bermodalkan niat ikhlas untuk silahturahmi, lalu melayani sesi foto bak artis yang dikerubuti pecinta-pecintanya. Inilah hasil dari tradisi silahturahmi bercampur pizza Eropa tadi. Masalah bisa sejenak dikesampingkam atas nama persaudaraan dan pertemanan, tak penting apakah yang dikorupsi adalah jatah makan para fakir miskin di pinggiran Danau Toba sana.

Lalu masalahnya apa? Ya tak ada masalah. Bukankah semuanya karena silahturahmi dan atas nama silahturahmi. Mereka memakan uang negara secara bersama-sama karena alasan silahturahmi. Saling memberi maaf dan memberi perhatian, memberi respon positif dan menanyakan nomor rekening, lalu saling memberi proyek dan saling menerima persentasenya. Artinya, jangan sok-sok anti-korupsi jika tak paham artinya.

Maksudnya, yang teriak anti-korupsi ya mbok dibedakan waktunya kapan harus teriak anti-korupsi dan kapan harus selfie bersama tersangka kasus korupsi. Jika lagi demonstrasi, ya silahkan habiskan suara untuk mencaci mereka, jika di warung kopi bersama objek demonstrasi/si tersangka korupsi, ya mbok kopinya dihabisin dulu lalu tak masalah apakah si tersangka yang membayar di akhirnya. Itu beda perkara tentunya. Karena perkara siapa yang akan membayar adalah perkara silahturahmi, perkara perkawanan, tak ada urusan dengan korupsi.

Nah, dalam konstelasi korupsi yang demikian, hati-hatilah anda jika tak berniat korupsi. Lha wong budayanya sudah memberi ground yang kondusif untuk itu, lalu anda berani-beraninya untuk tidak korupsi, ya hati-hati saja. Giliran anda sudah dekat, jika tak dikambing hitamkan lalu masuk KPK, minimal dimutasi sampai ke Perbatasan Papua. Itu saja. Jadi ya korupsilah selagi bisa, sebelum anda dikorupsi dan sebelum ajal menghampiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun