Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) akan menggenjot pertumbuhan produk ekspor nonmigas pada 2017. Sebagaimana diberitakan di beberapa media ekonomi, Direktur Perdagangan, Investasi dan Kerja Sama Internasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasari di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa setelah pada tahun lalu ekspor nonmigas tumbuh negatif, maka dalam dua tahun mendatang pertumbuhan ekspor nonmigas diharapkan menembus dua digit.
Menurutnya, pada 2015, pertumbuhan ekspor nonmigas minus 9,8 persen. Untuk tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,3 persen, sedangkan pada tahun depan pertumbuhan ekspor nonmigas diharapkan mencapai 10,4 persen. Dari sisi eksternal, menurut Amalia, volume perdagangan dunia diperkirakan akan lebih baik. Selain itu, walaupun harga minyak dunia diperkirakan akan tetap rendah, harga produk manufaktur (manufacturing unit value) diperkirakan akan meningkat.
Dari sisi dalam negeri sendiri, pemerintah akan melakukan intervensi kebijakan untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekspor non migas, salah satunya dengan penetapan target ekspor masing-masing provinsi, sebagai indikator kinerja gubernur. Namun, Bappenas masih menghitung berapa peran kontribusi daerah terhadap ekspor non migas nasional.Â
Pemerintah juga akan mendorong peningkatan kualitas produk Indonesia dan ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi serta peningkatan kemudahan ekspor dan fasilitasi perdagangan yang lebih baik. Kemudian, pemerintah akan meningkatkan pemanfaatan skema kerja sama perdagangan internasional dan mendorong para pengusaha untuk ekspor, serta mencetak para eksportir baru.
Angka pertumbuhan ekspor yang ditarget oleh pemerintah cukup menarik. Menarik karena setelah mengalami minus 9,8%, kemudian pemerintah berharap akan terjadi pertumbuhan 5,3%. Angka ini setali tiga uang dengan angka target pertumbuhan ekonomi nasional yang ingin diraih oleh pemerintah sebagaimana termaktum di dalam asumsi makro APBN 2016. Untuk angka target pertumbuhan sendiri, menurut saya, pemerintah masih mempunyai celah untuk mencapai, tapi tidak dari sisi ekspor.
Target pertumbuhan ekonomi bisa diraih lewat jalur investasi, belanja pemerintah, dan kebijakan penjagaan daya beli masyarakat Pasalnya, dorongan dari sisi ekspor belum terlalu bisa diharapkan karena masih membutuhkan waktu setahun sampai dua tahun ke depan untuk pulih. Lihat saja, harga minyak dunia masih berada di level rendah, pertumbuhan ekonomi global sudah berada pada titik nadir, berkali-kali digunting oleh lembaga-lembaga internasional.
Data mutakhir dari BPS menunjukan bahwa surplus neraca perdagangan Januari 2016 mengalami penurunan tajam dibandingkan Januari 2015 dari US$632,3 juta menjadi US$50,6 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Januari 2016 mengalami surplus US$50,6 juta. Rinciannya, nilai ekspor tercatat sebesar US$10,50 miliar dan impor sebesar US$10,45 miliar. Capaian ini secara matematis menurun 91,99% dibandingkan Januari tahun 2015 (year on year).Â
Neraca perdagangan pada bulan pertama tahun lalu surplus US$632,3 juta dengan rincian ekspor menorehkan angka sebesar US$13,24 miliar dan impor sebesar US$12,61 miliar. Lebih baik dibanding dua tahun sebelumnya, Januari 2014 dan Januari 2013 yang mengalami defisit. Berdasarkan catatatn BPS, surplus neraca perdagangan sempat terjadi pada Januari 2012 sebesar US$1,01 miliar karena harga dan permintaan komoditas tercatat masih cukup bagus ketika itu.
Catatan lainya, surplus perdagangan non migas pada Januari 2016 mencapai US$164,5 juta. Adapun neraca perdagangan migas mengalami defisit -US$113,9 juta. Namun, ada beberapa komoditas migas yang mengalami surplus, diantaranya gas tercatat surplus sebesar US$522 juta. Sementara itu, komoditas minyak mentah tercatat defisit -US$37,4 juta dan komoditas hasil minyak tercatat defisit -US$599 juta.Â
Untuk komoditas gas, tentu sangat bisa dipahami. Pasalnya, cadangan gas Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, meskipun belum banyak dieksplorasi. Sehingga ke depan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah terkait masalah gas ini adalah bagaimana untuk menggenjot konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas agar ketergantungan terhadap import minyak bisa dikurangi.
