Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Politik Para Bandit

10 Maret 2016   16:35 Diperbarui: 10 Maret 2016   16:42 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca berbagai berita soal kisruh nasional akibat perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia beberapa waktu lalu, yang nampaknya sampai sekarang secara off the record belum berakhir, saya teringat beberapa kisah yang diceritakan oleh John Perkin, terutama tentang bagaimana bandit ekonomi dan penguasa-penguasa yang tidak amanah bersekongkol dan bagaimana korporasi-korporasi global bermain kotor di negara-negara mangsanya.

Melalui bukunya yang terkenal itu, “Confession of Economic Hitman dan The Secret History of the American Empire”, sepak-terjang beberapa korporasi AS terungkap. Pada 1995, Perkins sempat dikontak oleh sebuah firma konstruksi dan konsultan Stone and Webster Engineering Company(SWEC). SWEC mengatakan kepada Perkins, mereka sedang berencana untuk membangun proyek kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia yang bernilai kurang lebih 1 milyar dolar AS.

Namun yang bikin SWEC kebingungan, bagaimana caranya membayar salah seorang anggota keluarga Suharto sebesar 150 juta dolar AS. Itulah makanya pihak SWEC bertanya kepada Perkins yang waktu itu masih jadi bandit ekonomi dan tentunya punya pengalaman luas tentang segala sisi bagaimana caranya bermain kotor di Indonesia. Ketika itu, sebagaimana pengakuan Perkin dalam bukunya, beliau menawarkan empat opsi untuk menyuap para pejabat tinggi maupun keluarga para pejabat. Dalam hal proyeknya SWEC ini yang dimaksud adalah keluarga Suharto.

Pertama, sewa bulldozer, mesin Derek, truk, dan segala peralatan berat lainnya dari perusahaan milik keluarga Suharto dan kroninya dengan harga lebih tinggi dari harga normal. Kedua, dengan mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan milik keluarga tersebut dengan harga tinggi. Ketiga, menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan, perumahanan, mobil, bahan bakar, dan kebutuhan lainnya. Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri untuk memasukkan putra-putri para kroni orang Indonesia itu ke beberapapa kampus prestisius AS, menanggung biasaya mereka, dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan pegawai perusahaan ketika berada di AS.

Berdasarkan pengalaman Perkins sebelumnya sebagai bandit ekonomi pelayan beberapa korporasi asing di Indonesia, siasat tersebut biasanya sangat berhasil untuk membelokkan arah kebijakan pemerintahan yang menguntungkan korporasi-korporasi asing. Bahkan beberapa perusahaan dan eksekutif AS yang pernah melakukan praktik-praktik semacam ini tak pernah terseret hukum. Hanya saja, Perkins mungkin tak membayangkan bahwa tiga tahun kemudian, pada Mei 1998, pemerintahan Suharto runtuh yang berakibat seluruh keluarga dan kroni bisnis Cendana tidak lagi berada dalam posisi mengatur arah kebijakan perekonomian nasional.

Alhasil, skenario SWEC hancur berantakan. Berselang beberapa tahun setelah itu, tepatnya pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat tajuk di halaman muka dengan judul: Memo Suap dan Bangkrutnya Stone & Webster. Dalam liputannya, media the Boston Globe membeberkan kisah tragis bagaimana perusahaan yang berdiri sejak 1889 dan punya sejarah yang cemerlang itu ambruk dengan mencatatkan kebangkrutannya pada tahun 2000. Sehingga perusahaan itu akhirnya harus diakuisisi oleh konglomerasi lainya, yakni Shaw Group.

Dalam kesimpulan wartawan Globe, Steve Bailey, keruntuhan tersebut berpangkal pada “Memo Kritis” yang membeberkan suatu usaha rahasia perusahaan secara mendetail. Yaitu membayar suap senilai 147 juta dolar AS kepada seorang kerabat Presiden Suharto untuk mengamankan kontrak terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah apakah aksi reaksi rent seeking activities seperti terungkap melalui kesaksian Perkins tersebut kemudian berhenti menyusul kejatuhan Suharto dan beralihnya pemerintahan ke tangan sipil? Nampaknya jawabanya tidak, sama sekali tidak, hanya ganti aktor dan ganti aturan main. Sedangkan secara skematik, permainan masih tetap berada dalam orbit pengaruh kepentingan korporasi dan konglomerasi asing.

Jadi terungkapnya transkrip pembicaraan yang diduga melibatkan Setya Novianto, pengusaha Reza Chalid, dan (mantan) director PT. FI, hanyalah daftar lanjutan dari segudang lebih kebobrokan tatanan ekonomi politik Indonesia, terutama tentang melencengnya peran personal anggota-anggota lembaga legislative menjadi calo-calo ekonomi, misalnya . Transkrip ini berujung kisruh yang cukup panas akhir tahun lalu, namun sampai saat ini diyakini bahwa dinamika bawah tanahnya masih belum usai.

Kejadian tersebut hanya mempertontonkan relasi ekonomi dan politik yang semakin mesra dan kian mutual simbiotik antara dunia usaha dengan lembaga wakil rakyat ini pada khususnya dan segala jenis penguasa pada umumnya. Model relasi ekonomi politik semacam ini adalah model yang khas muncul di negara-negara emerging seperti Indonesia dimana sindrom patrimonilisme dan ekonomi rente berkembang biak dan menyerang lembaga demokrasi sekelas DPR.

Bahkan gara-gara virus ekonomi rente dan relasi patrimonialistik ini, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tahun 1992, yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, dan demokrasi liberal adalah tatanan politik finalnya, akhirnya meralat pendiriannya. Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab beliau, mulai pesimis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.

Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri. Frank, sebagaimana diyakini juga oleh Joseph Stiglitz dan Thomas Pikety, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik. Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaanya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political phatrimony) dalam sistem politik. Para politisi mulai tergoda untuk membarter kekuasaan yang dititipkan rakyat untuk hal-hal yang tidak berbau kerakyatan alias tidak berbau kepentingan publik. Dan tepat didalam dinamika yang semacam itulah negara ini berdiri.[caption caption="memepolitik.org"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun