Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

OPEC dan Rusia Mungkin Akan Sia-sia

9 Maret 2016   12:52 Diperbarui: 9 Maret 2016   13:22 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga minyak dunia tergelincir dari keuntungan dua hari pada sesi akhir hari Selasa (8/3/16), karena para pedagang memperingatkan bahwa lonjakan harga yang terjadi terlalu cepat sementara faktor fundamental tidak banyak berubah. Harga minyak naik sekitar 10 persen dalam dua hari perdagangan terakhir setelah Arab Saudi dan Rusia mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan peningkatan produksi, serta mendorong produsen-produsen besar lainnya untuk mengikuti langkah serupa.

Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April turun 1,40 dolar AS dan berakhir di level 36,50 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, sementara minyak mentah Brent untuk pengiriman Mei turun 1,19 dolar AS dan ditutup pada 39,65 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange. Para analis mengantisipasi bahwa perusahaan-perusahaan minyak besar AS akan terus memangkas pengeluaran mereka. Perusahaan-perusahaan energi AS mengurangi rig minyak mereka untuk pekan kesebelas berturut-turut, menurut data yang dirilis oleh perusahaan jasa minyak Baker Hughes.

Selain itu, penurunan harga minyak juga didorong oleh data perdagangan Tiongkok yang lemah dan skeptisisme tentang prospek produsen-produsen minyak besar yang akan bersepakat membatasi produksi. Penurunan terjadi setelah data kepabeanan Tiongkok menunjukkan ekspor merosot 25,4 persen pada Februari, penurunan terbesar sejak Mei 2009. Data tersebut juga menunjukkan penurunan 13,8 persen dalam impor Tiongkok, memunculkan pertanyaan lebih lanjut tentang kesehatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Sebenarnya kenaikan harga minyak dunia belakangan ini hanya ditopang oleh ekspektasi dan psikologi pasar. Belum ada topangan fundamental yang benar-benar bisa dijadikan sandaran. Lihat saja pergerakan harga sehari dan beberapa hari setelah kesapakatan pembekuan produksi (baca: bukan mengurangi produksi) antara OPEC dan Rusia. Pada sesi perdagang pagi di Asia hari Rabu (17/1/16). Kontrak WTI diperdagangkan melemah 1,12% ke level US$29,11 per barel pada sesi pagi, sedangkan Brent turun 3,2% ke level US$32,32 per barel di bursa komoditas London. Penurunan harga minyak mentah mengindikasikan kekecewaan investor atas hasil kesepakatan yang diumumkan oleh Menteri Energi Arab Saudi Ali Al-Naimi dan Menteri Energi Qatar Muhammad bin Saleh Al-Sada pada hari Selasa (16/2/16).

Al-Naimi mengatakan, Arab Saudi, Rusia, Qatar dan Venezuela setuju untuk mempertahankan produksi minyak di level produksi Januari. Langkah tersebut, menurutnya, adalah awal dari proses upaya stabilisasi pasar. Pengumuman pembekuan volume produksi dilalukan setelah pertemuan antara Al-Naimi dan Al-Sada dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak. Konon pertemuan itu adalah hasil jerih payah Venezuela yang agresif melobi negara produsen minyak selama sebulan terakhir.

Jika dicermati, sebenarnya ini hanyalah pengumuman pembekuan produksi di negara-negara yang hasil produksinya memang tidak tumbuh dalam beberapa waktu terakhir. Dengan kata lain, jika Iran dan Irak tidak ikut serta, maka pengumuman ini tidak akan berati banyak. Lagipula belum ada komitmen dan kepastian bahwa negara produsen akan menepati hasil kesepakatan.

Kontras dengan cerita tadi, Iran, anggota OPEC dengan produksi minyak terbesar kedua, justru telah menyatakan akan menambah produksi 1 juta barel per hari untuk meraih kembali market share yang hilang selama negara itu terkena sanksi internasional. Minyak mentah dari Iran sudah mulai dikapalkan ke Eropa oleh kapal milik Total SE, Prancis. Kapal tanker milik perusahaan China dan Spanyol juga telah dijadwalkan akan berlabuh di Iran dalam waktu dekat.

Namun pada hari Senin (29/2/16), di tengah menguatnya ekspektasi penurunan rig tambang minyak dan data belanja konsumen yang kian menguat kuat di AS, harga minyak hanya bergeser sedikit level US$32-an untuk varian WTI dan US$35-an untuk varian Crude Brent, setelah sempat bergerak agak tinggi di level US$34-an per barel untuk varian WTI dan US$36-an untuk varian Crude Brent sejak pertengahan Februari.