Secara umum, nilai ekspor Indonesia turun 20,72% year on year pada Januari dibandingkan penurunan 15,2% menurut estimasi pasar. Meskipun memang menorehkan Surplus, tapi surplus neraca perdagangan ternyata ditopang oleh impor yang merosot semakin tajam pada bulan pertama 2016. Data dari BPS menunjukan bahwa nilai impor barang ke Tanah Air merosot 17,15% pada Januari setelah turun 16,02% pada Desember.Â
Data tersebut berbanding terbalik dengan estimasi pasar yang memprediksi perlambatan penurunan nilai impor RI menjadi turun 8,65%. Pendek kata, jika melihat data Januari lalu, target yang dipatok pemerintah untuk pertumbuhan ekspor non migas terlalu berlebihan karena ekspor secara keseluruhan masih dalam masa pemulihan, yang menurut hemat saya, akan memakan waktu setahun sampai dua tahun ke depan.
Pun Jjika dilihat dari kondisi internal mitra dagang utama Indonesia, nampaknya juga belum ada tanda-tanda yang akan mendukung target pemerintah ini. Lihat saja, China hanya berani menarget pertumbuhan ekonomi pada angka patok 6,5%-7% tahun ini. Ini adalah angka moderat berdasarkan apa yang diraih tahun lalu, yakni hanya 6,9%.Â
Bahkan beberapa lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China hanya 6,5% saja, itupun masih dibarengi dengan keraguan-keraguan karena kontroversi pendataan di Tiongkok yang sampai saat ini dianggap kurang kredibel. Sehingga sangat sulit untuk berharap peningkatan yang signifikan atas penyerapan ekspor komoditas non migas Indonesia ke Tiongkok. Justru di sisi lain, dengan semakin jelasnya perlambatan ekonomi Tiongkok, Indonesia semestinya harus siap-siap diserbu produk-produk Tingkok yang kian hari secara statistik kian menggurita menghujani pasar domestik.
Tak berbeda dengan Zona Eropa, Amerika juga sedang berada dalam masa normalisasi. Beberapa indikasi pemulihan sudah mulai terlihat, terutama penipisan angka pengangguran, indikasi positif dari sisi pendapatan pekerja, beberpa sektor sudah mulai bergeliat positif, bahkan mendekati level overheating karena overliquidity (misalnya sektor properti/housing).Â
Namun masih ada persoalan yang cukup mengkhawatirkan, sama dengan yang dialami Eropa dan Jepang, yakni inflasi. Negeri Paman Sam masih kesulitan mengangkat inflasi, walaupun harapan itu masih ada karena terjadi ekspansi lapangan pekerjaan dari waktu ke waktu. Target pengangguran di angka 5% sebagaimana dipatok oleh The Fed sudah tersentuh, namun target inflasi 2% masih jauh panggang dari api. Kesulitan mengangkat inflasi berarti kerja keras AS belum berdampak signifikan terhadap daya beli dan konsumsi.
Kondisi ini diperkirakan akan menjadi salah satu pertimbangan penting the Fed dalam menunda kenaikan lanjutan suku bunga (FFR) pada bulan April mendatang, selain masalah kontraksi ekonomi di beberpaa negara emerging market dan negara mitra dagang utama AS seperti Brazilia dan Canada, masalah rebalancing ekonomi China, dan pelandaian harga komoditas global akibat harga minyak dunia yang sempat terjun bebes ke bawah level $30 per barel.Â
Saya kira, persoalan ini harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menetapkan pertumbuhan ekspor non migas, sembari tetap berjuang meningkatkan volume dagang dengan pasar baru yang kian membaik seperti India, Philipine, Timur Tengah, dan negara-negara yang masih membukukan pertumbuhan yang tinggi. Sehingga angka target ekspor non migas yang ditetapkan lebih rasional dan plausible.[caption caption="www.infobanknews.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H