Data tersebut berbanding terbalik dengan estimasi pasar yang memprediksi perlambatan penurunan nilai impor RI menjadi turun 8,65%. Pendek kata, jika melihat data Januari lalu, target yang dipatok pemerintah untuk pertumbuhan ekspor non migas terlalu berlebihan karena ekspor secara keseluruhan masih dalam masa pemulihan, yang menurut hemat saya, akan memakan waktu setahun sampai dua tahun ke depan.
Pun Jjika dilihat dari kondisi internal mitra dagang utama Indonesia, nampaknya juga belum ada tanda-tanda yang akan mendukung target pemerintah ini. Lihat saja, China hanya berani menarget pertumbuhan ekonomi pada angka patok 6,5%-7% tahun ini. Ini adalah angka moderat berdasarkan apa yang diraih tahun lalu, yakni hanya 6,9%.Â
Bahkan beberapa lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China hanya 6,5% saja, itupun masih dibarengi dengan keraguan-keraguan karena kontroversi pendataan di Tiongkok yang sampai saat ini dianggap kurang kredibel. Sehingga sangat sulit untuk berharap peningkatan yang signifikan atas penyerapan ekspor komoditas non migas Indonesia ke Tiongkok. Justru di sisi lain, dengan semakin jelasnya perlambatan ekonomi Tiongkok, Indonesia semestinya harus siap-siap diserbu produk-produk Tingkok yang kian hari secara statistik kian menggurita menghujani pasar domestik.
Tak berbeda dengan Zona Eropa, Amerika juga sedang berada dalam masa normalisasi. Beberapa indikasi pemulihan sudah mulai terlihat, terutama penipisan angka pengangguran, indikasi positif dari sisi pendapatan pekerja, beberpa sektor sudah mulai bergeliat positif, bahkan mendekati level overheating karena overliquidity (misalnya sektor properti/housing).Â
Namun masih ada persoalan yang cukup mengkhawatirkan, sama dengan yang dialami Eropa dan Jepang, yakni inflasi. Negeri Paman Sam masih kesulitan mengangkat inflasi, walaupun harapan itu masih ada karena terjadi ekspansi lapangan pekerjaan dari waktu ke waktu. Target pengangguran di angka 5% sebagaimana dipatok oleh The Fed sudah tersentuh, namun target inflasi 2% masih jauh panggang dari api. Kesulitan mengangkat inflasi berarti kerja keras AS belum berdampak signifikan terhadap daya beli dan konsumsi.
Kondisi ini diperkirakan akan menjadi salah satu pertimbangan penting the Fed dalam menunda kenaikan lanjutan suku bunga (FFR) pada bulan April mendatang, selain masalah kontraksi ekonomi di beberpaa negara emerging market dan negara mitra dagang utama AS seperti Brazilia dan Canada, masalah rebalancing ekonomi China, dan pelandaian harga komoditas global akibat harga minyak dunia yang sempat terjun bebes ke bawah level $30 per barel.Â
Saya kira, persoalan ini harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menetapkan pertumbuhan ekspor non migas, sembari tetap berjuang meningkatkan volume dagang dengan pasar baru yang kian membaik seperti India, Philipine, Timur Tengah, dan negara-negara yang masih membukukan pertumbuhan yang tinggi. Sehingga angka target ekspor non migas yang ditetapkan lebih rasional dan plausible.[caption caption="www.infobanknews.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H