Seperti diketahui sebelumnya, pasar minyak sedang ramai menyoroti pembicaraan Arab Saudi dan Rusia, yang sepakat untuk menahan produksi minyak. Sementara itu delegasi OPEC juga dijadwalkan berkunjung ke Iran pada hari Rabu (17/2/16) untuk bergabung dalam rencana untuk menahan produksi minyak, walau ditanggapi pesimis oleh pasar ditengah kegembiraan yang melanda Iran karena sudah diperbolehkan kembali mengekspor minyak untuk merebut pangsa pasar yang sempat hilang akibat sanksi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kesepakatan yang telah diraih oleh beberapa negara utama OPEC dan Rusia tersebut akan menjadi trigger yang berarti untuk mengangkat kembali harga minyak dunia? Rasanya sangat sulit untuk membayangkan minyak kembali ke level harga yang cukup tinggi jika kesepakatan yang diinisiasi tidak menohok kepada persoalan yang sebenarnya, yakni keberlimpahan pasokan dan semakin melemahnya permintaan dunia.

Menurut saya, ada beberapa penyebab mengapa kesepakatan ini tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap harga minyak dunia. Pertama, kesepakatan tersebut hanya berupa pembekuan produksi, bukan pengurangan atau pemangkasan output. Setelah penurunan yang tajam pada awal tahun, sempat muncul laporan bahwa beberapa anggota OPEC dan Rusia bersiap untuk memangkas produksi dalam upaya untuk mengangkat kembali harga. Bahkan Rusia melalui menteri minyak Alexander Novak terlihat cukup agresif mendekati Arab Saudi dan mengusulkan pemotonganoutput sekitar 5%. Pada awalnya, berita ini sempat memberi angin segar ke pasar, namun kemudian terbantahkan oleh penolakan Arab saudi atas usulan pemotongan produksi 5%. Sehingga kesepatakan final hanya berlabuh pada keputusan pembekuan alias mempertahankan tingkat produksi bulan Januari.

Kedua, pembekuan produksi berdasarkan output bulan Januari berarti pembekuan tingkat produksi pada level output yang tergolong sangat tinggi, sehingga tidak akan mengurangi penyakit keberlimpahan pasokan yang sudah melanda pasar selama ini. Data menunjukan, produsen minyak mentah terbesar dunia Arab Saudi memompa 10,2 juta barel minyak per hari pada bulan Januari, sedikit di bawah level tertingginya sebanyak 10,57 juta barel per hari yang pernah dicapai pada bulan Juli 2015. Adapun Rusia merupakan produsen terbesar kedua dunia dengan level produksi tercatat sebesar 10,9 juta barel per hari pada bulan Januari. Dan Ini belum memasukan faktor Iran yang berkeinginan kuat menambah kapasitas produksi sebesar 1 juta barel per hari.

Ketiga, faktor gesekan dengan Iran dan Irak. Ajakan membekukan produksi dapat menyebabkan gesekan dengan Iran karena negara ini baru saja diizinkan untuk menjual minyaknya ke pasar internasional setelah sanksi dicabut pada bulan Januari dan terlihat masih sangat bersemangat untuk terus meningkatkan produksi. Bahkan pada hari Senin (15/2/16), pengiriman pertama minyak mentah dari Iran ke Uni Eropa dilakukan secara perdana, dengan dua tangker berikutnya diperkirakan akan diberangkatkan pada hari-hari mendatang. Begitu pula dengan Irak, output negara telah melonjak ke tingkat rekor tertinggi karena negara ini berusaha meraub pendapatan lebih untuk biaya perang dengan ISIS.

Keempat, kesepakatan tidak melibatkan Amerika yang juga secara terus-menerus memompa minyak ke level tertingginya. Dengan harga yang jatuh ke titik terendah dalam 13 tahun, biaya produksi yang ditanggung produsenshale oil di AS akan kalah saing dibanding biaya produksi Timur Tengah. Nah kompetisi ini lama-lama diperkirakan akan memicu penurunan produksi di AS untuk tahun 2016. Imbasnya, akan ada pangsa pasar AS yang tertinggal sehingga dipastikan OPEC dan Rusia tidak akan melewatkannya. Faktor inilah yang akan membuat OPEC dan Rusia berpeluang melanggar kesepakatan, yakni iming-iming pasar AS.

Dan faktor terakhir, harga yang lebih tinggi bisa melemahkan permintaan dunia. Jika Arab Saudi, Rusia, Venezuela dan Qatar berhasil menengahi kesepakatan dengan produsen minyak lainnya, boleh jadi berdampak positif terhadap harga pasar. Namun permintaan justru diperkirakan akan melemah jika harga semakin meninggi karena ekonomi global melambat, mulai dari Eropa, Tiongkok, Jepang, dan pertumbuhan permintaan minyak AS yang diperkirakan turun dari 1,6 juta barel per hari pada tahun 2015 menjadi 1,2 juta barel per hari tahun ini sebagaimana dilaporkan oleh Badan Energi Internasional belum lama ini. Dan permintaan dari negara-negara emerging market yang ternyata menikmati biaya import minyak murah akan terbawa jatuh, kemudian ikut meruntuhkan tingkat permintaan global yang kemudian akan menggagalkan harga minyak berbalik ke level tinggi.[caption caption="www.businessinsider.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun