Laporan ekonomi terbaru dari Jepang dan China dilansir belum lama ini. Namun, data yang ditunggu-tunggu dari kedua raksasa ekonomi Asia ini justru menegaskan terobosan kebijakan yang masih jauh panggang dari api. Perkembangan ekonomi di kedua negara akan menjadi bahan pertimbangan kebijakan bagi negara berkembang di Asia terutama yang memiliki hubungan ekonomi dan bisnis yang sangat erat.Â
Dalam data terbarunya, perekonomian Jepang kembali mengalami kontraksi pada kuartal IV/2015. Pemerintah meyebutkan, produk domestik bruto (PDB) Jepang tergelincir hingga 1,4%. Angka ini lebih besar daripada kuartal sebelumnya yang juga tercatat turun 1,3%. Konsumsi sektor swasta di Jepang menjadi penyumbang terbesar penurunan PDB pada kuartal IV/2015, padahal selama ini konsumsi swasta digadang-gadang oleh Perdana Menteri Shinzo Abe sebagai tulang punggung baru ekonomi nasional.
Janji pemerintah Jepang untuk mengejar target inflasi dan pertumbuhan ekonomi pun dipertaruhkan, apalagi nilai tukar yen saat ini masih berada di posisi yang tergolong kuat terhadap dolar Amerika Serikat. Logikanya, ketika yen ada dalam posisi kuat, sektor swasta diperkirakan akan sangat memperhitungkan pengeluarannya. Sehingga dampaknya, tingkat ekspor pun turun dan swasta akan sulit kembali menaikkan konsumsinya, meskipun stimulus terbaru telah diterbitkan.
Mau tidak mau, data ini dipastikan akan menyajikan tantangan tersendiri, yang ternyata belum juga terselesaikan oleh Abe, yakni mengeluarkan Jepang dari stagnansi ekonomi. Pasalnya, ekspor ke negara berkembang terbukti gagal menjadi penebus konsumsi domestik yang lambat. Hal ini tentu saja akan meningkatkan ekspektasi pasar terhadap kebijakan pelonggaran moneter lebih lanjut. Sementara itu, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) nampaknya sudah mulai kehabisan amunisi kebijakan setelah menerapkan suku bunga negatif bulan Januari lalu.
Yang terjadi adalah bahwa konsumsi swasta yang lemah terbukti membuat perekonomian terlihat lunglai, bahkan seolah-olah berhenti. Sehingga diperkirakan BOJ dan pemerintah akan mempersiapkan diri untuk mengambil langkah-langkah stimulus tambahan. Dan masalahnya saat ini cuma soal waktu, kapan kebijakan itu akan digulirkan. Sebelumnya, sejumlah stimulus moneter dan fiskal telah diterbitkan oleh Abe, beberapa waktu sebelum menerapkan suku bunga negatif pada bulan lalu. Melalui stimulus yang seakan menjadi durian runtuh bagi produsen besar di Jepang ini, Abe berharap mampu menimbulkan siklus positif bagi sektor swasta.
Pemerintah Jepang berharap perusahaan akan menaikkan upah dan membantu meningkatkan pengeluaran rumah tangga. Namun cilakanya, stimulus tersebut belum begitu menggigit. Data menunjukkan bahwa konsumsi swasta menyumbang 60% penurunan PDB kuartal terakhir tahun 2015. Bahkan penurunan yang terjadi ternyata melebihi perkiraan pasar yang memproyeksikan PDB Jepang hanya akan turun 1,2%.Â
Kendati demikian, Pemerintah Jepang nampaknya tetap berupaya menghembuskan optimisme. Menteri Ekonomi Nobuteru Ishihara baru-baru ini mengatakan bahwa setelah rilis laporan tersebut, perekonomian akan menuju pemulihan moderat karena memiliki fundamental yang tetap kuat. Mengapa? Karena menurut beliau, indikasi tersebut mulai tampak setelah belanja modal tercatat naik 1,4%, mengalahkan ekspektasi pasar yang memprediksikan penurunan sebesar 0,2%.
Namun saya justru agak meragukan optimisme Ishihara tersebut. Pasalnya, Jepang masih kesulitan menemukan momentum yang tepat selama beberapa bulan mendatang. Indikasinya terlihat dari gejolak pasar baru-baru ini dan perlambatan pertumbuhan di negara Tiongkok, yang mengaburkan prospek keuntungan perusahaan-perusahaan asal Jepang. Ekspor Jepang masih turun 0,9% pada Oktober sampai Desember setelah naik 2,6% pada kuartal sebelumnya.
Dari sisi yang lain, Tiongkok nampaknya juga tak berbeda dengan Jepang. Awan gelap masih menggelayuti perekonomian Negeri Panda. Ekspor Tiongkok pada Januari 2016 mengalami penurunan 11,2% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor terjerumus hingga 18,8%. Anjloknya ekspor pada bulan lalu menandai penurunan berturut-turut selama tujuh bulan terakhir. Bahkan dari sisi impor, justru mencatatkan penurunan berturut-turut yang jauh lebih besar, yakni 15 bulan berturut-turut.
Berdasarkan data tersebut, Tiongkok mencatatkan rekor surplus pada bulan lalu, yakni mencapai US$63,3 miliar, naik dari catatan Desember 2015 yang mencapai US$60,09 miliar. Total indeks perdagangan China pada 2015 anjlok 8% dari 2014, jauh di bawah target pertumbuhan pemerintah sebesar 6% dan menjadi kinerja terburuk sejak krisis keuangan global.
Nah, apabila dilihat dari sisi nominal, data ini adalah tanda negatif bagi perekonomian Tiongkok. Data ekonomi secara tradisional masih sangat fluktuatif, terutama pada Januari yang biasanya mencerminkan situasi mengambang akibat adanya perayaan tahun baru. Sehingga tren pada Januari dan Februari berpeluang terdistorsi oleh liburan panjang Tahun Baru Tiongkok. Pasalnya, beberapa perusahaan akan menutup sementara dan meliburkan bisnisnya, sehingga menimbulkan pelambatan aktivitas bisnis domestik.